Wednesday, December 5, 2018

Ini Lho Under The Shadow (2016)

Pada 1980-an ketika pecahnya peperangan antara Iran dan Irak, warga Teheran khususnya kaum perempuan hidup dalam rasa takut sekaligus tekanan. Selain harus setiap hari mencurigai serangan misil, mereka pun terenggut kebebasannya, tidak diperkenankan mempunyai VCR (bukan bagi perempuan saja), bahkan dilarang keluar rumah tanpa menggunakan jilbab. "Under the Shadow" selaku debut penyutradaraan Babak Anvari menyoroti situasi sosial tersebut, mengawinkannya dengan mitologi mengenai jin yang kemungkinan didasari oleh permasalahan psikologis karakternya, menghasilkan horor terbaik tahun 2016 yang bakal sulit dikalahkan.

Turut menulis naskahnya, Babak Anvari memanfaatkan first act untuk membangun latar karakter, memperkenalkan penonton pada Shideh (Narges Rashidi) yang keinginannya melanjutkan pendidikan dokter ditolak akhir keterlibatannya dengan gerakan ekstrim sayap kiri pada masa revolusi. Shideh terpaksa mendapatkan tinggal di rumah, mengurus puteri tunggalnya, Dorsa (Avin Manshadi) sementara sang suami, Iraj (Bobby Naderi) yang seorang dokter  fakta ini menyulut konflik suami-istri  hendak ditugaskan di garis depan peperangan. Menolak untuk mengungsi walau seisi bangunan tinggal menyisakan ia dan Dorsa, Shideh perlahan mendapati kisah jin yang selama ini ia anggap dongeng mungkin benar adanya.
Anvari sanggup menyajikan drama solid berisi kritik atas diskriminasi gender yang mengisi sebagian besar porsi cerita. Mayoritas waktu, kita bagai tengah melihat apa risikonya kalau Asghar Farhadi menggarap film horor lewat observasi keseharian Shideh, bagaimana ia belakang layar menutup rapat gorden biar sanggup bebas berolahraga menggunakan tanktop ditemani video senam Jane Fonda. Puncaknya ketika ia ditangkap akhir keluar rumah  di malam hari ketika perang meletus tanpa jilbab. Menurut seorang haji yang bertindak sebagai hakim, perbuatan Shideh tak sanggup ditoleransi, di mana semestinya ia aib sebagai perempuan lantaran para laki-laki tengah menjadi martir. Shideh nampak memendam amarah, begitu pula penonton. Kuat memprovokasi, sehingga sulit merasa keberatan bila dramanya mendominasi. 

Namun bukan berarti Anvari melupakan sentuhan horor, lantaran sebaliknya, transisi drama sosial lalu drama keluarga ketika Shideh dan Dorsa mulai berselisih menuju teror jin berlangsung mulus. Sangat mulus, keduanya saling menguatkan. Selayaknya "The Babadook", timbul pertanyaan apakah keberadaan sosok makhluk halus adalah faktual atau bentuk metafora atas degradasi psikis karakternya. Pertanyaan itu mulai merasuk dan perlahan bersinggungan, berpadu dengan teror ledakan misil membuat ketakutan yang konsisten. Seiring berjalannya waktu, suara alarm dan lampu yang tiba-tiba padam semakin terasa mengerikan, menjadikan kesan tidak nyaman baik untuk aksara maupun penonton berkat kepiawaian Anvari membangun atmosfer klaustrofobik.
Kuantitas Jump scare bisa dihitung dengan jari, tapi efektivitasnya luar biasa. Dibantu kecerdikan pergerakan kamera Kit Fraser  kamera bergeser lambat atau berputar 90 derajat sebelum mengungkap penampakan  Anvari menghadirkan kesempurnaan timing, mendadak mengejutkan penonton di ketika tak terduga. Anvari pun tidak memunculkan jump scare sepotong-sepotong, melainkan melanjutkan ke teror berikutnya, memaksimalkan ketegangan lantaran jantung penonton masih berdebar kencang akhir rasa kaget sebelumnya. Seringkali kita diajak berharap-harap cemas menantikan jin yang kita tahu ada namun ibarat apa sosoknya tetap menjadi misteri. It's scarier to wait for something that we know exist but don't know how it looks

Seperti di dunia nyata, jin di sini merupakan makhluk misterius yang walau ditakuti banyak orang, eksistensinya kerap jadi tanda tanya begitu pula wujudnya. Sebagai penghasil kengerian, klimaksnya lemah tatkala Babak Anvari terjebak dalam klise adegan kejar-kejaran bertempo tinggi, tapi di sisi lain titik puncak tersebut (ditambah desain sosok jin dan konklusi cerita) makin menguatkan kisah yang ditawarkan mengenai bagaimana peperangan sekaligus tekanan terhadap kebebasan menyulut rasa takut, melukai psikis seorang perempuan yang selanjutnya bukan tak mungkin ia tularkan pada anaknya. 

Artikel Terkait

Ini Lho Under The Shadow (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email