Terdapat banyak cara untuk sebuah film memberikan kritik terhadap informasi tertentu. "Men Who Save the World" atau yang memiliki judul lokal "Lelaki Harapan Dunia" ini menggunakan pendekatan komedi satir yang dilontarkan dengan semangat "seenaknya sendiri". Menikmati film yang menjadi perwakilan Malaysia untuk ajang Oscar 2016 ini memang jangan terlalu serius, atau guyonannya bakal terasa rasis dan homophobic. Sutradara sekaligus penulis naskah Liew Seng Tat bertutur pada penonton ibarat kita semua ialah teman akrabnya. Sebagaimana teman baik saling bertukar candaan, banyak ungkapan yang sekilas "tidak pantas" namun bekerjsama tanpa maksud bersikap ofensif. Semua hanya didasari niatan bercanda membuat tawa. Tapi komedi memang erat kaitannya dengan kultural dan latar belakang audience. Lucu atau tidak, ofensif atau tidak, semua dipengaruhi oleh aspek tersebut. Maka menjadi masuk akal jikalau film ibarat ini akan memecah penonton menjadi dua kubu.
Ber-setting di sebuah kampung, filmnya berkisah wacana keinginan Pak Awang (Wan Hanafi) untuk memindahkan sebuah rumah (disebut "rumah amerika" alasannya ialah seluruhnya berwarna putih) yang terletak di tengah hutan. Rumah itu akan ia berikan pada sang puteri sebagai kado pernikahan. Pak Awang sendiri ialah mantan penyanyi populer yang sekarang telah pensiun. Status tersebut membuatnya dihormati seluruh warga kampung, sehingga mereka pun tak keberatan mengerahkan seluruh tenaga untuk membantu proyek pemindahan rumah itu. Bersamaan dengan dimulainya pemindahan rumah, penonton diajak berpindah melihat aksara Solomon (Khalid Mboyelwa Hussein), imigran gelap asal Afrika yang kabur dari kejaran polisi sesudah ketahuan menjual barang di jalanan. Solomon secara tidak sengaja menemukan rumah tersebut dan bersembunyi disana, tanpa tahu keputusan itu akan membuat konflik pelik dan histeria warga kampung yang meyakini ada hantu "orang minyak" tengah menebar teror mematikan.
"Men Who Save the World" merupakan sindiran terhadap sisi klenik yang mengakar besar lengan berkuasa dalam masyarakat. Warga kampung dalam film ini digambarkan terus mengasosiasikan aneka macam insiden jelek yang menimpa dengan gangguan hantu dari rumah amerika. Ketika sapi dan unta hilang, maka itu ulah hantu. Ketika seorang anak wanita mengalami luka secara tiba-tiba, maka itu jawaban serangan hantu. Padahal warga kampung digambarkan sebagai pemeluk Islam yang sering berkonsultasi dengan pemuka agama setempat, Tok Bilal (Jalil Hamid). Bahkan disaat jadinya mereka meminta pertolongan seorang dukun, para cowok dan laki-laki kampung tak keberatan berpatroli di malam hari sambil mengenakan daster dan kerudung, alasannya ialah berdasarkan sang dukun, hantu orang minyak suka memangsa gadis perawan. Liew Seng Tat berhasil mengajak aku mentertawakan kebodohan warga yang mengatasnamakan diri mereka sebagai "lelaki keinginan dunia". Pantas saja dunia ini seolah dipenuhi keinginan palsu.
Humor Liew Seng Tat memang seenaknya. Seorang warga dipanggil "Cina", bahkan dalam sebuah kesempatan ia mengajarkan cara mempertajam penglihatan dengan menyipitkan mata. Sedangkan Solomot sebagai laki-laki berkulit hitam digambarkan sebagai sosok mengerikan tak ubahnya hantu. Terdengar ofensif memang, tapi lagi-lagi keberhasilan komedi tergantung pada siapa filmnya bicara. Saya menemukan humornya sebagai hal yang lucu, alasannya ialah aku besar di lingkungan dimana orang Jawa "mengejek" sahabatnya yang keturunan Tionghoa sebagai "Cina", dan sebaliknya mereka balas berkata "dasar Jawa". Sebutan itu semata-mata hanya candaan tanpa intensi merendahkan. Liew Seng Tat juga nampak berniat menyindir masyarakat yang makin gampang tersinggung menanggapi informasi rasisme. Disaat kita tahu itu hanyalah lelucon, tak perlu ditanggapi serius, sampai semua pihak sama-sama senang. Tapi aku pun tak menyalahkan penonton yang tersinggung oleh humornya alasannya ialah itu sangatlah wajar.
Kekurangan gaya komedinya justru alasannya ialah membuat distraksi terhadap pesan utama. Saya memahami satir mengenai kebodohan masyarakat tadi, tapi pada jadinya bukan itu yang membekas begitu film usai. Saya hanya ingat pada kelucuan bodohnya, bukan sindiran yang bekerjsama amat relevan itu. Terlalu banyak pula subplot yang coba diselipkan oleh Liew Seng Tat, ibarat mengenai para pejabat sampai dongeng transvetism. Semuanya menarik dan lagi-lagi sanggup memancing tawa, tapi tidak dipaparkan secara mendalam biar tak berujung sebagai sisipan komedik belaka. Disatu sisi "Men Who Save the World" memang penuh kecacatan dan visual gag menyenangkan, alasannya ialah dimana lagi anda akan melihat film wacana perjuangan memindahkan rumah dari tengah hutan? Tapi disisi lain hanya itu yang sanggup ditawarkan. Alhasil meski Wan Hanafi begitu cakap berakting, dan fakta bahwa film berakhir sebagai tragicomedy tentang kejatuhan laki-laki yang dulunya amat dihormati, "Men Who Save the World" tak pernah lebih dari sekedar komedi menghibur.
Ini Lho Men Who Save The World / Lelaki Cita-Cita Dunia (2014)
4/
5
Oleh
news flash