Friday, December 14, 2018

Ini Lho Slow West (2015)

Membicarakan western tak ubahnya berbicara wacana padang gersang, koboi penuh kejantanan menunggangi kuda sambil bersiap menarik pelatuk, hingga maut dimana-mana. Panas, kotor dan waktu memang terasa berjalan lambat. Slow West tidak mengesampingkan fakta-fakta tersebut, tapi disaat bersamaan menawarkan perspektif gres dalam penyajian western movie. Bagaimana kalau ada seseorang yang punya kepribadian amat bertolak belakang dengan hal-hal di atas harus melintasi kawasan berbahaya tersebut? Jay (Kodi Smit-McPhee) ialah dewasa 16 tahun dengan tubuh kurus, wajah putih higienis dan pakaian elok yang tampak mahal. Dia berbaring di bawah langit malam sambil menunjuk-nunjuk rasi bintang. Melihat sosoknya, gampang bagi kita berasumsi bahwa tidak butuh waktu usang bagi alam liar Barat untuk menghabisi Jay. Apa yang dilakukan bocah kaya tampaknya disitu? Jawabannya ialah mencari perempuan yang ia cintai.

Apakah sutradara sekaligus penulis naskah debutan John Maclean tengah berusaha mentransformasikan keliaran western menjadi petualangan romansa lembek? Untungnya tidak. Kerasnya western masih ada disana. Slow West menjadi eksplorasi disaat seseorang ditempatkan dalam kondisi yang bertolak belakang dengan sosoknya. Dapatkah Jay bertahan hidup? Dapatkah segala ideologi penuh harap yang ia anut diterapkan disana? Tidak secara menyeluruh, alasannya ialah film ini juga bukan perjuangan Maclean menawarkan pesan sopan santun yang muluk dan naif. Untuk itu dihadirkan abjad Silas (Michael Fassbender), seorang bounty hunter yang menemukan jejak Jay, dan memutuskan menjadi pelindungnya sepanjang perjalanan. Sudah niscaya kepribadian Silas amat berbeda. Disaat Jay penuh aliran kasatmata wacana cinta dan harapan, Silas lebih keras, dingin, dan terkesan cynical akan aneka macam situasi. Semua orang, semua tempat, dan semua situasi seolah menyimpan ancaman kalau bersama Silas, dan ia pun selalu siap menembakkan senjata kapanpun.
Terjadi eksplorasi abjad sekaligus hubungan yang menarik diantara mereka. Perlahan, keduanya mulai mencar ilmu cara masing-masing memandang hidup dan menyadari bahwa perbedaan yang ada bukanlah kekeliruan. Jay mulai mencar ilmu bertahan hidup, sedangkan dari voice over-nya, penonton sudah tahu bahwa Silas nantinya akan banyak mencar ilmu dari Jay yang "lebih positif". Dari abjad Jay, Maclean berusaha memperlihatkan bahwa di setiap kelembutan tetap diharapkan sisi keras. Sedangkan dari Silas, kita melihat bahwa dari seseorang/tempat paling keras sekalipun masih ada perasaan disana. Masih ada sisi kemanusiaan. Bicara soal kemanusiaan, disitu pula cerita cintanya mulai menyelinap perlahan. Sebuah cerita cinta yang cukup manis, emosional, sekaligus tragis. Walaupun romansanya ber-setting di western masa lampau, tapi kisahnya terasa relatable bagi kita penonton modern. Jay menyayangi Rose (Caren Pistorius) dengan sepenuh hatinya. Tapi dari beberapa flashback, Rose tampak tidak menyimpan perasaan yang sama. Bagi Rose, Jay hanya adik laki-laki yang tak pernah ia miliki.

Romansanya dibawa ke bingkai modern, tapi bukan itu saja, alasannya ialah secara menyeluruh film ini merupakan perjuangan membawa genre western ke ranah yang lebih modern tanpa sekalipun "melenceng" terlalu jauh dari dasarnya. Alurnya masih berjalan lambat, lokasinya masih familiar dan tentu saja masih diisi oleh baku tembak yang menegangkan. Tapi diluar semua itu atmosfernya lebih kekinian. Sinematografi garapan Robbie Ryan masih memukau, tapi tidak ada landscape super lebar untuk hamparan padang tandus. Gambar landscape masih ada, namun lebih "sempit", juga terasa lebih berwarna dengan padang rumput hijau, bunga bermekaran serta hal-hal penuh warna lainnya. Penggunaan 1.66:1 daripada 2.35:1 (ratio dominan western), menciptakan layar lebih sempit, tapi tidak hingga klaustrofobik melainkan mendekatkan penonton pada karakter-karakternya. 
Tapi sekali lagi membawa kearah gres bukan berarti sepenuhnya lari dari ciri western itu sendiri. Klimaks baku tembak ibarat yang seharusnya masih ada disini. Maclean berhasil menggarapan showdown ala-western yang tidak bombastis ataupun bising, namun begitu intens mencengkeram penonton dan pastinya brutal. It's not so grandious, but really sharp and well-made. Intensitas terjaga rapih dengan banyaknya peluru yang beterbangan juga darah yang tumpah. Keunikan turut tersaji disaat Maclean begitu rapih merubah tone film dari serius dan brutal menuju komedi hitam yang aneh. Tidak terasa tumpang tindih, bahkan terasa menguatkan. Hal itu menjadi bukti kehebatan Maclean baik sebagai sutradara maupun penulis naskah. Keanehan bumbu black comedy-nya menciptakan film ini seolah berada dalam dunia yang sama dengan film-film Coen Brothers. Tidak lupa Maclean menyelipkan hati berkat sebuah twist yang lagi-lagi menciptakan sebuah maut tidak hanya tragis namun romantis. Romansanya terasa menyayat berkat kejutan tersebut.

Aktornya bermain baik. Michael Fassbender punya segala pesona yang dibutuhkan untuk menjadi Silas: misterius, cool, dan seorang outlaw hebat yang bahkan tidak bergerak sedikitpun meski ada pistol yang ditodongkan kearahnya. Kodi Smit-McPhee juga mendapat pencapaian serupa dengan sosoknya yang nampak halus, lemah dan quirky. Kesan bahwa ia berada di kawasan yang salah dan seorang laki-laki yang tidak tahu apa-apa wacana situasi di sekitarnya terpampang jelas. Jay mungkin tidak dapat diandalkan, namun tidak pernah terasa menyebalkan. Ekpsresi dan emosi yang ia tunjukkan bertahap begitu tepat memaparkan kebaikan hati dan kejujuran karakternya. Terakhir ada Ben Mendelsohn yang untuk kesekian kalinya menjadi sosok psikopat. Terasa tipikal bagi sang pemain film tapi tak pernah membosankan melihat penampilannya, apalagi dikala penonton dibentuk mencicipi aura mengerikan hanya dari tatapan mata. 

Verdict: Singkat, padat, amat memikat. Slow West memberi modifikasi dalam sajian western tanpa pernah sekalipun merupakan hakikat dasarnya. Kini tidak perlu lagi kita menunggu Coen Brothers untuk sebuah sajian yang keras, brutal, aneh, sekaligus lucu. 

Artikel Terkait

Ini Lho Slow West (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email