Thursday, December 13, 2018

Ini Lho Yakuza Apocalypse (2015)

Setiap sutradara hebat selalu punya ciri yang mencirikan film mereka. Namun bukan hal abnormal kalau pada satu titik karirnya, sang sutradara mencoba gaya lain, entah alasannya tuntutan ekonomi atau memang ingin mencoba hal baru. Bukan hal abnormal pula ketika sang sutradara di kemudian hari menentukan kembali ke akarnya. Hal serupa tengah dialami Takashi Miike. As the Gods Will merupakan mengambarkan kesiapan Miike bertahta kembali sebagai sutradara gila nomor satu Jepang. Gelar yang dalam beberapa tahun terakhir mulai direbut oleh Sion Sono ketika Miike tengah sibuk "mencari makan". Yakuza Apocalypse menghadirkan semua aspek yang menjadi ciri sekaligus kesukaan sang sutradara. Kisah Yakuza, unsur kekerasan, hingga jalinan plot abstrak ada disana. Apakah lewat film ini Takashi Miike telah kembali ke akarnya sebagai "orang sinting"?

Adegan pembukanya menjanjikan, ketika memperlihatkan Kamiura (Lily Franky) membantai puluhan Yakuza dengan hanya bersenjatakan sebuah pedang. Kamiura menebas satu per satu musuhnya, membuat pertumpahan darah yang akan membuat penggemar Miike manapun tersenyum girang. Kamiura seolah tak bisa mati disaat berondongan peluru pun tak sanggup menghentikan amukannya. Memang Kamiura tidak bisa dibunuh dengan cara biasa, alasannya sejatinya sang bos Yakuza ini yaitu vampir. Dia pun ditakuti Yakuza lain alasannya dianggap tak bisa mati. Masyarakat menyukai sosoknya yang setia menjaga kota dan memegang prinsip "tidak boleh melukai warga sipil." Pemandangan abnormal pun tercipta tatkala di sepanjang jalan orang-orang tampak begitu mengagumi sosoknya. Bahkan disaat seorang bocah disentuh wajahnya oleh Kamiura, sang ibu tersenyum bangga.

Salah seorang pengagumnya yaitu Akira Kageyama (Hayato Ichihara) yang memutuskan bergabung dengan kelompok Kamiura. Meski dikenal sebagai Yakuza yang tangguh dan setiap pada sang bos, Akira sering mendapat olok-olok teman-temannya sesama Yakuza alasannya kondisi kulit sensitifnya membuat Akira tidak bisa ditato. Akira sendiri beropini bahwa tato bukanlah hal esensial bagi seorang Yakuza. Melalui sosok Akira, Miike tampak berniat mengkritisi obsesi banyak orang (tidak hanya Yakuza) terhadap pencirian yang dangkal. Daripada mendalami esensi, mereka lebih mengutamakan tampak luar. Yakuza pun terlihat menyerupai geng "anak gaul", yang hanya memperbolehkan bawah umur berpakaian mahal sebagai anggota. Sebenarnya banyak hal yang coba dikritisi oleh Miike lewat film ini, tapi kita akan membahas itu nanti.
Yakuza Apocalypse mulai masuk ke ranah yang lebih gila ketika sebuah organisasi kriminal luar negeri tiba untuk memburu Kamiura. Di dalamnya ada banyak sosok aneh, menyerupai Kyoken, seorang pembunuh dengan penampilan layaknya otaku yang diperankan Yayan Ruhian, (Kyoken punya arti Mad Dog), sesosok kappa, dan sesosok laki-laki misterius jago beladiri yang mengenakan kostum kodok. Karakter-karakter abnormal tersebut berbaur dengan plot yang semakin usang juga berjalan makin liar. Pasca ikut berkembang menjadi vampir, Akira lepas kontrol dan menjadikan banyak warga sipil ikut berubah. Mereka tidak hanya menjadi vampir, tapi juga Yakuza, lengkap dengan perubahan perilaku dan kemunculan tato di badan. Berubahnya warga sipil menjadi Yakuza membuat Yakuza orisinil kehilangan sumber penghasilan. Salah seorang petinggi (Reiko Takashima) bahkan berinisatif menanam tanaman yang akan tumbuh menjadi warga sipil. Terdengar gila? Masih banyak ketaknormalan diluar nalar lain yang ditumpahkan Miike, dan semakin "kacau" seiring berjalannya durasi.

