Thursday, December 6, 2018

Ini Lho Sunya (2016)

Mengambil ide dari cerpen "Jimat Sero" karya Eka Kurniawan  menjadi co-writer bersama Harry Dagoe Suharyadi sang sutradara  "Sunya" mungkin merupakan film lokal paling segmented yang rilis di bioskop tahun ini. Begitu film usai, saya sempat mencuri dengar ungkapan kekesalan seorang wanita kepada pacarnya. Dia berujar "apaan coba? Nggak terang maksud filmnya apa!" Saya amat maklum. Berjalan dalam tempo lambat, didominasi gambar statis berhiaskan kesunyian, serta gaya surealisme, "Sunya" mengingatkan pada kemistisan karya-karya Apichatpong Weerasethakul lengkap dengan setting perkampungan dan hutan lebat yang bakal membosankan bagi penonton mainstream.

Satu poin penting demi menerima kepuasan dari film ini yaitu fokus. Jangan lepaskan atensi anda. Perhatikan segala detail presentasi visual; kejadian, identitas tokoh, hingga tiap perbuatan mereka. Karena sejatinya Harry Dagoe Suharyadi cukup "berbaik hati" mengungkap tanggapan atas serangkaian tanya. Semua sudah ditebar, tinggal bagaimana penonton menyusun keping-keping puzzle tersebut sembari menginterpretasi. Pola narasi tersebut membuat kesulitan bagi saya untuk menuliskan sinopsis, kecuali bahwa "Sunya" berkisah mengenai Bejo (Erlandho Saputra) yang mudik lantaran sang nenek yang telah lanjut usia sakit parah tanpa alasan medis jelas. Ditengarai penyakit tersebut disebabkan oleh praktik perdukunan serta jimat milik sang nenek.
Kemudian alurnya bolak-balik melompat antara masa sekarang dan masa lalu, ketika Bejo kecil (Satria Qolbun Salim) masih duduk di kursi SD dan kerap bertemu gadis cilik misterius di hutan ketika tengah berjalan menuju sekolah. Naskahnya solid menalikan alur non-linier, sehingga walau bergerak acak tetap ada ikatan saling berkesinambungan. Harry Dagoe dan Eka Kurniawan cermat memilih timing kapan melemparkan misteri dan kapan harus memberi jawaban. Saat kiranya kebingungan mulai memuncak, tanggapan pribadi dipaparkan. Tentu tanggapan tersebut masih berbalut surealisme, sebagai rangsangan stimulus biar otak kita tetap bekerja, namun cukup sebagai pencerahan biar penonton mempunyai pegangan, tidak sepenuhnya tersesat di dunia mistis "Sunya". Artinya film ini menghargai penonton, enggan sekedar menyuapi, tidak pula berusaha keras menebar kebingungan.

Kepintaran naskah kembali nampak lewat caranya merangkum kisah mengenai kepercayaan masyarakat Indonesia  dalam hal ini Jawa  terhadap unsur klenik. Sentuhan mistisnya bukan gimmick, melainkan punya substansi demi menggali sisi-sisi kehidupan Bejo. Bagaimana ia tumbuh dewasa, bagaimana hal itu besar lengan berkuasa pada tiap sendi kehidupannya mulai percintaan, karir, hingga kekerabatan dengan orang tua. Harry Dagoe dan Eka Kurniawan bisa mempertemukan banyak sekali poin tersebut, mengaitkannya dalam satu benang merah berupa budaya klenik. Selipan kisah para koruptor memang agak dipaksakan masuk, tapi tak hingga merusak fokus. Bahkan cukup menggelitik ketika Ronny P. Tjandra tampil dengan kostum dan riasan tikus ala kadarnya.
Terdapat kelemahan pada tata visual. Kurangnya kualitas CGI memang bisa dimaklumi mengingat keterbatasan bujet, namun aspek coloring-nya sering mengganggu. Harry Dagoe Suharyadi (juga selaku sinematografer) kerap menggunakan unnatural filter yang justru mengganggu, alasannya yaitu "Sunya" merupakan film yang dekat  baik esensi kisah juga setting  dengan alam. Kesan tidak natural pada alhasil kolam "mengkhianati" substansi film itu sendiri, walau untuk beberapa potongan semisal pengemasan sosok buto (raksasa), pengaruh serupa justru cocok membangun nuansa asing out of this world.

Melalui "Sunya", Harry Dagoe Suharyadi membangun dunia misterius penuh aura mistis sekaligus puitis bermodalkan bahasa visual. Bukan saja solid membangun atmosfer lewat kesunyian hutan yang terbentang luas  beberapa kali menggunakan landscape dengan abjad mengisi sebagian kecil frame saja, kolam menyiratkan kerdilnya insan di tengah kuasa alam  Harry juga kaya akan kreatifitas imaji guna menjalin simbol bermacam situasi. Absurditas semisal Bejo kecil mengurung peri-peri hutan dalam sekantong tas atau tarian Jawa sebagai representasi praktik perdukunan hingga acara seksual jadi presentasi estetis yang "menyembunyikan" kebenaran horror di balik kehidupan Bejo. "Sunya" yaitu surealisme yang memperhatikan substansi. Sederet metafora estetis pula pace lambat (namun cermat) esensial bagi kisah dan suasana, bukan bentuk kepongahan "sok artsy".

Artikel Terkait

Ini Lho Sunya (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email