Thursday, December 13, 2018

Ini Lho 3 (2015)

Saya menunggu Anggy Umbara membuat film aksi. Dua installment Comic 8 sudah mengambarkan bahwa Anggy dengan metode style over substance-nya berpotensi jauh lebih bersinar kalau menggarap action tanpa perlu dibumbui komedi. Karena dari situ ia bisa sepuasnya membuat huruf badass yang keren tanpa perlu mengakibatkan para pelawak bertingkah "sok keren". Karena dari situ ia bisa sepuasnya mengumbar peluru dan baku hantam tanpa perlu mendistraksi komedinya. Penantian saya akibatnya usai berkat film berjudul 3 ini. 3 bagi seorang Anggy Umbara layaknya Transfomers bagi Michael Bay, Avatar bagi James Cameron, atau Inception bagi Christopher Nolan. Karya terbaik atau bukan, itu urusan belakangan. Tapi yang terang semua signature dari sang sutradara ada disini. 3 menegaskan apa yang harus penonton ekspektasikan ada pada film-film Anggy kedepan. Suka atau tidak memang beginilah gayanya.
Penggunaan slow-motion berlebihan, plot yang kerumitannya berlebihan, imbas bunyi penuh dentuman yang terkadang berlebihan, sampai pemakaian gimmick visual lain entah lens flare, CGI, atau hujan yang juga berlebihan. Gaya seorang Anggy Umbara memang penuh dengan hal berlebihan, dan itu pula yang akan kita temui dalam film ini. Saya kurang menyukai style semacam itu, tapi rasa ingin tau saya akan menyerupai apa semuanya kalau diterapkan dalam film agresi memang terlalu besar. Belum lagi ditambah premis menarik dari naskah goresan pena trio Anggy Umbara-Bounty Umbara-Fajar Umbara. 3 adalah dystopian movie, barang langka di perfilman Indonesia, dan mungkin selain Anggy Umbara, hanya Joko Anwar sutradara gila yang berani membuat film high concept semacam ini (they used to make short movie together, by the way).
Jakarta, tahun 2036 ialah kawasan yang jauh berbeda dari dikala ini. Sebuah revolusi pada 2026 tidak hanya menyulap kota metropolitan itu jadi penuh puing, tapi turut merubah ideologi berbangsa yang dianut. Para radikal agama telah dihabisi. Penganut agama tidak hanya menjadi minoritas, namun juga dipandang sebagai racun masyarakat. Hak asasi insan diutamakan dan berbuntut pada banyak hal termasuk dilarangnya penggunaan peluru tajam di kalangan aparat. Mereka hanya boleh menggunakan peluru karet dikala bertugas. Diluar perjuangan peniadaan agama, bukankah dunia tanpa kekerasan menyerupai ini ialah harapan semua orang? Pada kenyataannya tidak seindah dan sesederhana itu. Kerumitan baik-buruk tersebut memang jadi target tembak Anggy Umbara dalam mengemas filmnya. Dia melempar pertanyaan "benarkah dengan menumpas habis golongan radikal yang mengatasnamakan agama akan membuat perdamaian?" 

Menciptakan Indonesia yang sampai dikala ini masih menjunjung tinggi agama sebagai hal "wajib" yang bahkan tertera di KTP sebagai dunia anti-agama ialah langkah berani. Meski pada eksekusinya film ini kadang terasa menyerupai teriakan pemeluk agama (khususnya Islam) terhadap segala tuduhan terorisme daripada murni pengandaian bersifat objektif, 3 tetap bisa menghadirkan konflik dilematis wacana moralitas. Lagipula objektifitas bukanlah satu poin adikara dalam penghadiran konflik suatu film. Kaprikornus andaikan Anggy Umbara berniat mengemas film ini sebagai propaganda keagamaan, bagi saya sah-sah saja selama mempunyai struktur narasi kuat. Pada eksekusinya, dongeng film ini memang tidak sekuat premisnya. Plot yang overly-convoluted khas Anggy Umbara termasuk hadirnya twist berlapis yang dipaksa masuk menjelang simpulan sedikit melemahkan esensi cerita. Dari yang tadinya berisikan drama moralitas berbasis kehidupan sehari-hari menjadi cuilan lebih besar untuk set-up sekuelnya. Tapi overall saya berhasil diikat oleh ceritanya, setidaknya sebelum third-act saat memasuki bab "Alif-Lam-Mim."

