Thursday, December 6, 2018

Ini Lho A Monster Calls (2016)

Dalam film pembiasaan novel berjudul sama karya Patrick Ness  yang juga menulis naskahnya  ini, Liam Neeson (menyuarakan abjad monster) mendeskripsikan sang protagonis Conor O'Malley (Lewis MacDougall) sebagai "too old to be a kid, too young to be a man". Fakta ini saja telah mendiferensiasi "A Monster Calls" dengan film lain wacana persahabatan magical yang bermunculan tahun ini menyerupai "Pete's Dragon" dan "The BFG". Berusia 12 tahun, Conor terang terlalu muda untuk mengurus kesehariannya (menyiapkan sarapan, membersihkan rumah) sendiri tatkala ibunya (Felicity Jones) harus terbaring lemah akhir kanker. Namun ia pun terlampau bau tanah untuk dianggap normal mempunyai teman imajiner berupa monster pohon raksasa.

Permasalahan Conor bukan sebatas penyakit sang ibu saja. Di sekolah, ia menjadi korban bully dari Harry (James Melville) yang sering memukulinya sepulang sekolah. Conor juga berselisih dengan neneknya (Sigourney Weaver) berkaitan dengan pengobatan bagi sang ibu di mana sang nenek ingin puterinya menerima perawatan intensif, yang berarti Conor harus tinggal bersamanya. Di tengah kondisi tersebut, tiap malam pukul 12:07, Conor kerap menerima mimpi jelek wacana sebuah peristiwa destruktif. Hingga suatu malam di jam yang sama, pohon yew di bersahabat rumahnya bermetamorfosis monster, mendatangi Conor dan berkata akan menceritakan tiga buah kisah.
Cerita pendewasaan satu tokoh bocah berbalut fantasi telah banyak beredar, tapi jarang yang dipaparkan secara dewasa, di mana coming-of-age dimaknai sebagai proses penerimaan kenyataan tak peduli seberapa pahit serta memahami bahwa dunia bukan hanya hitam dan putih. Karakter utamanya tidak menjalani hingar bingar petualangan magis, melainkan dijejali tiga kisah ambigu (gamblang untuk penonton dewasa)  pangeran dan ibu tirinya yang seorang penyihir, perselisihan pendeta dengan tabib, bocah yang meminta pemberian monster semoga sanggup "terlihat" oleh orang-orang di sekitarnya. 

This movie is pretty dark and confusing for children, but for adult, teenagers or even preteens, it's a meaningful one. Dengarlah ketika sang monster mengkritisi laki-laki religius namun tanpa iman. Anak-anak mungkin melewatkan pesan tersebut, tapi para orang bau tanah bakal mengangguk, mendapatkan bahwa begitulah realita dunia. Tatkala Conor hasilnya menceritakan kisah keempat berupa realisasi atas mimpi buruknya, di situlah Patrick Ness menikam kita dengan kenyataan pahit soal kematian. Air mata penonton tidak dieksploitasi namun tetap akan mengucur ketika sutradara J.A. Bayona ("The Orphanage" & "The Impossible") menyuguhkan momen acceptance protagonisnya secara lembut, mulus memadukan manisnya kasih sayang bersama pahitnya perpisahan.
Sentuhan fantasi bukan semata-mata komplemen baik di ranah penulisan naskah maupun penyutradaraan. Nyata atau tidak sang monster takkan membuat perdebatan panjang, tapi Ness bisa menjelaskan asal usulnya lewat cara subtil. Monster itu tidak hanya makhluk imajiner tanpa dasar, melainkan manifestasi dari tiap sisi kehidupan Conor menyerupai hubungan keluarga hingga kegemarannya menggambar. Sedangkan visi imajinatif Bayona tepat memvisualisasikan isi pikiran penuh imaji estetis milik Conor. Highlight pastinya terletak pada penggambaran dongeng sang monster yang didominasi warna warni cat air, namun sinematografi garapan Oscar Faura membuat setting "dunia nyata" juga memikat mata, entah mencekamnya percikan api ketika sang monster marah atau bird view guna menangkap pemandangan luluh lantahnya permukaan tanah di klimaks.

Penampilan Lewis MacDougall memudahkan Conor mencuri simpati penonton. Dia introvert pula mempunyai fisik lemah, tapi bukan pecundang. Dalam tiap tutur serta sikap Lewis tersirat kekuatan yang didorong kuatnya cinta. Sigourney Weaver paling bersinar ketika mengekspresikan rasa tanpa tutur kata, terutama respon heartbreaking kala mendapati rumahnya hancur berantakan. Teruntuk Felicity Jones, meski menghabiskan dominan durasi terbaring dalam kondisi lemah, senyum simpul penuh kasih sayang menambah kehangatan serta sisi emosional "A Monster Calls", salah satu film terbaik tahun ini yang wajib anda tonton kalau ingin mengetahui atau mengajarkan bagaimana sebenar-benarnya pendewasaan itu.

Artikel Terkait

Ini Lho A Monster Calls (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email