Friday, December 14, 2018

Ini Lho Ant-Man (2015)

Guardians of the Galaxy adalah resiko besar yang diambil Marvel, tapi Ant-Man dengan ukuran badan sekecil semut punya resiko jauh lebih besar. Proyek yang pada awalnya menjanjikan alasannya ialah keterlibatan Edgar Wright berubah jadi mencurigai sesudah sang sutradara pergi dengan alasan perbedaan visi dengan pihak Marvel. Praktis untuk ditebak bahwa perbedaan itu berasal dari harapan Marvel untuk mengaitkan tiap-tiap film mereka, dan bagi sutradara independen ibarat Wright, sebuah stand alone movie tentunya lebih mendukung kebebasannya bereksplorasi. Sebagai pengganti Wright, direkrutlah Peyton Reed (Yes Man). Sedangkan Adam McKay yang menulis naskah dua film Anchorman dan Paul Rudd menulis ulang naskah yang sebelumnya disusun oleh Wright bersama Joe Cornish. Apa yang dipikirkan Marvel dikala menunjuk nama-nama tersebut? Edgar Wright memang sutradara komedi, tapi Reed dan McKay punya gaya komedi yang jauh berbeda, kalau dilarang dibilang lebih "tasteless".

Sama ibarat namanya, Ant-Man ialah superhero dengan kemampuan mengecilkan badan seukuran semut dan bisa berkomunikasi dengan serangga tersebut. Sebuah nama dan kemampuan yang terdengar konyol, bahkan tanpa harus membandingkannya dengan baju besi Tony Stark atau Mjolnir milik Thor. Tanpa kejeniusan Edgar Wright dalam membangun "lelucon sadar diri", film ini bisa berakhir konyol pula (in a bad way). Tapi begitu dimulai, Ant-Man tidak pernah berhenti mengejutkan saya dari awal hingga akhir, dalam segala aspek yang dimilikinya. 

Siapa sangka film ini dimulai dengan lambat, mengajak penonton berkenalan pada tiap-tiap karakternya secara perlahan? Dibuka dengan perpecahan antara Hank Pym (Michael Douglas) dengan S.H.I.E.L.D yang berusaha mencuri formula penemuannya pada 1989, Ant-Man kemudian melompat ke masa kini. Scott Lang (Paul Rudd) gres saja usai menjalani eksekusi penjara yang harus ia jalani sesudah melaksanakan pencurian di perusahaan tempatnya bekerja dulu. Aksi Scott membobol sistem keamanan yang nampaknya tidak mungkin ditembus itu menarik perhatian Hank Pym. Sang ilmuwan kemudian meminta dukungan Scott dengan kemampuannya tersebut guna mencuri baju Yellowjacket dari mantan muridnya, Darren Cross (Corey Stoll) sebelum baju tersebut dipakai untuk kejahatan. Untuk melaksanakan pekerjaan tersebut, Scott harus mengenakan kostum yang memberikannya kekuatan sebagai Ant-Man. 
Awal yang lambat tanpa adegan agresi eksplosif layaknya film-film Marvel lain menawarkan waktu bagi penonton untuk bisa menyukai Scott Lang selaku huruf utama. Pembawaan likeable Paul Rudd bisa membuat saya meyakini bahwa dirinya ialah seorang laki-laki baik dalam situasi menghimpit menawarkan kekuatan bagi drama "hubungan ayah-anak"-nya. Film ini melaksanakan pendekatan serupa layaknya Iron Man pertama pada Tony Stark dimana butuh waktu beberapa usang sebelum Scott mengenakan kostum Ant-Man. Pilihan yang beresiko, apalagi mengingat minimnya adegan agresi pada paruh pertama film. Untuk melaksanakan itu butuh huruf menarik atau kisah kuat. Eksplorasi Ant-Man akan kedua hal tersebut tidaklah terlalu kuat, namun masih cukup menawarkan tenaga berbuah hiburan menyenangkan sehingga saya tidak sedikitpun bosan sebelum petualangan utamanya hadir. Karakter Hope (Evangeline Lily) mungkin tidak digali mendalam, tapi sosoknya menghadirkan satu lagi huruf perempuan tangguh dalam film Marvel yang mungkin bakal lebih terasa efeknya pada film-film mendatang.


