Wednesday, December 5, 2018

Ini Lho The Beatles: Eight Days A Week - The Touring Years (2016)

Siapa tidak kenal The Beatles? Hampir semua orang tahu bermacam hal perihal mereka, mulai fakta umum bagaimana empat cowok asal Liverpool ini mendominasi kancah musik dunia, hingga mitos unbeliveable  yet convincing for some mengenai maut Paul McCartney beserta pesan diam-diam dalam cover album "Abbey Road". Walau anda bukan seorang die-hard fan sekalipun, pastilah anda pernah mendengar bahkan mungkin menyukai deretan hits macam "I Want to Hold Your Hand" atau "Yesterday". Kaprikornus masih adakah hal gres yang bisa Ron Howard selaku sutradara sampaikan? Jawabannya tidak. Tapi bukan berarti dokumenter berisi masa The Beatles menggelar tur pada 1961-1966 ini buruk.

Howard terang sutradara bagus, namun berkaca dari beberapa karyanya termasuk "Inferno" yang dirilis selang satu bulan pasca film ini, ia kerap tak berdaya bila dihadapkan dengan naskah lemah. Permasalahan tersebut mencuat di sini. Ditulis naskahnya oleh Mark Monroe, "The Beatles: Eight Days a Week - The Touring Years" punya beberapa kisah menarik yang dipaparkan sambil lalu, hanya menunjukkan sekilas informasi yang secara umum dikuasai sanggup kita dapatkan di internet. Beberapa hal sederhana semisal ketika Ringgo menceritakan bila ia mengetahui penggalan lagu yang tengah dimainkan dengan melihat goyangan pantat John dan Paul (teriakan penonton mengalahkan volume instrumen) menarik disimak, tapi itu saja belum cukup memenuhi komitmen filmnya guna menyuguhkan tentan "the grup band you know, the story you don't".
Film ini enggan menyentuh sisi gelap The Beatles, tapi bisa diterima lantaran tujuannya memang menunjukkan betapa besar mereka khususnya kala "the touring years", yang notabene puncak kesuksesan bermodal nomor-nomor pop catchy sebelum beralih ke experimental psychedelic. Filmnya mengaitkan keberhasilan itu dengan faktor kultural menyerupai masa baby bloom di mana jumlah cendekia balig cukup akal (mayoritas Beatlemania kala itu) membludak, pula kepekaan pada gosip sosial yang tampak ketika Beatles mengancam batal manggung demi melawan rasialisme. Beberapa wawancara turut mendukung pemahaman penonton. Whoopy Goldberg, Sigourney Weaver hingga Elvis Costello menyatakan kekaguman, dan ketika nama-nama besar tersebut berkata demikian, you know you're the real deal. Sedangkan Paul dan Ringgo menjelaskan alasan berhenti tampil live karena fokus utama pertunjukkan bukan lagi musik, melainkan The Beatles sendiri. Bisa diterima tatkala "real artist" berharap diapresiasi karya daripada ketampanan fisiknya.

Walau mengandung kalimat "The Touring Years" di judul serta berisi banyak footage konser, "The Beatles: Eight Days a Week - The Touring Years" bukan concert movie mengingat adanya kandungan kisah di luar pertunjukan musik. Maka dari itu kurang luasnya (juga dalam) kisah merupakan kekurangan. Namun harus diakui setumpuk arsip footage  konser dan belakang panggung  tersaji memuaskan. Jika anda mempertanyakan sebesar apa grup band ini, menyaksikan para fans berteriak histeris hingga menangis sewaktu melihat John atau Paul menggoyangkan kepala sudah jadi bukti sahih. Dari atas panggung pun terhampar pemandangan luar biasa berupa performa penuh energi serta kesatuan harmoni meski nyaris tidak mungkin bagi keempatnya mendengar instrumen masing-masing. Bukan saja bukti skill bermusik tingkat tinggi, juga eratnya chemistry.
Di belakang panggung ketika musik berhenti dimainkan, daya tarik film tak pernah mengendur, alasannya John-Paul-Ringgo-George selalu bisa melontarkan kelakar jenaka sekaligus cerdas dalam menanggapi serangkaian pertanyaan wartawan. Tentu Ringgo di masa muda paling mencuri perhatian lewat tingkah quirky ditambah senyum adorable, menjadikannya sosok paling lovable dalam film ini. More footage of John Lennon and George Harrison will do this movie good, though

Lagu-lagunya menggabungkan widely-known hits macam "Ticket to Ride" dengan beberapa nomor yang mungkin terdengar absurd bagi non-fans. Tapi kita tengah membicarakan karya The Beatles yang sanggup seketika "meracuni" pikiran. Penonton yang merasa absurd sanggup tergerak mencari lagu-lagu itu sehabis film usai, sedangkan longtime fans bakal puas ber-sing-along. Unsur di atas sesuai dengan tujuan utama film, ialah menyeimbangkan antara nostalgia penggemar usang dengan menghibur penonton awam, mengenalkan mereka akan masa keemasan dari grup band terbesar sekaligus (bisa jadi) terbaik sepanjang masa. 

Artikel Terkait

Ini Lho The Beatles: Eight Days A Week - The Touring Years (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email