Terdapat perbedaan fundamental antara "naskah bagus" dengan "naskah berkonsep bagus". Trainwreck yang ditulis oleh Amy Schumer termasuk yang kedua. Secara konseptual, menukar kiprah gender sebagai perwujudan feminisme yakni wangsit brilian, khususnya dalam ranah komedi romantis yang identik dengan plot dangkal. Tapi sanksi hasil kesannya tidak sebaik itu. Karakter utama yang bertugas menghantarkan tema tersebut yakni Amy (Amy Schumer), seorang perempuan alkoholik, gemar menghisap ganja dan tidur dengan banyak laki-laki meski tengah berpacaran dengan Steven (John Cena). Dalam seks ia berprinsip untuk menjadi pemegang kontrol terhadap para pria. Men are "head over heels" for her. Amy yang bekerja sebagai penulis untuk majalah lifestyle pun mencemooh sang adik, Kim (Brie Larson) atas pilihannya menikah dengan laki-laki beranak satu.
Merupakan wangsit menarik kala Amy ditempatkan dalam posisi yang biasanya ditempati kaum adam. Dia menginginkan kebebasan dan bertindak seenaknya. Terlihat dari keengganan Amy menjalani monogami, suatu hal yang berasal dari efek sang ayah dikala ia masih kecil. Amy menjadi sosok superior dibanding para laki-laki di sekitarnya. Dia juga membenci olahraga yang mana identik dengan maskulinitas. Menurutnya pemujaan terhadap olahragawan yakni bentuk kebodohan. Walaupun begitu, pacarnya yakni seorang gym-addict yang nampak terbelakang meski penuh otot. Dan ia tunduk pada Amy. Semua itu cukup besar lengan berkuasa sebagai penghantar pesan dalam naskah. Sekali lagi secara konseptual idenya brilian. Namun terdapat satu kekurangan, yakni dalam sosok Amy. Ya, hanya satu kekurangan, tapi disaat kekurangan itu hadir dalam diri abjad utama yang bertugas memberikan esensi film, nilai dari aspek lain ikut menurun.
Seperti judulnya, Amy yakni tokoh yang kacau. Kita pun tahu semua itu disebabkan oleh masa lalunya. Makara sebetulnya merupakan kewajaran bila hidupnya kacau. Menjelang final film, Amy berkata pada Kim bahwa perilaku tak menyenangkan yang ia tunjukkan selama ini semata-mata akhir kecemburuan. Amy merasa hidupnya tidak berjalan baik, tidak bahagia. Tapi selama film berjalan (sebelum momen akreditasi itu) saya tidak sedikitpun mendapati tanda kecemburuan meski lewat momen subtle sekalipun. She's just being a bitch the whole time and I hate her very much. Amy jatuh sebagai abjad dua dimensi lantaran itu. Naskah Amy Schumer ingin menciptakan penonton bersimpati pada Amy hanya lewat pengakuannya menjelang akhir, tanpa menunjukkan tease terhadap sisi lain karakternya.
Secara konseptual Amy yakni abjad yang "kaya", tapi eksekusinya dangkal. Bukan salah Judd Apatow, lantaran naskahnya memang tidak memberi kesempatan sang sutradara untuk mengeksplorasi dimensi lain tokohnya. Tanpa rasa simpati, saya pun tidak bisa dihanyutkan oleh perjalanan abjad utama yang notabene merupakan sisi emosional film ini. Bahkan meski Amy Schumer telah menunjukkan penampilan terbaik dalam comedic timing maupun potongan dramatik. Romantsime tidak pula berhasil dibuat dalam hubungan antara Amy dengan Aaron (Bill Hader) yang pada awalnya hanya bertindak selaku narasumber dari artikel goresan pena Amy, walau lagi-lagi chemistry antara Amy Schumer dan Bill Hader terhampar terperinci di layar.
Untungnya Trainwreck terselamatkan oleh potongan komedi, khususnya pada paruh pertama. Entah kapan terakhir kali sebuah komedi romantis bisa menciptakan saya terbahak-bahak, dan Trainwreck berhasil melaksanakan itu. Pada komedi pula kecerdasan naskah tidak hanya hingga pada batasan konsep berkat obrolan cerdas nan hilarious. Hal itu turut didukung oleh kehebatan para cast menghantarkan lelucon. Amy Schumer, menyerupai yang telah saya sebutkan punya comedic timing sempurna. Tapi secara mengejutkan bintang paling bersinar yakni John Cena. Pelontaran lawakan dalam tiap dialognya menciptakan saya percaya bahwa Steven memang orang bodoh. Tapi Cena tidak lantas melakukannya secara berlebihan. Dia hanya memaparkan semuanya dengan kesungguhan yang believable. Steven yakni laki-laki berotot tapi bagai tak berotak. Namun faktanya ia mempunyai hati yang lembut. Kesan itu berkorelasi bersama pesan filmnya perihal image olahragawan dengan segala sisi maskulinitas mereka. John Cena bisa menjadi screen stealer (adegan di bioskop jadi yang terbaik) dan patut disayangkan porsinya cukup minim.
Judd Apatow terbukti masih bisa merangkum komedi dengan efektif, tapi disaat bersamaan ketidakmampuan mengkombinasi drama bersama komedi kembali jadi kelemahan. Seperti karya-karyanya sebelum ini, Trainwreck punya durasi kelewat panjang (dua jam lebih). Apatow terlalu banyak berlama-lama mengeksplorasi drama tanpa pernah berhasil menunjukkan kedalaman signifikan. Tidak hanya berjalan usang secara durasi, alur pun menjadi tidak dinamis. Perlahan daya tarik film ini semakin memudar. Mungkin ini saatnya ia sadar bahwa kuantitas tidak berbanding lurus dengan kualitas. Bagaimana Apatow mengemas konklusinya pun terlihat malas. Tentu lebih banyak didominasi penonton sudah bisa menebak akan final klise yang ditawarkan, namun bukan berarti pemaparannya juga klise. Adegan tarian merupakan salah satu bentuk kemalasan seorang sutradara demi menyajikan suasana bahagia. Hal itu memang lebih gampang dilakukan daripada kemasan sederhana tapi emosional, namun bukan berarti lebih efektif menghantarkan rasa. "Trainwreck" is a big waste of many potentials, in both comedy and dramatic storytelling. It has some funny moments, though.
Ini Lho Trainwreck (2015)
4/
5
Oleh
news flash