Kali ini Anggy tidak hanya berhasil membuat style-nya tidak mendistraksi cerita, tapi juga menghadirkan huruf beserta konflik yang kuat. Ketiga tokoh utama membawa ideologi masing-masing. Alif (Cornelio Sunny), Lam (Abimana Aryasatya) dan Mim (Agus Kuncoro) telah dekat sedari mereka masih berada di satu perguruan tinggi silat yang sama. Mereka pun sama-sama dibesarkan dengan fatwa Islam yang cukup kuat. Alif kini menjadi anggota pasukan khusus pembasmi teroris. Lam ialah wartawan idealis di sebuah media ternama. Sedangkan Mim masih tinggal di padepokan Al-Ikhlas kawasan ketiganya berguru dulu. Mereka bertiga mempunyai konflk masing-masing yang bahwasanya serupa. Alif dengan ambisinya membasmi terorisme, Lam dengan idelisme yang membuat tulisannya sering ditolak redaksi, Mim dengan statusnya sebagai penganut Islam taat sampai dianggap teroris. Sisi religiusitas mereka pun turut menerima ujian. 
Penuturan dari Anggy mampu membuat saya memahami motivasi dan jalan yang dipilih ketiga tokoh tersebut. Hal ini penting, alasannya ialah di tengah kompleksnya dongeng dan konsep tinggi yang diusung, penonton tetap mempunyai "pegangan" dalam bentuk huruf yang mengikat. Rasa keterikatan itu bisa berasal dari ikatan emosional maupun dari rasa memahami rasa atau setidaknya situasi yang tengah mereka alami. Secara tidak mengejutkan, Abimana menjadi yang paling menonjol, dan aktingnya pun terbantu oleh konflik personal wacana keluarga yang tersaji mendalam. Cornelio Sunny ialah seorang badass, dan berpotensi sebagai the next Indonesia action hero, meski sayangnya drama romansa antara ia dengan Prisia Nasution sebagai Laras merupakan subplot yang lemah. Agus Kuncoro ialah tipikal huruf favorit penonton. Ekspresi cuek dari Agus memancarkan sisi misterius yang gampang disukai (just because that's cool). Menjadi unik disaat sosok dengan coolness level tinggi menyerupai ia justru seorang alim ulama. Sebuah twist karakter jenius bagi sosok ustadz yang biasanya lebih banyak digambarkan berceramah dan bersenjatakan doa. 

How's the action sequence? Like I said, I'm not the fans of Anggy Umbara's style. Penggunaan slo-mo berlebihan justru beberapa kali mengurangi keindahan koreografi pertarungan yang dibentuk Cecep Arif Rahman. Koreografi silat yang menitik beratkan pada keindahan serta kecepatan gerak jadi berkurang jauh tingkat keefektifannya. Masih menghibur, tapi ketegangan yang seharusnya ada jadi menurun dosisnya. Begitu pula banyaknya penggunaan imbas hujan yang diniati membuat kesan dramatis tapi justru mengganggu kenikmatan alasannya ialah pertarungan yang terjadi tidak bisa dilihat secara utuh. Tapi semuanya masih menyenangkan. Sama menyerupai keseluruhan 3 sendiri yang dipenuhi aneka macam kekurangan termasuk penggunaan CGI kasar, namun overall masih sangat menghibur. Pada akibatnya toh konsep premis kontroversial yang ditawarkan tidak hanya berakhir sebagai tempelan, melainkan citra berani wacana alternate reality (jika kelak tidak akan terjadi) dari kondisi Indonesia yang berkebalikan dengan masa sekarang. 3 adalah signature movie seorang Anggy Umbara. Suka atau tidak, itu tergantung sejauh mana toleransi anda pada gaya sang sutradara. 

Artikel Terkait

Ini Lho 3 (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email