Komedi yaitu “makhluk” yang sulit ditaklukkan, tapi berkomedi sambil menuturkan pesan ada di tingkatan berbeda. Sekuel dari 3 Dara yang tiga tahun kemudian sukses mengumpulkan lebih dari 666 ribu penonton ini hendak menawarkan pada para misogynist, male chauvinist, hingga pemuja toxic masculinity bahwa pekerjaan rumah tangga yang kerap dibebankan pada perempuan sungguh bukan main-main. Belum tentu laki-laki sanggup menjalaninya. Tapi cara 3 Dara 2 melucu justru membuatnya gagal meruntuhkan dinding pembatas just-for-fun-fiction supaya pesannya sanggup ditanggapi serius.
Sejatinya, trio penulis naskah: Monty Tiwa (Rompis, Critical Eleven), Nataya Bagya (7/24, 3 Dara), dan Fatmaningsih Bustamar (Demi Cinta, Meet Me After Sunset), telah menentukan jalur yang tepat, bahkan berilmu guna menyebarkan dongeng tanpa keluar dari problem kesetaran gender dan kisah “pria menjadi wanita”. Masih mengetengahkan Affandy (Tora Sudiro), Jay (Adipati Dolken), dan Richard (Tanta Ginting), kali ini, alih-alih berubah jadi wanita, mereka mesti bertukar tugas dengan para istri, alias menjadi bapak rumah tangga.
Akibat kegagalan investasi, mereka pun berhutang puluhan milyar, harus terusir dari rumah, dan terpaksa tinggal di rumah Eyang Putri (Cut Mini), ibunda Aniek (Fanny Fabriana), istri Affandy. Demi melunasi hutang tersebut, Aniek bersama Grace (Ovi Dian) dan Kasih (Rania Putrisari) tetapkan bekerja, sementara ketiga suami gantian mengurus hal-hal rumah tangga. Affandy mencuci, Jay bersih-bersih, Richard berbelanja dan memasak. Mereka semakin kerepotan akhir keberadaan Jentu (Soleh Solihun), si penjaga rumah yang bertindak semena-mena sesudah diberi wewenang kuasa oleh Eyang Putri.
Pondasi memadahi telah ditempatkan, pun sebuah pernyataan dari Windy (Rianti Cartwright) sang psikolog cukup menekankan pesan yang filmnya hendak utarakan (melalui perspektif biologis, sebagai dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan jauh berbeda, namun tidak dari sisi gender beserta peran-perannya), tapi kemudian 3 Dara 2 melanglang buana terlalu jauh. Kebodohan Affandy-Jay-Richard dalam perjuangan menebus cicilan rumah justru dikedepankan ketimbang pergulatan ketiganya sebagai bapak rumah tangga, yang sebatas ditampilkan melalui montase singkat.
Semakin kisahnya bergulir, semakin repetitif, di mana contoh “berbuat kebodohan-gagal-dimarahi-menyesal-ulangi kebodohan” disajikan secara terus menerus. Daripada proses mencar ilmu gradual, karakternya dibiarkan tanpa perubahan hingga konklusi. Sebuah konklusi bertabur twist yang menempuh jalan pintas guna menuntaskan segala permasalahan. Twist yang mengejutkan? Ya, alasannya yaitu sulit dipercaya 3 Dara 2 menerapkan resolusi semalas itu.
Dipandang selaku hiburan, balutan humornya bekerja cukup baik. Beberapa pandangan gres kentara menawarkan para penulisnya lebih mencurahkan perjuangan dan kreativitas dalam membalut komedi daripada konklusi kisah. Tidak semua bekerja maksimal, tapi berkat performa sekaligus chemistry menghibur Tora, Adipati, dan Tanta, setidaknya saya bisa dibentuk terus terjaga. Belum lagi Cut Mini yang senantiasa menguasai tiap momen kemunculannya dengan kejenakaan "mengerikan". Sementara Fanny Fabriana bisa melakoni tugas sebagai jangkar bagi elemen dramatik filmnya.
Tapi sekali lagi, 3 Dara 2 ingin tampil lebih. Karenanya, gaya “dilebih-lebihkan” dari leluconnya mencuatkan masalah. Benar komedi harus dilebih-lebihkan selaku pendekatan hiperbolis terhadap realita supaya kelucuan tercipta. Namun hiperbola di sini, yang menciptakan kasus tokoh-tokohnya nampak konyol, berpotensi “membentengi” pihak-pihak yang dikritisi. Mereka bakal berpikir “Situasi begini takkan terjadi di kehidupan nyata”, atau “Kenyataannya takkan seberat ini” kala menyaksikan susah payahnya Affandy, Jay, dan Richard mengikuti keadaan sebagai bapak rumah tangga, dominan diproduksi oleh sikap abstrak Jentu, yang memang benar, takkan kita temui di realita. Para misogynist dan male chauvinist pun rasanya hanya akan terkekeh.
Ini Lho 3 Dara 2 (2018)
4/
5
Oleh
news flash