Thursday, December 13, 2018

Ini Lho Piku (2015)

Hubungan anak dan orang renta bisa menjadi rumit seiring bertambahnya usia masing-masing. Sang anak beranjak remaja ingin menentukan jalan hidupnya sendiri, sedangkan orang renta mulai memasuki usia lanjut dengan keterbatasan fisik, membuatnya semakin butuh proteksi orang lain. Anak ingin bebas, tapi orang renta tentu memberi instruksi yang tak jarang berisi paksaan. Pertambahan usia orang renta menciptakan sang anak merasa terbebani pula, tapi tentu saja rasa sayang membuatnya tak tega untuk menelantarkan. Konflik itulah yang coba dieksplorasi oleh naskah "Piku" karya Juhi Chaturvedi. Tokoh utamanya ialah Piku (Deepika Padukone), seorang perempuan 30 tahun yang berprofesi sebagai arsitek. Dia ialah tipikal perempuan mandiri. Namun dengan sifatnya yang keras dan emosional, banyak orang tak menyukai Piku. Bahkan para supir taksi takut pada dirinya.
Dengan temperamen tinggi semacam itu, keberadaan sang ayah, Bhashkor Banerjee (Amitabh Bachchan) selalu menghadirkan pertengkaran tiap hari di rumah. Bhashkor juga bukan sosok menyenangkan. Pria 70 tahun ini menderita gangguan pencernaan (sembelit) dan mengalami kekhawatiran berlebih akan kondisi kesehatannya. Bhashkor selalu mengkritisi tiap hal yang bagi beliau berpotensi mengancam kesehatannya. Pertengkaran besar selalu terjadi di rumah hanya alasannya duduk kasus sepele ibarat sembelit. Meski amat mencintai sang ayah, terlebih sesudah ibunya tiada, Piku begitu terganggu dengan hal tersebut. Terlebih lagi sang ayah kerap menyampaikan sesuatu yang tidak pantas di depan orang lain, ibarat ketika ia menceritakan bahwa puterinya tak lagi perawan di depan laki-laki asing.

Pada awalnya menonton film ini bagaikan uji kesabaran. Bagaimana tidak? Lebih dari 30 menit awal, saya selalu disuguhi pertengkaran alasannya duduk kasus sepele berhiaskan teriakan tanpa henti antara aksara egois. Kadang saya merasa Piku ialah anak yang tak peduli pada ayahnya. Kadang sebaliknya, Bhashkor-lah yang tingkahnya berlebihan hingga masuk akal Piku merasa tidak tahan. Saya sempat hampir mengalah pada film ini alasannya perasaan kesal yang teramat sangat. Tapi kemudian saya menyadari bahwa kesan tak menyenangkan filmnya memang sengaja dihadirkan oleh sang sutradara, Shoojit Sircar. Berbagai pertengkaran mengesalkan mendominasi paruh pertama film dengan intensi menciptakan penonton mencicipi emosi yang sama dengan aksara utama. Serupa dengan Piku, saya merasa muak dan tidak tahan lagi dengan semua pertengkaran itu. 
Tujuan itu terbukti ketika memasuki paruh kedua, momen dimana film ini bergerak dari drama keluarga menjadi road movie. Bhashkor tetapkan pergi ke Kolkata mengunjungi rumah lamanya yang hendak dijual oleh Piku namun tidak ia setujui. Merasa tidak bisa naik pesawat maupun kereta api, ia menentukan memakai taksi. Mau tidak mau Piku pun turut serta alasannya perjalanan itu akan berlangsung lama, memakan waktu sekitar dua hari. Tapi alasannya sikapnya yang galak dan egois, tak ada satupun supir taksi bersedia mengantar Piku. Akhirnya, Rana (Irrfan Khan) sang pemilik perusahaan taksi yang juga telah beberapa usang mengenal Piku harus menyetir taksinya sendiri. Jadilah ia terjebak di perjalanan panjang bersama ayah dan anak yang terus berkelahi lisan itu. Layaknya aspek esensial dari road trip yakni eksplorasi aksara dan konflik, sepanjang perjalanan saya dibentuk mengenal sisi lain Piku dan Bhashkor. Keduanya pun mulai memahami satu sama lain.

