Thursday, December 13, 2018

Ini Lho In America (2002)

Di tangan sutradara lain, In America bisa menjadi tearjerker yang mengeksploitasi kesulitan hidup serta sedih yang merundung karakternya. Tapi di bawah Jim Sheridan yang mengutamakan kesederhanaan dibalik sentuhan personal, filmnya bisa terasa sentimentil tanpa harus berusaha terlalu keras untuk jadi mengharukan. Padahal semua modal untuk melaksanakan itu sudah ada. Ceritanya menyoroti kehidupan satu keluarga asal Irlandia yang pindah ke Amerika memakai tourist visa melalui Kanada. Kehidupan gres yang harus mereka jalani tidaklah mudah. Keterbatasan uang menciptakan mereka harus rela tinggal di apartemen kumuh yang diisi pecandu narkoba sampai transvestit. Usaha untuk mencari uang pun tidak berjalan lancar. Sang ayah, Johnny Sullivan (Paddy Considine) ialah seorang pemain film yang dekat dengan kegagalan kala audisi. Sedangkan status sebagai imigran gelap menciptakan sang ibu, Sarah Sullivan (Samantha Morton) tidak bisa bekerja sebagai guru dan menentukan menjadi pelayan di sebuah cafe. 

Tapi lingkungan yang kumuh, penyesuaian berat akan cuaca di New York, atau krisis keuangan bukan duduk kasus terberat keluarga ini. Adalah sedih dan stress berat pasca janjkematian putera mereka, Frankie akhir tumor otak dikala masih berusia lima tahun yang menjadi faktor paling berat. Begitu terang bahwa mereka belum bisa berdiri dari kesedihan. Bahkan alasan utama kegagalan Johnny di tiap audisi ialah ketiadaan emosi. Dia bisa bicara dalam banyak sekali macam aksen, tapi tidak dikala diminta memunculkan emosi apapun. Datar. Johnny bagaikan sudah mati rasa. Kita sebagai penonton dibentuk memahami itu. Apalagi ada perasaan bersalah turut hadir daam hatinya. Saat tengah bermain dengan kedua puterinya, Christy (Sarah Bolger) dan Ariel (Emma Bolger) pun tanpa disadari ia mencari Frankie. Sarah pun sama. Saat bercinta dengan Johnny, yang ia lihat di mata sang suami ialah mata mendiang puteranya itu.
Saya pun menyadari alasan mereka pindah bukan untuk mengejar "American dream" menyerupai yang banyak diimpikan para pendatang. Mereka ingin lari dari masa lalu, memulai semuanya kembali di daerah baru. Karena itu bukan menjadi duduk kasus besar dikala apartemen kumuh harus menjadi hunian. Tapi pada awalnya, In America lebih banyak menyoroti perjuangan keluarga Sullivan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Disinilah pecahan terbaik film ini berdasarkan saya. Semuanya berat, tapi jauh dari kesan depresif. Sebaliknya, Jim Sheridan justru mengemasnya cukup menggelitik. Mengajak penonton melihat banyak sekali kesuitan yang dialami protagonisnya, tapi dengan semangat optimisme tinggi mengajak kita mentertawakan banyak sekali kondisi tersebut. Contohnya dikala Johnny dengan susah payah membawa pendingin ruangan berukuran besar tanpa menyadari stekernya tidak sesuai. Dia marah, berteriak bahkan menendang perabotan. Tapi kita tidak tersentak, begitu pula kedua puterinya. Justru rasa geli yang muncul. 

Kemudian filmnya bergerak menuju konflik utama yang lebih dramatis, lebih sentimentil. Konflik internal akhir janjkematian Frankie menciptakan perselisihan antara Johnny dan Sarah semakin besar. In America makin terasa formulaic saat aksara Mateo (Djimon Hounsou) masuk dalam inti cerita. Sedari awal memang filmnya telah memberi tease bahwa Mateo menyembunyikan sesuatu. Sosok awalnya digambarkan begitu mengerikan. Tinggal sendirian di kamar gelap, sering berteriak, meneteskan darahnya di atas kanvas, belum lagi iringan musik yang mistis, Mateo tak ubahnya seorang pemuja setan yang misterius. Tapi layaknya twist dalam ribuan family drama diluar sana, pada kenyataannya Mateo jauh dari semua kesan itu. Sebaliknya, ia ialah laki-laki baik hati, penyayang dan murah senyum. Ini bukan spoiler. Kecuali anda merupakan penonton yang amat tidak peka, maka jati diri sebetulnya dari Mateo sudah bisa diraba semenjak jauh sebelumnya.
Mateo juga memendam kesedihan mendalam yang erat kaitannya dengan kematian. Maka dari itu dikala sosoknya hadir dalam inti cerita, In America semakin kental bergerak dari observasi kehidupan imigran menjadi drama melankolis dikala pihak-pihak yang "terluka" saling membantu. Semua karakternya tersesat, dan pertemuan satu sama lain karenanya menuntun pada kebahagiaan, menghilangkan kabut pekat berjulukan "duka" yang telah usang menghantui. Tentu saja bakal ada ending mengharukan sebagai perjuangan film ini untuk menggerakkan emosi penonton. 

Klise, tapi berkat pengemasan Jim Sheridan, In America tidak menjadi overly dramatic tearjerker yang memuakkan. Ada perjuangan faktual menciptakan penonton tersentuh, tapi tidak berlebihan sebab semua itu memang pecahan dari cerita. Jim Sheridan membiarkan bebagai momen paling emosionalnya terjadi secara off-screen. Kita dibawa untuk melihat pengaruh yang terjadi, mengamati bagaimana karakter-karakternya menjalani hidup setelahnya. In America memang kehilangan daya tariknya dikala mulai mengesampingkan observasi menggelitik mengenai penyesuaian para imigran, tapi sebagai drama penuh kesedihan yang melankolis, filmnya hadir secara elegan dan terasa personal. 

Artikel Terkait

Ini Lho In America (2002)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email