Ironis. Dear Nathan Hello Salma (berikutnya disebut “Hello Salma”) terkena pengaruh tren “Jefr-Amanda” yang dimulai oleh film pertamanya, yang secara mengejutkan jadi salah satu tontonan terbaik tahun lalu. Setelahnya, selama satu setengah tahun, mereka berpasangan dalam 4 judul (Jailangkung, Jailangkung 2, A: Aku, Benci, dan Cinta, Something in Between), belum ditambah One Fine Day di mana Amanda Rawles menerima tugas kecil. Padahal Hello Salma yaitu film solid, tapi serupa pasangan yang selalu bersama tiap hari, niscaya ada kejengahan, sehingga kilau-kilau percintaan yang dahulu manis mulai terkikis.
Tapi kembali, Hello Salma tetap film apik. Mengadaptasi novel berjudul sama karya Erisca Febriani, kisahnya melanjutkan romantika Nathan (Jefri Nichol) dan Salma (Amanda Rawles) selepas keduanya tetapkan berpacaran di film pertama. Namun, memasuki tahun selesai SMA, relasi mereka justru retak, (lagi-lagi) jawaban kekisruhan buatan Nathan, yang berujung memaksanya pindah sekolah. Mereka menentukan putus. Sewaktu Salma tertekan jawaban paksaan ayahnya (Gito Gilas) melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran UI (terjadi pada banyak dewasa termasuk di sekitar saya), Nathan bertemu Rebeca (Susan Sameh) di sekolah barunya.
Rebeca tak ubahnya Nathan di masa lalu. Dia hidup sendiri, jauh dari ibu lantaran enggan tinggal bersama sang suami gres pasca ayahnya meninggal bunuh diri, sebagaimana dahulu konflik Nathan dengan ayahnya (Surya Saputra). Apabila perkelahian jadi pelarian Nathan, Rebeca karam dalam depresi, bahkan mencoba bunuh diri. Kemiripan itu mendorong Nathan tergerak mengulurkan tangan, sesuatu yang hasilnya meluluhkan hati sang gadis.
Bagus Bramanti (Mencari Hilal, Kartini, Benyamin Biang Kerok) mempertahankan elemen terbaik dari naskah film pertama buatannya, yakni ihwal motivasi. Kita tak perlu bertanya-tanya “Kenapa?”, alasannya yaitu senantiasa ada alasan jelas. Sungguh masuk akal bila Rebeca kepincut. Ketika keluarganya menjauh, pihak sekolah hanya bisa memarahi dan menghukum, juga jadi korban perundungan teman-teman, Nathan justru berdiri, bersedia terlibat perkelahian demi membelanya.
Nathan menghembuskan napas gres bagi hidup Rebeca, mengalunkan kembali musik di telinganya menyerupai dikala Nathan memperbaiki radio tape milik mendiang ayahnya. Sama pula dengan bagaimana Rebeca membawa nyawa gres untuk franchise ini. Nathan tetap sosok yang dicintai penggemarnya berkat kemampuan Jefri Nichol menyeimbangkan sisi bad boy dan sweet boy. Chemistry-nya dengan Amanda Rawles pun sekuat biasanya, jikalau bukan bertambah natural.
Tapi mungkin itu penyebabnya. Mereka berdua masih (atau selalu) sama, dan sesudah bersama di begitu banyak film dalam waktu berdekatan, saya mulai lelah menyaksikan dinamika yang “itu-itu saja”. Nathan berseloroh, Salma merespon lewat perilaku malu-malu mau. Beberapa pihak mungkin bakal berargumen bahwa itu bukan kesalahan filmnya, melainkan eksploitasi berlebihan dari industri. Tapi tidak. Orang-orang di balik Hello Salma sadar betul formula Jefri-Amanda telah diperas habis-habisan, dan ketimbang mencoba arah gres yang segar, mereka menentukan jalur gampang dengan mengikuti pola.
Dan begitu Rebeca muncul sebagai sosok likeable berkat kemahiran Susan Sameh memainkan 2 wajah berlainan karakternya, Hello Salma malah datang di titik jenuhnya kala kedua tokoh utamanya bersama. Khususnya dikala sutradara Indra Gunawan (Hijrah Cinta, Dear Nathan, Serendipity) memasang mode autopilot, berbeda dibanding film pertama tatkala ia sanggup mengkreasi beberapa situasi romantis. Tarian slo-mo di bawah ujan sebagai penutup, misalnya.
Bukti kebersamaan Jefri-Amanda mulai menjemukan adalah, setiap Hello Salma menyelipkan elemen komplemen (meski kecil), contohnya menaruh Surya Saputra—dengan sisi kebapakan yang jauh dari kaku—di antara mereka, filmnya selalu menemukan pijakannya lagi. Semua berjalan mulus selama layar tidak cuma menampilkan mereka saja. Satu-satunya modifikasi bagi dinamika Nathan dan Salma, yakni menggiring Salma menuju kondisi yang lebih gelap, pun tak seberapa membantu.
Permasalahan Salma relevan. Tekanan orang tua, depresi pada pelajar jawaban tuntutan akademis, semua penting untuk dituturkan. Namun naskahnya urung menghasilkan penelusuran mendalam terhadap masalah-masalah di atas, melainkan sebatas jembatan semoga Nathan dan Salma bisa kembali bersama. Nasib demikian turut dialami Rebeca, yang berujung dikesampingkan selaku penghubung, walau kondisinya lebih kompleks, menarik, pun bisa mengemban tugas Salma sebagai penyalur isu.
Untunglah, soal menyusun momen-momen ringan termasuk komedik, naskahnya tampil solid. Walau satu adegan yang menampilkan seorang dukun terasa dipaksakan, sisanya bisa menghadirkan senyum dan tawa, apalagi dikala berurusan dengan situasi-situasi canggung yang berujung celetukan jenaka karakternya. Hello Salma menunjukkan bahwa seri Dear Nathan masih menonjol dibanding romansa putih abu-abu kebanyakan. Andai Jefri dan Amanda tak sesering itu bersama. Sebab, sewaktu pasangan utama film romansa yang mestinya didukung penonton justru tenggelam, tentunya ada permasalahan.
Ini Lho Dear Nathan Hello Salma (2018)
4/
5
Oleh
news flash