Thursday, December 6, 2018

Ini Lho Barakati (2016)

Asal muasal serta simpulan hidup Gajah Mada, sang Mahapatih Majapahit memang masih menjadi misteri. Salah satu  dari sekian banyak  teori meyakini ia lahir kemudian meninggal di pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Teori itu menjadi dasar pembuatan "Barakati", film karya Monty Tiwa yang trailer-nya telah beredar semenjak dua tahun kemudian tapi entah mengapa gres dirilis sekarang. Naskah hasil goresan pena Monty bersama Eric Tiwa ("Laskar Pemimpi" & "Wakil Rakyat") coba mengetengahkan penyelidikan atas misteri kehidupan Gajah Mada tersebut, menyusun catatan sejarah menjadi petualangan treasure hunting bak "The Da Vinci Code" atau "National Treasure". Konsep segar di perfilman Indonesia, namun sayang eksekusinya jauh di bawah harapan.

Seorang arkeolog asal Yogyakarta, Abdul Manan (Fedi Nuril) dimintai tolong oleh wartawan Inggris berjulukan Gerry (Jono Armstrong), guna menilik sebuah lontar dari kurun 14 yang ditengarai sanggup menjawab misteri keberadaan Gajah Mada (Tio Pakusadewo). Penyelidikan itu menuntun Abdul Manan mendatangi Buton, tanah kelahiran kedua orang tuanya. Di sana ia turut mengemban amanah dari sang ibu (Niniek L. Karim) yang ingin pulang ke kampung halamannya sehabis dulu diusir akhir menikahi laki-laki non-bangsawan. Dibantu Wa Ambe (Acha Septriasa), seorang warga lokal, Abdul Manan memulai penelitian tanpa tahu ada pihak lain ikut mengincar lontar itu.

Sesungguhnya hanya satu problem "Barakati", tapi problem tersebut terlampau fatal dan mendasar, yakni arah yang tidak menentu. Filmnya galau akan identitasnya, galau memilih apa saja yang hendak dituturkan, galau hendak bergerak ke mana. Prolognya amat menarik, menampilkan setting Majapahit dengan pertunjukan utama berupa pertarungan pasukan Bhayangkara yang dipimpin Gajah Mada melawan para pemberontak. Berbalut gambar glossy garapan Rollie Markiano  sinematografer langganan Monty  sang sutradara membalut pertempuran dengan slow-motion, darah serta kostum keren  walau topeng Bhayangkara kurang signifikan  layaknya "300" milik Zack Snyder. Adegan ini yaitu bab terbaik "Barakati" yang tak pernah lagi muncul sampai film berakhir.
Setelahnya, "Barakati" total memindahkan latar penceritaan ke masa kini, namun daripada memanfaatkan waktu menggelar petualangan seru kental teka-teki, naskahnya justru berlama-lama mengitari tabrakan keluarga protagonis dengan budpekerti Buton. Niatnya baik, demi memperdalam latar belakang Abdul Manan sembari menjalin benang merah antara kisah masa lampau dan sekarang. Masalahnya, penggalian aksara semestinya "hanya" berfungsi menguatkan motivasi tokoh, bukan mencuri fokus (kecuali pada film character-driven), sampai kisah utama ditelantarkan. Terlebih paparan dua era  tentang "kepulangan"  gagal saling mengikat kuat, masih terasa terpisah.

Seolah terlambat menyadari sudah kehabisan waktu, alurnya gres berkonsentrasi pada penelusuran misteri menjelang simpulan second act, dikemas lewat montage yang terburu-buru, mengeliminasi dinamika menarik dalam perjuangan aksara memecahkan teka-teki. Turut terkena dampak yaitu subplot mengenai organisasi belakang layar kuno yang ikut menginginkan lontar Gajah Mada. Keberadaan mereka diselipkan sekenanya demi memperbesar skala bahaya yang tak pernah sekalipun penonton rasakan akhir minimnya waktu dihabiskan di pendalaman misteri. 
Kondisi "Barakati" memburuk akhir pilihan konklusi yang tidak memberi pembalasan setimpal akan kesabaran penonton mengikuti perburuan belakang layar Gajah Mada. Tidak ada pula pesan yang sanggup dimaknai dari konklusi itu. Bayangkan anda tengah mengikuti lomba berhadiah besar, kemudian sehabis bersusah payah, hadiah tersebut urung diberikan tanpa alasan terperinci dari pihak panitia. Semua pembangunan plot film ini pun hancur sia-sia. Menyaksikan credit scene-nya, semakin galau saya akan tujuan "Barakati". Sebuah petualangan mencari artefak? Drama keluarga? Drama kemanusiaan berbalut adat? Atau fantasi? Disebut kombinasi pun, semua poin di atas tak saling bersinergi.

Fedi Nuril berusaha maksimal sebagai arkeolog handal walau naskahnya tak memberi sang bintang film cukup materi biar tampak meyakinkan. Monty berusaha memakai gaya akting Dwi Sasono untuk membuat villain berdarah dingin. Terkadang menarik, tapi lebih sering jatuh ke ranah komikal. Untungnya Acha Septriasa meyakinkan, baik soal aksen atau emosi (air matanya di simpulan film cukup menggetarkan rasa). Sayang, sang aktris tak cukup berpengaruh mengangkat lemahnya naskah menjalin dinamika trio protagonis, entah sebagai teman maupun romansa tersirat Abdul Manan dan Wa Ambe. 

"Barakati" menyimpan potensi menghadirkan variasi genre perfilman tanah air, tapi justru lebih banyak mengundang pertanyaan tak perlu. Kenapa tato Tio Pakusadewo masih terlihat tatkala era Majapahit mestinya tidak memungkinkan Gajah Mada memilikinya? Bagaimana Dwi Sasono sanggup seketika berpindah kawasan tanpa ilmu sihir? Kenapa sang tetua budpekerti sanggup mendadak berubah sikap, dari seorang penjunjung budpekerti yang enggan menemui Abdul Manan berbalik mendukungnya  bahkan diselipi canda  menyibak belakang layar Gajah Mada yang mana sanggup mengubah sejarah? Bagaimana Abdul Manan sang perjaka baik-baik sanggup sesantai itu pasca membunuh orang? Apa bahwasanya visi Monty Tiwa dalam mengemas "Barakati"? Entahlah.


Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID

Artikel Terkait

Ini Lho Barakati (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email