Saturday, December 1, 2018

Ini Lho Black Panther (2018)


Di Black Panther, Wakanda digambarkan sebagai negara adikuasa makmur, berteknologi maju, yang tak melupakan akar kulturalnya. Sementara para pemegang tampuk kekuasaan tidak memanfaatkan kekuatan mereka untuk berlaku semena-mena. Itulah surat cinta sekaligus pernyataan filmnya. Apabila kulit gelap yang ditekan diberi kuasa dan sumber daya, apakah mereka akan balik  menginjak-injak? Dengan tegas Black Panther menjawab, “TIDAK”. Ketika realita mengatakan Trump enggan menampung pengungsi, T’Challa (Chadwick Boseman) membuka pintu Wakanda lebar-lebar. Setelah pengalami pergolakan batin dan politik tentu saja.

Bisakah orang baik menjadi Raja? Menurut mendiang T’Chaka (John Kani), hal itu sulit, sehingga takkan gampang bagi sang putera memimpin Wakanda. Bagaimana T’Challa berusaha menjadi Raja sebaik mungkin yang sanggup memakmurkan dan membahagiakan rakyatnya ialah fokus utama Black Panther. Tidak ada invasi alien, tidak ada Dewa janjkematian menyerbu. Skala dijaga di lingkup internal Wakanda, dan sebagaimana negara kebanyakan, kudeta serta invasi ajaib jadi problematika. Ulysses Klaue (Andy Serkis) ialah pihak luar yang ingin mencuri vibranium, tapi bahaya terbesar selalu berasal dari dalam.
Datanglah Erik “Killmonger” Stevens (Michael B. Jordan) demi merebut tahta T’Challa sekaligus bergabung bersama Loki, Baron Zemo, dan Vulture di jajaran villain terbaik MCU. Mampu ia jatuhkan T’Challa ke titik terendahnya, satu hal yang tidak semua villain bisa lakukan pada jagoan super. Pun terdapat alasan personal sehingga Erik Killmonger tak semudah itu diklasifikasikan sebagai “orang jahat”, di mana pertemuan dengan sang ayah memberi momen personal yang memantapkan pondasi penokohan itu. Saat Chadwick Boseman ialah Raja yang meneduhkan, maka Michael B. Jordan menjadi ekstrimis berapi-api. Keduanya karismatik.

Mengusung goresan ideologi bernuansa politis, masuk akal tatkala Black Panther tanpa injeksi humor sebesar lebih banyak didominasi film MCU, meski balutan komedi tetap hadir dalam dosis secukupnya. Apa hasilnya film positif nan penuh impian macam Black Panther jikalau tidak dibarengi tawa? Naskah goresan pena sutradara Ryan Coogler bersama Joe Robert Cole mungkin bukan naskah dengan alur revolusioner, bahkan cenderung repetitif. Tapi kekurangan itu ditebus lewat obrolan kaya subteks soal ras, politik, sampai budaya.
Bicara mengenai budaya, suasana afrofuturism milik Black Panther terang salah satu penataan artistik terbaik dalam film jagoan super. Kostum beraneka warna berbalut desain unik, beberapa upacara adat, bahkan pesawat milik T’Challa mirip topeng suku-suku di Afrika. Peleburan sisi tradisional dan modernnya berjalan sempurna. