Friday, December 28, 2018

Ini Lho Terminator Genisys (2015)

Setiap film pastinya (diharapkan) mempunyai ciri sebagai pembeda antara satu dengan yang lain. Pembeda itu akan semakin vital pengaruhnya jikalau membicarakan sebuah franchise. Apapun bentuknya, entah cerita, karakter, tema, atau mungkin sekedar gimmick, ciri khas menjadi begitu penting dalam membangun franchise. Tidak perlu yang sifatnya besar. Satu hal kecil asalkan itu besar lengan berkuasa pun sudah cukup. Sebagai pola kita sanggup membedakan antara Die Hard dengan Rambo yang sama-sama mengusung one man army sebagai aktivis dongeng alasannya yaitu perbedaan sosok John McClane dengan Rambo. Keberadaan ciri tersebut mengatakan jalur yang harus diikuti ketika menciptakan sekuel, alasannya yaitu mengesampingkan hal itu sama saja menghilangkan jati diri. Perubahan boleh dibentuk asal membawa kearah lebih baik dan tidak mengkhianati esensi dasar. Penonton sanggup mendapatkan ketika Fast Five berubah dari racing movie kearah heist, alasannya yaitu tetap menampilkan kebut-kebutan kendaraan beroda empat sebagai fokus utama. 
Terminator Genisys adalah usaha membangkitkan suatu franchise yang sesungguhnya tidak mempunyai banyak hal tersisa untuk dieksplorasi. Salvation yang dirilis enam tahun kemudian gotong royong sudah mengatakan arah gres dengan berfokus pada usaha John Connor di masa depan, tapi alasannya yaitu respon negatif, maka merupakan hal riskan untuk melanjutkan kisahnya. Pada kesudahannya untuk me-refresh cerita dan memberi kesempatan bagi Arnold Schwarzenegger kembali sebagai Terminator, dilakukanlah upaya yang ketika ini tengah menjadi tren di Hollywood: soft-reboot. Metode ini gotong royong efektif untuk memberi awalan gres tanpa harus sepenuhnya melupakan/menuturkan lagi semua yang selama ini sudah dibangun. X-Men: Days of Future Past dan Jurassic World adalah dua pola yang berhasil. Genisys mengambil langkah menyerupai dengan film yang disebut pertama, yakni memanfaatkan aspek perjalanan waktu dan alternate timeline. Filmnya dibuka dengan "recap" mengenai hal yang sudah kita tahu, mulai dari Judgement Day, hingga perlawanan insan terhadap mesin yang dipimpin John Connor (Jason Clarke).

Manusia telah berada dalam tahap simpulan pertempuran dimana tinggal selangkah lagi Skynet berhasil mereka kalahkan. Skynet yang tidak tinggal membisu mengirim sejumlah Terminator untuk membunuh ibu John, Sarah Connor (Emilia Clarke) di tahun 1984. Tidak tinggal diam, John mengirim tangan kanannya, Kyle Reese (Jai Courtney) untuk melindungi sang ibu. Tentu saja kita sudah mengetahui apa yang akan terjadi, alasannya yaitu semua itu yaitu plot bagi film pertama yang rilis 31 tahun lalu. Kyle akan melindungi Sarah, keduanya saling jatuh cinta, kemudian lahirlah anak mereka, John Connor. Penonton berada dalam posisi yang tidak jauh berbeda dengan Kyle ketika berekspektasi bakal melihat Sarah versi sampaumur yang masih polos dan lemah. Tapi sesampainya di masa kemudian kita mendapati Sarah sudah mengetahu segala hal wacana Skynet, kedatangan Kyle, John sebagai pemimpin perlawanan, pada dasarnya segala hal yang seharusnya belum ia ketahui. Bahkan ia sudah 10 tahun hidup bersama T-800 (Arnold Schwarzenegger) yang membantu Sarah mempersiapkan takdirnya kelak.
Penjelasan mudahnya adalah, Kyle Reese tiba di alternate timeline yang berbeda dari masa kemudian yang ia tahu. Masa kemudian berubah, nasib abjad berubah, begitu juga masa depan. Bagaimana itu sanggup terjadi? Film ini mengatakan jawaban yang sesungguhnya tidak menjelaskan apapun alias "ngeles". Naskah yang ditulis Laeta Kalogridis dan Patrick Lussier asal memasukkan versi alternatif sebagai langkah gampang untuk merubah dongeng seenaknya tanpa mempedulikan bagaimana semua itu sanggup terjadi. Tentu saja saya tidak mengharapkan sesuatu yang masuk nalar disini, tapi layaknya X-Men: Days of Future Past, setidaknya tidakkah mereka sanggup berusaha lebih keras mengatakan pemaparan? Penggunaan alternate timeline hanyalah alasan permisif yang sulit diterima untuk sanggup berbuat sesuka hati dalam menyusun dongeng tanpa peduli akan semua yang sudah dibangun oleh Terminator selama ini. Contohnya, jikalau ada yang bertanya "kenapa T-1000 (Lee Byung-hun) sanggup ada di tahun 1984 padahal seharusnya ia gres muncul sehabis John lahir?", saya yakin orang-orang dibalik film ini akan menjawab dengan enteng "karena masa kemudian sudah berubah."