Kemudian filmnya hingga pada sajian utamanya dikala Scott Lang mulai menyusut, membentuk pasukan semut dalam jumlah besar, terbang kesana kemari bersama semut yang ia beri nama Ant-Thony, kemudian melawan sosok-sosok dengan ukuran jauh lebih besar termasuk salah seorang anggota Avengers yang muncul sebagai kejutan (meski sebuah klip televisi sudah menawarkan spoiler akan kemunculannya). Akhirnya daripada terasa "cupu", Ant-Man yang mungil justru terkesan badass saat beraksi menghajar lawan-lawannya. Disinilah ungkapan "size doesn't matter" benar-benar dibuktikan. Ukuran sang superhero boleh saja kecil. Begitu pula skala film yang hanya bermain-main di ranah heist movie tentang perjuangan menyusup ke suatu gedung untuk melaksanakan pencurian, tapi daripada terasa anti-klimaks, film ini menawarkan perspektif gres dalam penyajian film agresi superhero. Efek CGI bukan lagi untuk mengeksploitasi ledakan, tapi demi mengemas viualisasi "dunia mini" sebaik mungkin. Bukan pesawat raksasa atau angkasa luas yang menjadi arena, melainkan sela-sela karpet, rumput, hingga lintasan mainan kereta.
Dengan semua pemandangan itu, gampang bagi Ant-Man untuk menjadi sajian paling absurd dari Marvel. Tanpa mengecilkan keberhasilan seorang Peyton Reed, bagi penonton yang sudah familiar niscaya akan mencicipi bahwa efek Edgar Wright masih amat besar lengan berkuasa khususnya dalam sisi komedik. Lihat saja klimaksnya dikala aneka macam benda hingga binatang mendadak berubah ukuran. Namun paling terasa ialah dikala pada beberapa momen kita melihat jump cut ala-Wright yang secara rutin menghiasi "Cornetto Trilogy" miliknya. Peyton Reed bisa mengemas semua itu dengan cukup baik, dimana hal itu layaknya sebuah "penghormatan" bagi Edgar Wright. Tapi Ant-Man yang dipenuhi nama-nama besar komedi baik di depan maupun balik layar harusnya bisa tampil lebih menggelitik. Ironisnya, kekurangan ini pun diakibatkan oleh efek Wright. Seperti yang saya tuliskan di atas, semoga bagaimanapun gaya melucu Wright dan Reed amat berbeda. Meski naskahnya sudah ditulis ulang oleh McKay dan Rudd, tidak semuanya bisa diadaptasi dengan gaya Reed. Sang sutradara nampak masih kurang familiar dengan beberapa gaya komedi filmnya sendiri.

Satu lagi keberhasilan Ant-Man datang dari sebuah faktor yang seringkali mengurangi kualitas sebuah film Marvel secara keseluruhan (ex: Iron Man 2 & Avengers: Age of Ultron), yakni membuat stand alone sambil secara bersamaan berbagi Marvel Cinematic Universe. Ant-Man merupakan salah satu film Marvel yang paling sukses melaksanakan hal tersebut. Pertama, ceritanya bisa terasa terkait dengan film Marvel lain tanpa merusak pondasi utama. Beberapa easter eggs tidak hanya berhasil menawarkan hiburan bagi para fans (termasuk tease tentang keberadaan Spider-Man), tapi juga membuat bentangan kisah lebih luas bagi MCU. Kedua, ibarat Guardians of the Galaxy yang membawa dunia Marvel ke ranah cosmic, film ini pun berhasil mengajak kita melihat "dunia lain". Tidak perlu jauh-jauh ke luar angkasa, alasannya ialah dunia tersebut masih berada di Bumi, hanya saja seringkali luput dari perhatian kita. 

Verdict: Satu lagi perjudian yang berhasil dari Marvel Studios. Ant-Man adalah sajian mereka yang paling absurd dan beresiko tapi berakhir menyenangkan sekaligus menyegarkan. Berhasil untuk berdiri sendiri maupun sebagai jembatan penghubung dengan film-film lain. 

Artikel Terkait

Ini Lho Ant-Man (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email