Friday, December 14, 2018

Ini Lho Timbuktu (2014)

Film yang merupakan perwakilan Mauritania di ajang Oscar 2015 ini tidak ada sangkut pautnya dengan Donal Bebek (if you know what I mean), melainkan sebuah observasi terhadap rezim Ansar Dine yang sempat menduduki Timbuktu pada medio 2012 dikala terjadi "Pemberontakan Tuareg". Pada awalnya tujuan pendudukan tersebut yaitu sebagai perlawanan terhadap pemerintah Mali, namun bukannya menjadi pelindung ibarat seharusnya, Ansar Dine justru menghadirkan rasa takut serta bahaya bagi masyarakat setempat. Penerapan Syariat Islam secara paksa yaitu sumber utama ketakutan tersebut. Para perempuan dipaksa menggunakan jilbab dan sarung tangan, muncul larangan memutar atau bermain musik, bahkan bermain sepak bola pun jadi salah satu acara yang diharamkan oleh mereka. Sutradara merangkap penulis naskah Abderrahmane Sissako memaparkan semua itu sebagai bentuk perlawanannya.

Perlawanan terhadap siapa? Bukan saja kepada Ansar Dine, melainkan kepada siapa saja pihak yang mengatasnamakan agama sebagai pembenaran untuk praktek kekuasaan otoriter. Agama tidak saja gosip yang sensitif tapi juga rawan untuk terasa menggurui atau jatuh ke ranah propaganda (terlepas dari positif atau negatifnya kata "propaganda"). Timbuktu berhasil dikemas oleh Sissako tanpa pernah sekalipun memaksa saya mendapatkan pesan-pesan perlawanan yang disampaikan. Judulnya menggunakan nama lokasi yang menjadi setting, seolah menjadi penggambaran cara bertutur sang sutradara. Bukannya menentukan satu konflik secara khusus, film ini yaitu pemaparan mengenai kondisi Timbuktu secara menyeluruh. Bagaimana rezim Ansar Dine berjalan, apa saja aturan yang mereka terapkan, bagaimana reaksi masyarakat terhadap hal tersebut, hingga efek sebesar apa yang timbul. 
Hanya dari situ Timbuktu adalah tontonan yang nyaris sempurna. Pemaparan konfliknya terasa jujur dan menggaet emosi saya tanpa harus melaksanakan provokasi berlebihan yang dipaksakan. Adegan demi adegan yaitu rangkaian observasi terhadap kepingan konflik yang meski terpisah dan melibatkan orang-orang berbeda namun terasa saling melengkapi. Meski terasa familiar khususnya bagi penonton yang berasal dari negara dengan penduduk secara umum dikuasai Islam ibarat Indonesa, tapi gosip yang diangkat masih berhasil mengaduk-aduk emosi. Pemaksaan yang diterima warga Timbuktu masih menghadirkan rasa simpati pada mereka sekaligus amarah pada kelompok Ansar Dine. Abderrahmane Sissako pun tidak hanya mempertontonkan ketidakadilan, tapi juga membawa penonton menelusuri "bagian dalam" Ansar Dine. Mereka melarang warga merokok dan bermain sepak bola. Bahkan dalam suatu adegan yang cukup menggetarkan, beberapa cowok menendang bola, berselebrasi layaknya pemain yang gres mencetak gol, meski semua itu dilakukan tanpa menggunakan bola.

Ansar Dine tidak memperlihatkan sedikitpun toleransi terhadap aturan yang diterapkan. Bagi mereka yang bermain musik, 40 kali cambukan sudah menunggu. Sedangkan bagi pelaku zina, maut dengan cara dirajam sudah niscaya diterima. Tapi apakah para "penegak hukum" itu juga taat pada apa yang mereka tetapkan? Sama ibarat yang sering terjadi pula di Indonesia, banyak dari para "penggila moral" itu bersembunyi di balik image sebagai pemuka agama sebab mereka sendiri memendam hasrat besar untuk melanggar aturan tersebut. Beberapa tentara diperlihatkan sedang membandingkan Zinedine Zidane dan Lionel Messi, sementara itu salah seorang petinggi Ansar Dine sering rahasia merokok di tengah gurun pasir. Apakah beberapa tindakan tersebut diketahui anggota lainnya? Tentu saja. Tapi apakah mereka menerima eksekusi ibarat layaknya masyarakat sipil? Nyatanya tidak. Sissako menggunakan semua itu sebagai bentuk protesnya. Sebuah perlawanan yang elegan sebab saya tidak mencicipi amarah berlebih disini, hanya sebuah penuturan kenyataan yang dibalik kesunyiannya berteriak lantang.
Sampai disini Timbuktu merupakan presentasi memukau. Sayang, fokus lebih kepada abjad Kidane (Ibrahim Ahmed dit Pinto) dan keluarganya sedikit mengurangi kehalusan filmnya bertutur. Seperti yang saya tulis di atas, pemakaian "Timbuktu" sebagai judul memperlihatkan tujuan Sissako untuk mengeksplorasi sebuah kawasan dengan segala pernak perniknya. Fokusnya yaitu kota Timbuktu, jadi sah-sah saja jikalau ia tidak mempunyai satu abjad dengan eksplorasi konflik paling menonjol sebagai protagonis. Kehadiran Kidane sekeluarga pada awalnya selaras dengan hal itu. Mereka terlihat sebagai pembanding, outisder yang hidup terpisah namun penuh kedamaian yang berasal dari kebebasan. 

Saat Kidane mulai berada dalam frame yang sama dengan konflik utama, fokus film menjadi goyah. Protagonis berfungsi sebagai penyambung antara penonton dengan narasi, dan butuh sosok yang menggaet simpati untuk sanggup melaksanakan itu. Karakter Kidane tidak hingga sekuat itu membawa beban sebagai fokus utama. Akhirnya durasi yang sanggup dimanfaatkan untuk hal lain tersiakan oleh eksporasi abjad yang kurang maksimal. Seharusnya Abdurrahmane Sissako membiarkan saja penonton merasa ikut berada di Timbuktu secara natural.

Artikel Terkait

Ini Lho Timbuktu (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email