Jelas menjadi sebuah kesalahan disaat film ini bermain-main dengan tema perjalanan waktu dan alternate timeline secara asal-asalan menyerupai ini. Tapi "dosa" yang lebih besar yaitu Genisys melupakan esensi dari Terminator franchise. Esensi yang mana? Hampir semuanya. Sedari awal tema perjalanan waktu sudah diusung, namun satu hal penting yaitu fakta bahwa menyerupai apapun usaha yang dilakukan, masa depan tidak akan sanggup dirubah. Fakta tersebut turut diperkuat oleh twist ending pada film ketiganya, Rise of the Machine. Tapi film ini mengambil langkah yang berlawanan. Lagi-lagi hal itu dilakukan dengan memanfaatkan versi alternatif dari masa lalunya. Langkah tersebut terperinci memperlihatkan bagaimana para pembuat filmnya tidak menghormati intelegensi penonton. Seolah dengan menyuguhkan versi masa kemudian dan masa depan yang berbeda mereka terlihat tidak mengutak-atik konsep di atas. 
Kesalahan berikutnya yaitu ketika Genysis melucuti aura "horor" yang selama ini lekat dengan Terminator, entah horor yang dihasilkan oleh kejar-kejaran dengan robot mengerikan, atau horor dari penggambaran kondisi masa depan yang depresif, penuh kehancuran dan tanpa harapan. Saya tidak mengharapkan kengerian menyerupai yang dimunculkan James Cameron dalam film pertama. Cukup hadirkan suasana kelam jawaban Skynet saja sudah cukup. Namun Genysis berusaha sekuat mungkin untuk disukai oleh penonton secara lebih luas. Caranya dengan menciptakan tone film lebih ringan lewat sentuhan komedi tidak lucu yang secara umum dikuasai berasal dari interaksi kaku antara T-800, Sarah dan Kyle. Sesekali melihat kekakuan Arnold dalam berdialog itu masih menghibur, tapi tidak jikalau terlalu sering. Emilia Clarke dan Jai Courtney pun kurang piawai ketika harus menangani momen komedik di tengah-tengah adegan serius. Semakin menjauh dari atmosfer itu ketika ending-nya memperlihatkan konklusi senang yang membuka opsi bagi sekuel secara dipaksakan. Kenapa dipaksakan? Karena daripada menyisakan dongeng lebih untuk dieksplorasi, film ini hanya menggunakan kalimat "perjuangan belum usai", seolah mengambarkan hasrat akan sekuel (baca: uang lebih banyak) tapi gundah akan dibawa kemana lagi ceritanya.

Hilang pula aura usaha berbalut drama emosional yang selalu menghiasi franchise ini. Bahkan Salvation yang selama ini dianggap paling lemah pun masih mempunyai semangat usaha dalam ceritanya. Disini saya tidak pernah merasa diajak untuk memahami apalagi mencicipi apa yang diperjuangkan oleh karakternya. Kyle Reese diutus untuk melindungi Sarah Connor, tapi sehabis masa kemudian berubah kemudian apa? Filmnya kebingungan memaksimalkan ceritanya alasannya yaitu kerumitan alternate timeline yang mereka pun kebingungan merangkainya. Hubungan antara T-800 dengan Sarah dimaksudkan selayaknya ayah dan anak, tapi tidak pernah ada ikatan emosional kuat. Begitu pula disaat Sarah mengetahui John yang seharusnya ia persiapkan sebagai impian terakhir umat insan berkembang menjadi impian terakhir pihak mesin. Karakternya tidak ada yang berhasil mencuri perhatian. Sarah dan Kyle lebih terasa menyebalkan lewat pertengkaran penuh kengototan mereka daripada mengatakan hubungan kuat. John lebih parah, disaat karakternya di-twist secara "ngawur" tanpa transformasi yang memuaskan. Sedangkan Arnold sebagai T-800 sudah melaksanakan hal terbaik yang menjadi bakatnya, yaitu berakting sedatar mungkin (it's a praise, by the way).

Genisys melupakan segala faktor penting yang menjadi dasar film-film Terminator, namun sesungguhnya sebagai sajian agresi blockbuster film ini cukup menghibur. Alan Taylor terbukti punya kapasitas untuk menggarap rentetan agresi yang eksplosif. Baku hantam berhasil tersaji brutal, memanfaatkan abjad Terminator yang tidak sanggup mencicipi sakit dan tanpa batasan fisik. Sehingga mau sekeras dan segila apapun Taylor mengemas filmnya, penonton tetap sanggup menikmati. Ledakan demi ledakan pun hadir menggelegar, sebagai bukti pemanfaatan bujet $170 juta dengan cukup efektif. Paling tidak Alan Taylor tahu bagaimana mengemas adegan agresi penuh ledakan yang tidak menciptakan penontonnya merasa pusing dan kebingungan dengan apa yang sedang terjadi. Penggunaan CGI pun cukup efektif meski sesungguhnya semua imbas yang hadir dalam film ini khususnya T-1000 yang sanggup berkembang menjadi benda cair hanya akan menciptakan kita semakin terpukau pada kehebatan James Cameron yang puluhan tahun kemudian sudah sanggup menyajikan hal serupa.

Verdict: The action sequences are very entertaining, but as a part of "Terminator Franchise", this movie pretty much ruined everyhting from the substance, plot continuity and characters, just for the sake of more money. The characters are often talk about blow something up, and apparently that's the only thing that "Genisys" is good at.

Artikel Terkait

Ini Lho Terminator Genisys (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email