Semakin mengenal karakternya, saya pun makin terbiasa dengan pertengkaran mereka. Adu lisan yang pada awalnya begitu menyebalkan mulai terasa menggelitik. Hal itu alasannya saya mulai terbiasa. Piku juga perlahan dibentuk menyadari bahwa pertengkaran itu bisa ia "nikmati" sebagai bentuk kedekatan dengan sang ayah. Kehadiran Rana juga turut menghembuskan angin segar. Meski berulang kali dibentuk kesal, Rana menjadi satu-satunya orang yang bisa meladeni sisi eksentrik Bhashkor. Disaat Piku selalu menanggapi keluhan sembelit ayahnya dengan amarah, Rana justru memberi saran-saran asing yang tak memenuhi standar medis, tapi bisa diterima oleh nalar. Karena itulah ia bisa menarik perhatian Bhashkor dan Piku, yang mana sulit terjadi. Saya pun memaklumi itu, alasannya penampilan Irrfan Khan juga mencuri perhatian saya. 
Irrfan bisa menyuntikkan sisi charming pada sosok Rana. Dia menciptakan saya percaya bahwa Rana ialah laki-laki capable, menjadikannya tepat sebagai "penengah" sekaligus "pahlawan" dalam konflik keluarga itu. Irrfan Khan berhasil mencolok bahkan meski harus beradu akting dengan Amitabh Bachchan dan Deepika Padukone yang menawarkan penampilan luar biasa. Bersama-sama, ketiganya menawarkan interaksi dinamis, menimbulkan dialog mereka sebagai momentum adiktif untuk diikuti oleh penonton. 

Naskah Jhudi Chaturvedi mempunyai kedalaman makna serta keberanian bertutur cerdas meski dari nampak luar penuh kesederhanaan. Selain mampu menyajikan scatological humour secara menggelitik tanpa harus terkesan murahan, naskahnya berani menghadirkan perspektif jujur wacana konflik anak-orang tua. Daripada berpatok pada moralitas wacana bagaimana seorang anak harus bersikap pada ayahnya, Jhudi Chaturvedi lebih berkonsetrasi pada kenyataan lewat tampilan perasaan jujur. Pada kenyataannya, anak dalam posisi ibarat Piku memang akan menganggap ayahnya sebagai beban. Seperti itulah realita yang tak berusaha ditutupi dengan menciptakan aksara anak penuh kesabaran misalnya. Tapi bukan berarti sang anak tidak mencintai ayahnya. Piku amat peduli pada sang ayah, begitu pula sebaliknya. Namun mereka punya cara masing-masing untuk mengeskpresikan itu yang didorong oleh egoisme dan harga diri tinggi. 

Resolusi kisahnya pun menentukan untuk tidak terlalu dramatis dan mengambil jalan yang berpijak pada realita. Piku dan ayahnya mulai bisa lebih saling memahami, tapi akan terlalu dipaksakan bila serta merta merubah kondisi interaksi diantara mereka, semisal dengan menciptakan Bhashkor mendapatkan segala keputusan anaknya atau membebaskan Piku. Kita tahu bahwa hanya ada satu jalan di dunia kasatmata biar anak ibarat Piku bisa bebas, dan jalan tunggal itu dipakai sebagai konklusi filmnya. "Piku" juga mempunyai selipan romansa yang turut disampaikan secara natural tanpa dipaksakan. Perasaan cinta tumbuh diantara dua aksara tanpa momen dramatis, melainkan murni lewat proses kebersamaan dan pemahaman berkelanjutan seiring perjalanan. "Piku" bukan komedi berisikan "laugh-out-loud jokes", bukan pula drama emosional. Namun kesederhanaan dalam kisah bittersweet ini memberi kehangatan serta senyuman. 

Artikel Terkait

Ini Lho Piku (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email