Review Film Terbaik: Ini Lho Black Mass (2015)

Kapan terakhir kali Johnny Depp menyajikan penampilan yang mengesankan? Bagi aku itu terjadi dikala ia memerankan sosok magia John Dillinger dalam Public Enemies enam tahun lalu. Mengingat status Depp sebagai salah satu bintang terbesar Hollywood dikala ini, enam tahun ialah waktu yang lama. Apalagi semenjak itu sudah 10 film ia bintangi (tidak termasuk voice acting dan cameo). Dalam Black Mass, Depp akan memerankan lagi tokoh kriminal nyata, yakni James "Whitey" Bulger. Dengan kiprah serupa, apakah sang pemain film bisa mengembalikan reputasinya yang makin menurun lewat sebuah akting mumpuni? Jawabannya "ya". Bahkan kiprahnya sebagai Whitey Bulger merupakan salah satu akting terbaik sepanjang karir Depp. Setiap kemunculannya di layar seolah memperlihatkan gravitasi yang menyedot aku kedalam kengerian gelap. Tatapannya tajam, bicaranya menyiratkan kekejaman, bahkan tawanya intimidatif.

Impresi tersebut pribadi terasa semenjak kemunculan pertamanya di sebuah bar. Padahal dikala itu Whitey hanya duduk mengomentari cara makan salah seorang anak buahnya. Whitey dikala itu masihlah seorang gangster kecil, pemimpin dari gang Irlandia-Amerika berjulukan Winter Hill. Dari segala bahan promoi film hingga adegan pembuka yang memperlihatkan interogasi terhadap Kevin Weeks (Jesse Plemons), salah satu anak buah Whitey, kita tahu bahwa ia tidak akan berakhir hanya sebagai kriminal kelas teri. Depp berhasil menciptakan aku percaya bahwa Whitey memang punya kapasitas untuk menjadi lebih besar lagi, bahkan yang terbesar di Boston. Tapi hal itu terhalang oleh keberadaan Angiulo bersaudara yang mempunyai koneksi berpengaruh dengan keluarga berandal Italia. Disaat bersamaan, seorang anggota FBI sekaligus sobat masa kecil Whitey, John Connolly (Joel Edgerton) dibebani kiprah untuk mencari bukti penangkapan Angiulo bersaudara. Diawali oleh kepentingan yang serupa itulah teripta unholly alliance antara kriminal dengan anggota FBI.

Saya peringatkan, Black Mass bukanlah film kriminal yang eksplosif. Jika anda familiar dengan karya-karya sutradara Scott Cooper sebelumnya (Crazy Heart & Out of the Furnace), maka anda tahu akan menyerupai apa film ini: sebuah slow-burning movie yang lebih banyak membangun atmosfer melalui ambience kelam daripada adegan aksi. Cooper kali ini berusaha membangun rasa horror yang bersumber dari kriminalitas. Boston pada masa dimana Whitey mulai berkuasa digambarkan sebagai kota yang jauh dari kata aman. James "Whitey" Bulger bagaikan iblis yang mengontrol kota dengan segala tipu dayanya serta tidak ragu menghabisi siapapun yang dianggap menghalangi. Tidak perlulah mereka yang tertangkap lembap berkhianat atau merugikan bisnisnya secara langsung. Sebagai pola dikala Whitey tanpa ragu membunuh anak tiri Flemmi (Rory Cochrane) Deborah (Juno Temple) hanya alasannya ialah ia gres saja ditangkap polisi tanggapan tindakan prostitusi.

Untuk memperkuat atmosfer itu, dikemaslah Black Mass secara raw. Tidak mewah dan tidak gemerlap. Mereka para gangster (termasuk Whitey) bukan pria-pria flamboyan yang selalu mengenakan jas dan memakai senapan mesin stylish untuk melawan musuh. Mereka semua nampak menyerupai orang kelas menengah biasa, dan dikala harus menghabisi seseorang, banyak sekali cara yang lebih "kasar" digunakan. Darah pun banyak ditumpahkan oleh Scott Cooper disini. Black Mass dengan segala isinya bukan film yang "sulit" untuk ditonton, tapi sulit membayangkan bila harus bertahan hidup di Boston kala itu. Singkatnya, Scott Cooper telah berhasil membangun dunia "keras" dalam filmnya. Tapi bagaimana dengan kualitas narasi?

Dalam sebuah slow-burning movie, intensitas dihadirkan dalam bentuk rambatan perlahan yang secara tidak sadar sudah mencengkeram penonton dengan kuat. Begitu pula pendalaman huruf yang menciptakan kita makin mengenal mereka alasannya ialah eksplorasi yang teliti dan bertahap. Tapi tidak menyerupai dunia yang dibangun, narasi Black Mass tidak sekuat itu. Alurnya berjalan lambat tanpa pernah benar-benar memperlihatkan cengkeraman. Satu-satunya sumber intensitas hanya berasal dari Johnny Depp, yang terkadang mampu memperlihatkan "distraksi" sehingga kedangkalan kisah bisa tertutupi. Tapi mengesampingkan kehadiran Depp, alurnya terasa kosong. Film ini sempat terasa stagnan, mengalun lambat tapi bagai tidak bergerak kemanapun. Begitu membosankan, hingga dikala Whitey mulai "mengembangkan" tindak kriminalnya, intensitas yang hilang perlahan kembali.

Eksplorasi huruf pun tidak berjalan baik yang menjadikan dinamika emosi juga sama-sama hampa. Padahal tiap huruf di film ini punya potensi masing-masing dalam arc-nya untuk menjadi emosional. Black Mass dipenuhi tragedi, bahkan terbentuknya sosok Whitey yang lebih kejam pun dipantik oleh banyaknya kejadian memilukan dalam hidupnya. Kehilangan orang-orang tercinta dalam waktu berdekatan membuatnya berubah dari seorang kriminal berbahaya menjadi layaknya psikopat haus darah. Dalam suatu voice-over disebutkan bahwa bencana itu merubah total sosok Whitey. Tapi apa yang nampak di layar tidaklah jauh berubah kecuali sang kriminal lebih sering membunuh orang secara langsung. Ini bukan salah Depp, alasannya ialah lagi-lagi pembawaannya tanpa cela. Kesalahan ada pada naskah yang tidak memperlihatkan gradasi pada transformasi karakternya.

Rasa simpati juga tidak aku rasakan. Memang beberapa kali kita meihat keseharian Whitey di rumah yang penuh dengan kasih sayang baik pada sang ibu maupun putera tunggalnya. Tapi itu hadir sekilas dan tidak lebih dari sekedar pengisi. Belum cukup berpengaruh untuk menarik simpati apalagi memperlihatkan kompleksitas lebih pada sang tokoh. Beberapa huruf pendukung pun tersia-siakan potensinya. Contohnya Billy, adik Whitey yang diperankan oleh Benedict Cumberbatch. Dia punya kapasitas untuk mengimbangi Depp, dan memperlihatkan interaksi keluarga yang lebih menarik diantara kedua karakter.

Selama sekitar dua jam Black Mass menyuguhkan citra serta atmosfer Boston yang kelam dengan berpengaruh plus salah satu performa terbaik Johnny Depp yang patut dirayakan. Konsep filmnya yang ingin menghadirkan horror lewat drama daripada kekerasan (meski darah banyak tumpah) terang menarik. Tapi itu tidak berhasil. Black Mass is a slow-burning movie that never lights up its flame.