Judul panjang film ini diambil oleh sang sutradara Roy Andersson dari lukisan The Hunters in the Snow karya Pieter Bruegel the Elder. Lukisan tersebut menggambarkan kawasan pedesaan pada ekspresi dominan salju dengan beberapa burung tengah bertengger di pepohonan. Andersson membayangkan bahwa burung-burung itu sedang mengamati orang-orang di bawahnya dan berpikir apa yang sedang mereka lakukan. Film yang menjadi epilog trilogi "living" milik Andersson sekaligus perwakilan Swedia dalam ajang Oscar tahun depan ini memang bertutur wacana perenungan tersebut. Momen dimana seseorang membisu termenung sambil bertanya dalam hati "apa yang bersama-sama saya lakukan?" Kita semua pernah melaksanakan itu. Lamunan dipenuhi melankoli berupa pertanyaan mengenai keberadaan diri kita. A Pigeon Sat on a Branch Reflecting on Existence tidak hanya mereka ulang insiden itu tapi memunculkan ulang suasana yang tercipta dalam perenungan melankolis.
Film ini terbagi dalam beberapa skema pendek berisikan bermacam abjad dan situasi berbeda. Karakternya mempunyai profesi serta melaksanakan aktivitas berlainan namun mengesankan hal serupa. Wajah mereka nampak pucat (lewat make-up putih tebal), lisan datar, hingga pergerakan minim. Sekalinya mereka bergerak atau berjalan terlihat ibarat slow motion. Begitu cara Roy Andersson menggambarkan sisi melankolis. Dengan begitu kita bisa mencicipi bagaimana dominan karakternya bagai tanpa semangat hidup akhir terjebak dalam kebingungan eksistensi. Dari banyak abjad dalam tiap skema yang lewat aneka macam cara bisa berkaitan satu sama lain, sosok Jonathan (Holger Andersson) dan Sam (Nils Westblom) punya porsi paling besar. Keduanya ialah sales mainan yang tiap hari berkeliling memperlihatkan barang.
Jonathan dan Sam menyebut pekerjaan mereka sebagai "bisnis hiburan" alasannya ialah tujuan utamanya ialah menghibur orang-orang semoga berbahagia. Tapi terdapat ketidaksesuaian antara tujuan dengan keduanya selaku pelopor tujuan. Berharap menyebar kebahagiaan, mereka justru jauh dari perasaan tersebut. Jonathan ialah laki-laki cengeng yang sering tiba-tiba menangis, sedangkan Sam sering bertindak agresif pada rekannya tersebut. Tidak pernah sekalipun keduanya tersenyum termasuk ketika sedang memperlihatkan barang. Apa yang mereka jual pun jauh dari menghibur, malah cenderung mengerikan, ibarat gigi vampir bertaring panjang, kantung tertawa (with devilish laugh), hingga topeng "paman bergigi satu" yang lebih cocok digunakan pembunuh berantai dalam film slasher. Bahkan dalam satu adegan seorang perempuan eksklusif berteriak histeris dan kabur begitu melihat Jonathan menggunakan topeng tersebut.
Situasi yang dialami mereka berdua dan abjad lain memang menyedihkan, tapi Roy Andersson mengemasnya secara menggelikan. Film ini penuh adegan lucu yang mengingatkan saya bahwa definisi "lucu" tidak hanya berupa kejenakaan komedi. Hal-hal asing penuh ketidakwajaran dan ketidaksesuaian pun sering kita sebut sebagai "lucu". Kelucuan semacam itu akan memunculkan senyum atau tawa, tapi bukan didasari kebahagiaan melainkan ejekan. Roy Andersson mengaja penonton mentertawakan kesedihan yang menyelimuti karakternya lewat sajian tragicomedy. Bahkan pada bab awal, filmnya membawa kejenakaan dalam tiga situasi yang bersinggungan dengan maut. Sedangkan di akhir, kita diajak mentertawakan kekejaman insan (homo sapiens) terhadap binatang atau sesama manusia.
A Pigeon Sat on a Branch Reflecting on Existence merupakan tontonan segmented. Tidak semua orang bisa mendapatkan absurditas surealisme yang dikemas begitu lambat dengan tone depresif tapi minim letupan emosi. Film ini memang sajian yang cuek dengan dominasi kesan artificial daripada realisme. Selain abjad yang lifeless, Andersson pun tidak menyusun pengadeganan senyata mungkin. Rumah hingga jalanan meski dibuat sesuai kehidupan positif tetap dipenuhi kepalsuan. Karakternya ibarat pion-pion dalam kotak kardus. Tapi semua itu sesuai dengan tema film yang menyoroti pertanyaan mengenai eksistensi. Seperti yang diungkapkan Friedirich Nietzsche, "manusia harus menyadari siapa dirinya dan apa yang ia inginkan semoga bisa mengasihi kehidupan". Para tokoh film ini tidak mengasihi kehidupan, ibarat mati alasannya ialah tak menyadari apa yang mereka inginkan. Mereka terpenjarakan hingga tidak mempunyai kuasa akan kebebasan dirinya.
Bergaung pula kalimat "L'existence précède l'essence" atau "eksistensi melebihi esensi" dari Jean-Paul Sartre. Berbagai tokoh ibarat Jonathan dan Sam memahami esensi mereka lebih dulu sebagai penjual mainan yang harus menebarkan kebahagiaan bagi konsumen, tapi tidak menyadari keberadaan mereka terlebih dahulu. Siapa dan ibarat apa diri mereka tidak pernah disadari. Dibalik eksistensi, ada serpihan-serpihan lain yang dimasukkan oleh Andersson guna menyempurnakan tema besar tersebut. Mulai dari cinta, interaksi sanak saudara, dongeng kemanusiaan, lost in time, hingga monarkisme. Pada kesudahannya semua itu tetap berujung pada sebuah pemikiran besar mengenai keberadaan manusia. Hal ini menandakan kepiawaian sang sutradara dalam merangkum narasi yang meskipun abstrak tetap koheren. Andersson paham benar wacana apa yang ingin ia sampaikan.
Rasa terasing dari emosinya memang membuat film ini tidak meninggalkan perenungan dalam diri saya layaknya sang merpati di dahan pohon. Tapi sebagai suatu penelusuran akan tema, A Pigeon Sat on a Branch Reflecting on Existence telah menjadi pemaparan yang tidak hanya mendalam namun juga original berkat gaya bertutur Andersson. Kamera selalu statis, tak pernah bergerak membuat kesan penonton tengah menyaksikan pertunjukkan panggung. Penggunaan setting berkesan artificial turut mengesankan hal itu, alasannya ialah dalam pertunjukkan panggung macam teater, senyata apapun dekorasi yang hadir, kita tetap akan menyadari kepalsuannya. Terciptalah pengaruh alienasi ala-Brecht dimana penonton menyadari semua yang mereka saksikan hanya pertunjukkan, menjaga jarak pembauran mereka dengan materi tontonan. Dengan begitu sehabis tontonan usai penonton sanggup lebih kritis untuk mengkaji permasalahan yang tersaji. Suatu jarak yang justru melekatkan.
Ini Lho A Pigeon Sat On A Branch Reflecting On Existence (2014)
4/
5
Oleh
news flash