Thursday, December 13, 2018

Ini Lho The Martian (2015)

Do we really need another space-exploration movie after "Gravity" and "Interstellar"? Kedua film yang masing-masing rilis pada 2013 dan 2014 itu telah memperlihatkan standar tinggi baik dari aspek teknis maupun narasi. Kaprikornus apakah tahun 2015 membutuhkan film dengan tema serupa? Mungkin tidak. Jangka waktu relatif berdekatan tentu menciptakan perbandingan antara The Martian dengan kedua film tersebut tidak terelakkan. Apalagi film yang diubahsuaikan dari novel berjudul sama karya Andy Weir ini juga menampilkan Matt Damon serta Jessica Chastain dalam tugas yang tidak jauh berbeda dari tugas mereka di Interstellar. Matt Damon berperan sebagai Mark Watney, astronot yang terdampar sendirian di Mars sehabis mengalami kecelakaan dalam suatu misi. Sedangkan Chastain ialah astronot perempuan tangguh berjulukan Melissa Lewis yang juga merupakan komandan dari misi tersebut. Sounds familiar indeed

Langsung saya tekankan bahwa The Martian bukanlah sajian groundbreaking. Tidak peduli jenis treatment apapun yang dipilih, entah sebagai survival story, mengejar keakuratan sains, atau eksplorasi betapa luar biasanya penjelajahan luar angkasa, memang amat sulit menyamai standar yang sudah ditetapkan oleh kedua teladan film di atas. Padahal sejujurnya, ketiga hal tadi sudah berhasil dipaparkan dengan baik oleh film ini. Tapi pertanyaannya, adakah pembeda dalam The Martian sehingga meski tidak bisa menandingi pencapaian dua mahakarya tersebut, filmnya tetap berakhir memuaskan? Untungnya ada, dan pembeda itu bekerjsama berasal dari kekuatan novel selaku sumber cerita. 
Tanpa basa-basi, Ridley Scott pribadi melemparkan opening menegangkan ketika misi "Ares 3" terpaksa dilarang akhir sebuah badai. Belum mencapai opening kecelakaan impresif layaknya yang Alfonso Cuaron lakukan, tapi sanksi cepat dan kebisingan sebagai penyirat ancaman kehancuran besar tetap memperlihatkan ketegangan. Dikira telah tewas oleh rekan-rekannya, Mark Watney pun ditinggalkan di Planet Mars. Setelah "kehebohan" pada pembukanya, kita dibawa pada suatu adegan menyakitkan serta jauh dari kesan nyaman untuk ditonton ketika Watney berusaha mengobati luka di perutnya akhir bacokan sebuah logam. Kita melihat ia membuka sendiri luka tersebut, mengeluarkan sisa logam dalam perut, dan menjahit luka dengan peralatan seadanya. Diiringi oleh teriakan Watney serta darah yang tidak berhenti mengalir, tidak salah jikalau saya menerka ini ialah awal dari perjuangan bertahan hidup sang astronot yang kelam dan penuh penderitaan. Pada kenyataannya, Watney memang banyak menghadapi duduk kasus tak terkira serta penderitaan, tapi pemaparannya jauh dari kesan kelam. Berasal dari situlah kelebihan The Martian

Film ini bukanlah sajian grandious, melainkan rangkaian tahapan untuk menciptakan penonton jatuh cinta pada sang karakter, sampai kesannya peduli pada dia. Caranya ialah dengan menimbulkan Mark Watney sebagai sosok playful, tidak pantang menyerah, dan seolah tak pernah kehabisan celetukan menggelitik ketika mengomentari situasi berat yang dialami. Alih-alih menjadi observasi kelam ihwal pergulatan abjad dalam kesendirian, The Martian diluar dugaan terasa ringan berkat humor-humor efektif. Disaat pihak NASA mengkhawatirkan kondisi kejiwaannya, Watney justru tengah mengomentari musik disko 80-an milik Melissa yang pada masa ini terdengar corny. Sosoknya memang sudah semenjak awal digambarkan sebagai laki-laki yang gemar melontarkan lelucon. Daripada hanya membisu menyesali nasib, Watney menentukan untuk "science the shit out of this". Daripada karam dalam kesepian isolasi, Watney memiih untuk merekam acara sehari-harinya sambil melontarkan kelakar penuh sarkasme ihwal nasibnya. 
Di tengah usahanya untuk menjadi scientifically correct movie, memang keberhasilan Watney bertahan dalam "kewarasan" sedikit melunturkan sisi realistis cerita. Tapi The Martian memang tidak pernah bertujuan sebagai film survival bernuansa gloomy. Sebaliknya, feel-good movie menjadi tujuan utama. Pada dasarnya, dongeng film ini ditujukan sebagai "kisah inspiratif" disaat karakternya bisa terus bersikap positif meski berada di tengah konflik yang tidak hanya serius tapi besar kemungkinan bakal menghabisi nyawanya. Namun ini bukan tontonan inspiratif yang corny. Usaha menyuguhkan itu dilakukan secara subtil lewat momen-momen uplifting serta rasa terikat pada karakter. Segala kelucuan yang mengiringi pun tidak lantas mengacaukan tone film, alasannya ialah dampaknya justru saya lebih bersimpati pada Mark, dan ketika ancaman menghampiri, kekhawatiran berujung pada ketegangan pun hadir. 

Bicara soal corny, film ini memang sangat berpotensi berakhir ibarat itu. Jika bukan alasannya ialah pengemasan Ridley Scott yang tidak berlebihan, titik puncak film ini bisa berada pada level serupa dengan Armageddon-nya Michael Bay ketika seluruh umat insan berkumpul penuh kecemasan untuk lalu bersuka cita menyambut misi evakuasi Mark Watney. Berkat keberhasilan sang sutradara itulah The Martian tidak hanya berujung pada kisah perjuangan bertahan hidup dan misi evakuasi biasa, tapi juga menyuntikkan drama kemanusiaan. Sebuah drama yang dikemas lewat jalan sederhana kalau tidak boleh dibilang mudah, namun memperlihatkan imbas maksimal dalam mempermainkan emosi penonton. The Martian bukan menitik beratkan pada bazar high concept ambisius, melainkan sajian drama kemanusiaan hangat penuh optimisme. 

Artikel Terkait

Ini Lho The Martian (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email