Friday, December 14, 2018

Ini Lho Kumiko, The Treasure Hunter (2014)


"THIS IS A TRUE STORY. The events depicted in this film took place in Minnesota in 1987. At the request of the survivors, the names have been changed. Out of respect for the dead, the rest has been told exactly as it occurred"

Kalimat tersebut menjadi pembuka dari Fargo (1996) karya Coen Brothers, mengarahkan penonton untuk percaya bahwa film tersebut memang didasari oleh cerita nyata. Tapi benarkah rentetan hal absud dalam Fargo memang nyata? Keanehan dalam suatu film khususnya hasil buah karya Coen memang menyempitkan lingkup penonton. Banyak yang merasa berat hati untuk mendapatkan semua itu. Maka menyerupai yang dikatakan Joel Coen, penambahan kalimat pembuka itu bertujuan "mempermudah" penerimaan penonton akan segala bentuk hal yang sifatnya diluar nalar, mengarahkan mereka untuk percaya bahwa semua itu yaitu stranger than fiction. Dampaknya besar, termasuk dalam terciptanya urban legend tentang kematian Takako Konishi pada tahun 2001.

Gadis asal Tokyo itu ditemukan tewas pada 15 November 2001 di Minnesota. Banyak pihak termasuk media berspekulasi bahwa Takako tewas dalam usahanya mencari uang yang dikubur oleh aksara Steve Buscemi dalam Fargo. Takako dikabarkan percaya bahwa film tersebut memang sepenuhnya menurut cerita nyata. Sebuah cerita yang ternyata sama palsunya dengan Fargo itu sendiri. Takako bahwasanya tewas bunuh diri alasannya yaitu merasa tertekan oleh pekerjaannya. Urban Legend itulah yang mendasari inspirasi penciptaan naskah film ini oleh David dan Nathan Zellner. Sosok Takako digantikan oleh Kumiko (Rinko Kikuchi), perempuan 29 tahun yang hidup dalam kesendirian. Dia menentukan tinggal sendirian meski sang ibu terus memaksanya untuk pulang. Tidak hanya itu, Kumiko juga terus dipaksa oleh ibunya untuk segera mencari calon suami. 
Kehidupannya di daerah kerja pun tidak lebih berwarna. Di tengah wanita-wanita muda yang ceria dan selalu membicarakan mode penampilan terbaru, Kumiko selalu membisu menyendiri sebagai outsider. Dia pun membenci sang bos yang selalu menunjukkan tugas-tugas yang tidak Kumiko sukai menyerupai membawa baju ke laundry atau menunjukkan kado ulang tahun pernikahan. David Zellner selaku sutradara coba mempertunjukkan betapa terkucilnya kehidupan Kumiko. Kita tidak pernah sekalipun mendapati Kumiko terlibat dalam interaksi sosial yang ia nikmati dengan insan lain. Satu-satunya korelasi menyenangkan dalam keseharian Kumiko yaitu dengan Bunzo, kelinci peliharaannya. Dalam kondisi terasing menyerupai itu, seseorang tidak akan bisa mempertahankan "kewarasannya", apalagi jikalau telah terjadi dalam waktu usang menyerupai yang dialami Kumiko. Anda bisa melihat aneka macam eksperimen yang bermain-main dengan "kondisi isolasi" dan mendapati tidak butuh waktu usang bagi subyek untuk mulai mencicipi kecemasan bahkan halusinasi.

Satu-satunya yang bisa menjaga seseorang dari kehilangan kewarasan dalam kondisi terkucil yaitu jikalau ia disibukkan oleh suatu rangkaian kegiatan yang disukai. Dengan begitu fokusnya tetap terjaga dan pikirannya tersibukkan. Kumiko sejatinya mempunyai pengalih itu, yakni obsesinya terhadap harta karun dalam film Fargo. Kumiko percaya bahwa film itu yaitu kenyataan, dan uang yang dikuburkan memang benar ada disana. Zellner memakai hal itu untuk menyajikan ironi, disaat satu-satunya tujuan hidup sang aksara utama justru sebuah hal yang akan membawa kehidupannya semakin jauh menuju kesendirian, keputusasaan dan kehampaan. Salah satu kelebihan terbesar Kumiko, the Treasure Hunter adalah percampuran suasana hopeful dengan helpless disaat yang bersamaan. Dua hal bertolak belakang itu bisa disatukan oleh Zellner, hingga tercipta kepedihan dalam hati penonton ketika mengikuti pencarian Kumiko akan harta karun yang tidak pernah ada. 
Dari situ terciptalah simpati. Kumiko begitu percaya akan keberadaan harta tersebut, bahkan mencurahkan segala daya upaya, mengabdikan hidupnya untuk menemukan itu. Dalam satu lagi penampilan yang mengeluarkan sisi terdalam seorang manusia, Rinko Kikuchi sebagai Kumiko bisa menciptakan saya meyakini hal tersebut. Meyakini bahwa dalam tatapan matanya tersimpan harapan serta doktrin yang teramat besar akan sejumlah harta yang tengah ia cari. Penonton akan peduli, alasannya yaitu kita tahu bahwa harapan yang begitu tinggi dari perempuan polos ini hanya akan menuntunnya menuju simpulan yang tragis. 

Berbekal eksplorasi tema mendalam dan sinematografi garapan Sean Porter, film ini juga berhasil menyajikan suasana yang tepat mewakili kehidupan Kumiko. Sunyi, masbodoh dan begitu terasing. Tidak hanya dalam lingkungan sosial daerah ia tinggal, Kumiko semakin terkucil ketika pencariannya hingga ke Amerika. Dia sendirian di negeri yang asing tersebut, mendapati bahwa dirinya tidak siap menghadapi benturan budaya yang terbentang mulai dari perbedaan bahasa hingga cuaca yang ekstrim. Cultural barrier cukup banyak digali oleh Zellner, termasuk ketika seorang polisi (diperankan sendiri oleh David Zellner) berusaha mencari penerjemah bahasa Jepang bagi Kumiko di sebuah restoran Cina. Eksplorasi akan tema tersebut menciptakan penonton lebih gampang mencicipi rasa "tersesat" yang dialami karakternya. Begitu pula gambarnya yang terasa "dingin", bahkan sebelum filmnya bergerak ke Minnesota yang bersalju. Gambaran Kumiko dengan kerudung merahnya di hamparan salju putih mengesankan keindahan di tengah kepedihan, sama menyerupai ironi ketika harapan dipenturkan dengan keputusasaan yang dieksplorasi film ini.

Verdict: Kemana fantasi dan harapan indah akan membawa seseorang? David Zellner membawa dua sisi bertolak belakang secara berdampingan disini. Kumiko, the Treasure Hunter adalah cerita tragis yang bersembunyi dalam keindahan harapan yang bahwasanya semu menyerupai opening dan ending-nya.

Artikel Terkait

Ini Lho Kumiko, The Treasure Hunter (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email