Wednesday, December 5, 2018

Ini Lho Allied (2016)

Apa yang terjadi jikalau Robert Zemeckis, sutradara dengan kegemarannya memanfaatkan teknologi diharuskan menggarap film bermuatan dongeng old-school ditambah tribute kental bagi klasik macam "Cassablanca"? "Allied" yaitu jawabannya. Naskahnya mengandung formula lawas percintaan berbalut espionage dengan setting Perang Dunia II, sementara visualnya berhiaskan CGI modern nan mempesona. Bahkan sedari adegan pembuka ketika kita menantikan Max Vatan (Brad Pitt) mendarat di gurun pasir Maroko menggunakan parasut, atensi telah berhasil direnggut, meniadakan niatan berpaling dari layar. 

Max merupakan intelijen Kanada yang tengah menerima misi diam-diam untuk mengeksekusi salah satu anggota Nazi. Misi tersebut mengharuskannya bekerja bersama anggota pemberontak Prancis, Marianne Beausejour (Marion Cotillard), di mana keduanya berpura-pura sebagai pasangan suami istri. Tentu saja mereka jatuh cinta meski sama-sama mengetahui romansa antara biro takkan berjalan bahagia. Bangunan awal relasi keduanya cukup menarik lewat kemesraan palsu demi membuat kesan pada publik  serta desing peluru  walau timbulnya benih asmara agak terburu-buru. Ajakan menikah Max pasca sekali berafiliasi seks di tengah angin puting-beliung pasir layak diperdebatkan. 
Memasuki paruh kedua tatkala seharusnya kisah cinta Max dan Marianne diperdalam, naskah garapan Steven Knight mengubah arah. Bagai menerapkan formula "Hitchcockian", memunculkan twist di pertengahan, menggiring "Allied" ke ranah misteri. Setahun sehabis mempunyai anak dan hidup senang di London, timbul kecurigaan bahwa Marianne yaitu mata-mata Nazi. Max yang menolak percaya berinisiatif melaksanakan penyelidikan diam-diam yang turut membuat penonton ikut menduga-duga, "benarkah itu?". Proses Max mencari kebenaran jadi perjalanan menarik berkat pertanyaan tersebut serta kepiawaian Zemeckis merangkai set-piece, termasuk prison break sequence eksplosif yang walau out-of-place tak bisa dipungkiri punya kadar hiburan tinggi.

Sayang, pergantian fokus ini justru melucuti dinamika romansanya sewaktu Max dan Marianne semakin jarang tampil bersama. Saat semestinya kehangatan relasi diperdalam demi dampak emosional, filmnya justru memisahkan mereka. Knight pun kurang bisa membangun interaksi "hidup", kesannya romansanya terasa humorless sekaligus dingin, sedingin chemistry Brad Pitt dan Marion Cotillard. Keduanya tidak jelek khususnya Cotillard yang di tengah hambarnya naskah bisa menyuntikkan emosi dalam dongeng bersenjatakan verbal penuh kekayaan rasa, termasuk menambah kekuatan konklusi. 
"Allied" tidak sepenuhnya menjadi hidangan old-school dari zaman modern alasannya yaitu imbas tata bahasa (less-poetic dan memiliki "F-word"), unsur seksual yang lebih "liar", serta sentuhan teknologi dengan highlight pada adegan serbuan udara yang mengatakan langit dihiasi cahaya peluru dan bom bagai kembang api di malam hari sebelum ditutup oleh momen mencekam jatuhnya sebuah pesawat. Cukup menguatkan kesan lawas yakni keberadaan tribute bagi "Cassablanca" berupa beberapa aspek dalam kisahnya, setting lokasi, hingga kostum Brad Pitt di awal yang mengingatkan pada setelan putih Humphrey Bogart. 

Dalam suguhan kisah cinta klasik Hollywood, filmnya cenderung melankolis, dramatis, tak ragu menangani momen romantis secara hiperbolis. Seringkali kamera diposisikan close-up agar verbal pemain tertangkap seutuhnya, memudahkan transfer rasa pada penonton. Hal itulah yang tidak dimiliki "Allied" sewaktu Zemeckis kolam lebih mementingkan elegansi ketimbang curahan emosi. Untungnya sang sutradara paham betul tugas sinema selaku escapism, sehingga filmnya tetap berakhir sebagai hiburan menyenangkan.

Artikel Terkait

Ini Lho Allied (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email