Wednesday, December 5, 2018

Ini Lho Assassin's Creed (2016)

2016 digadang-gadang sebagai tahun di mana kita karenanya mendapat film penyesuaian video game berkualitas. "The Angry Birds Movie" memang decent, tapi beban terbesar dibebankan pada "Warcraft" dan "Assassin's Creed" mengingat keterlibatan nama-nama besar di dalamnya. Sayang, judul pertama berujung mengecewakan, meninggalkan impian pada karya terbaru Justin Kurzel ("Macbeth", "Snowtown") yang turut dibintangi jajaran cast kelas berat ibarat Michael Fassbender, Marion Cotillard, Jeremy Irons, Brendan Gleeson hingga Charlotte Rampling. Siapa sangka hasilnya mengenaskan.

Terpidana mati kasus pembunuhan berjulukan Callum Lynch (Michael Fassbender) tengah menanti eksekusi, namun ketika proses usai dilakukan, ia mendapati dirinya masih hidup dan berada di bawah pengawasan Sophia Rikkin (Marion Cotillard), kepala proyek Animus milik Abstergo, inkarnasi moden dari pasukan Templar. Callum diminta menjadi subjek Animus guna membawanya memasuki memori sang leluhur, Aguilar, seorang pembunuh yang pada kurun ke-15 tengah berperang melawan Templar memeprebutkan apel eden yang konon sanggup menghapuskan insting kekerasan umat manusia. Proyek Animus sendiri belakang layar dipakai oleh Abstergo untuk mencari tahu keberadaan apel eden. 
Kapasitas Justin Kurzel sebagai sutradara tak perlu diragukan, tapi serupa transisi sineas indie/low budget/arthouse lain ke blockbuster filmmaking, Kurzel kesulitan menyulap bujet ratusan juta dollar menjadi tontonan menghibur. Bersama sinematografer langganannya, Adam Arkapaw, beliau kolam kebingungan merangkai adegan agresi yang secara umum dikuasai berisi perkelahian jarak dekat. Momen yang semestinya merupakan ajang unjuk kebolehan para assassin memainkan belati jadi tak bertaji tanggapan penggunaan close-up dan shaky cam dalam pengambilan gambar. Ditambah choppy editing plus koregorafi generik, makin sulit menikmati action sequence-nya. Melihat titik puncak yang berlalu cepat tanpa intensitas, nampak terang kurangnya pemahaman Kurzel perihal cara menghibur penonton lewat menu blockbuster.

Sebelum perilisan, banyak fans was-was mendapati pernyataan bahwa hanya 35% dari keseluruhan film bertempat di masa kemudian yang mana merupakan sorotan utama game "Assassin's Creed". Menengok hasil akhirnya, keputusan tersebut nampaknya dipicu oleh lemahnya naskah karya Michael Lesslie, Adam Cooper, dan Bill Collage menjalin cerita. Mudah setting Andalusia tahun 1492 tidak mempunyai pondasi cerita, berisi lompatan antar adegan agresi jelek nan membosankan, padahal sederet lokasi bisa divisualisasikan cukup baik oleh CGI-nya. Para assassin termasuk Aguilar ialah perwujudan memori yang "dihidupkan kembali" memakai Animus, dan itu pula yang terasa ketika mereka digambarkan tanpa kepribadian maupun emosi. Kosong, bagai boneka yang digerakkan oleh tuannya.
Kisahnya menyinggung soal jati diri dan religiusitas secara dangkal melalui penuturan kalimat-kalimat seadanya oleh para huruf di tengah dinding-dinding laboratorium kelabu bernuansa masbodoh yang menambah kehampaan film. Naskahnya urung memberi klarifikasi dan motivasi memadahi perihal rentetan bencana atau character development. Keputusan ayah Callum, Joseph (Brendan Gleeson) membunuh sang istri, pemberontakan tawanan Abstergo, hingga ketika Callum sepenuhnya "menyatu" dengan Aguilar, semua terjadi begitu saja, nihil pemaparan mengenai "apa", "mengapa" dan "bagaimana". Alhasil alur penuh lubang, huruf pun tidak diperlakukan layaknya insan yang mempunyai emosi dan segala tindakannya menyimpan alasan.

Jeremy Irons, Brendan Gleeson, hingga Charlotte Rampling muncul sekedar untuk bangun melontarkan baris kalimat pengisi durasi tak bermakna. Perbedaan Marion Cotillard dengan tiga nama di atas hanya pada lebih banyaknya screentime, tidak dengan bobot perannya. Sedangkan dari Michael Fassbender terpancar secercah akting berkualitas entah melalui permainan ekspresi wajah kecil atau ketika diharuskan tertawa lepas kolam orang gila, namun inkonsistensi karakterisasi Callum (apakah ia psikopat? Pembunuh berdarah dingin? atau pemurung biasa saja?) membuatnya percuma. Apabila ada penghargaan bagi film yang paling menyia-nyiakan talenta, "Assassin's Creed" pantas jadi juara. Even "Warcraft" and "Mortal Kombat" are far more entertaining than this stupid borefest. 

Artikel Terkait

Ini Lho Assassin's Creed (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email