Semua itu terdengar menyerupai mimpi indah bagi tiap penggemar Miike yang telah merindukan kembalinya gaya sang sutradara. Tapi Miike sendiri justru menyerupai lupa cara menyajikan kegilaan yang membesarkan namanya. Salah satu karya Miike yang menjadi favorit saya yaitu Gozu. Alurnya pun berkisah wacana Yakuza dengan sentuhan surealisme kental yang rumit sekaligus disturbing. Dalam Yakuza Apocalypse, Miike tampak berusaha keras kembali ke gayanya yang lama. Tapi tampaknya bertahun-tahun menggarapan film "waras" telah membuat kegilaannya memudar. Setelah opening berdarah-darah, mudah filmnya mengendur. Kita tidak akan melihat gore, tidak pula ketaknormalan apapun. Hingga separuh jalan, filmnya serupa dengan sajian Yakuza kelas dua dari para sutradara medioker. Beberapa kali Miike menyelipkan simbolisme dan momen sureal sebagai jalannya menyajikan kritik, tapi itu tidak cukup menahan atensi saya. Sebagian besar bab terasa membosankan. Sangat membosankan.
Padahal kunci keberhasilan film penuh surealisme yaitu bagaimana membuat penonton tetap bersemangat mendapatkan kejanggalan alur sebagai kunci menyusun puzzle yang disebarkan secara acak. Miike gagal melaksanakan itu. Akhirnya ketika kegilaan mencapai puncak, saya tidak tertarik lagi untuk coba memahami alurnya. Setelah disuguhi banyak hal normal tidak menarik, kegilaan menjelang final pun terasa begitu terlambat. Saya tidak peduli meski Miike memasukkan kritik sosial wacana eksploitasi rakyat jelata oleh penguasa, permainan moral wacana sisi kebaikan dan kejahatan, atau siapa bekerjsama si insan kodok itu. Apa ada hubungannya dengan tato bergambar Jiraiya menunggangi kodok (lukisan folklore populer dari Jepang) yang ada di punggung Akira? Sekali lagi saya sudah tidak peduli.

Kehadiran Yayan Ruhian pun tak banyak membantu. Diluar kehebatannya di ranah adegan aksi, Yayan terperinci bukan pemeran tabiat hebat. Karena itu butuh sutradara yang memang jeli mengemas tiap gerakan yang ia hadirkan. Atau bahkan berikan kebebasan bagi Yayan menjadi penata koreografi adegan aksi. Miike yaitu sutradara dengan kemampuan menghadirkan shock value, bukan pengadeganan rumit yang menarik, salah satu hal penting dimiliki sutradara untuk mengeksploitasi kelebihan sang aktor. Lewat film ini, Takashi Miike telah menyia-nyiakan potensi seorang Yayan Ruhian.

Andai saja Miike sudah tancap gas sedari awal mungkin Yakuza Apocalypse bakal menjadi kesenangan luar biasa bagi saya. Apakah sang sutradara sudah kehilangan instingnya guna meramu sajian abstrak penuh kegilaan menyenangkan? Saya harap tidak, tapi dalam film ini, Takashi Miike nampak berusaha terlalu keras menjadi dirinya yang usang untuk mengulangi kejayaan masa lalu. Yakuza Apocalypse berakhir hanya sebagai film abnormal penuh kebodohan yang gagal menggaet atensi saya biar tetap tertarik mengikuti ketaknormalan ceritanya. Untuk menerimanya sebagai sajian hiburan udik pun saya sama sekali tidak terhibur alasannya diluar kegilaan menjelang akhir, secara umum dikuasai yang hadir hanya kekosongan tanpa hal signifikan apapun. Terlalu abnormal bagi penonton mainstream, tapi terlalu normal bagi pencari kesintingan seorang Takashi Miike.

Artikel Terkait

Ini Lho Yakuza Apocalypse (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email