Sunday, December 2, 2018

Ini Lho The Mimic (2017)

Ada kalanya suatu dongeng membutuhkan kemasan film panjang demi mewadahi eksplorasi menyeluruh. Sebaliknya, ada yang lebih efektif bila dipresentasikan dalam bentuk film pendek. The Mimic, selaku film horor Korea Selatan pertama yang mengumpulkan sejuta penonton semenjak Killer Toon (2003) termasuk jenis kedua. Kita dibawa melihat usaha sutradara sekaligus penulis naskah, Huh Jung, memanjangkan paksa jalinan kisah ketika kombinasi beberapa poin-poin alur sejatinya sudah cukup, tanpa perlu penambahan tuturan maupun huruf yang berakhir masbodoh kemudian terbuang percuma.

Ambil rujukan momen pembuka kala sepasang laki-laki dan perempuan membunuh, kemudian menyembunyikan jenazah seorang perempuan (sepertinya kekasih si pria) dalam gua di gunung Jang yang membangkitkan iblis berkemampuan menggandakan bunyi manusia. Berikutnya, tokoh-tokoh itu tidak penting lagi peranannya. Huh Jung memberi mereka problematika tanpa mengangkatnya lagi, menjadikannya tak berguna. Pun siapa penyegel sang iblis urung dipaparkan lebih lanjut. Karakter yang tampil sekilas semata untuk membantu eksposisi dongeng (detektif dan perempuan buta) serta poin plot yang dibiarkan tertinggal hingga memancing lubang alur banyak bertebaran di The Mimic.
Konflik utamanya sederhana. Pasangan suami istri, Hee-yeon (Yum Jung-ah) dan Min-ho (Park Hyuk-kwon) masih bergulat dengan bencana hilangnya putera mereka. Hee-yeon khususnya, belum sanggup merelakan dan (merasa) melihat kehadiran sang putera. Sampai keduanya menemukan gadis cilik misterius di tengah hutan, yang rupanya mengawali teror iblis yang terinspirasi dari legenda tempat Harimau Jangsan. Sumber dari mitologi setempat, ditambah sentuhan drama ibu-anak tentunya merupakan modal memadahi, yang sayangnya, tersia-sia jawaban Huh Jung kurang cakap bernarasi.

Berniat merangkai horor artistik berujung senjata makan tuan. Huh Jung sibuk memasukkan momen-momen metaforikal menyerupai "memancing mangsa" lewat penampakan lampu LED pengusir nyamuk hingga "mendaki menuju cahaya" di titik puncak yang tak terasa pandai alasannya yaitu terlampau literal. Dia pun lebih gemar menggulirkan tempo lambat berisi keseharian ketimbang mengurusi mitologi menarik seputar Harimau Jangsan. Alhasil pertanyaan-pertanyaan  kalau dilarang disebut lubang  terlupakan, entah kehabisan waktu atau kesengajaan demi menyandang status horor "elegan" atau "cerdas" yang menyimpan rapat-rapat jawaban atas misteri. 
Menjadi kontradiktif sewaktu di tengah perjuangan tampak pintar, keklisean akut justru menghiasi, sebutlah Hee-yeon yang mengejar puteranya di jalan hanya untuk mendapatinya menghilang, adegan menabrak hewan, paranormal yang menyuruh protagonis pergi dengan petuah ambigu nan asing yang pastinya tidak bakal berhasil. Keklisean serupa menghalangi dampak emosi porsi dramanya kala Huh Jung lagi-lagi mengandalkan cara standar macam halusinasi atau teriakan frustrasi Hee-yeon sebagai citra goncangan psikis. Itu belum jadi pendalaman yang cukup guna menjustifikasi pilihan karakternya di akhir, apalagi memancing simpati. Setidaknya Yum Jung-ah mencurahkan segala daya upaya meluapkan emosi. 

Penyelamat terbesar yang menciptakan The Mimic terangkat derajatnya dari horor medioker jadi suguhan layak tonton yaitu jump scare. Huh Jung pandai menggabungkan hentakan mengejutkan berbasis timing sempurna dan musik penusuk pendengaran dengan sederet gambar-gambar beserta tata bunyi creepy. Hasilnya mengagetkan pula mengerikan, prestasi yang tidak semua jump scare berhasil capai. Bahkan false alarm sampai kejutan beruntun pun efeknya maksimal. Puncaknya ketika dukun pemuja Harimau Jangsan menampakkan diri, merealisasikan mimpi jelek di layar lebar. Ambil sebagian titik puncak dan secuil latar belakang, The Mimic akan menghasilkan film pendek berdurasi 20 menit yang luar biasa.

Artikel Terkait

Ini Lho The Mimic (2017)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email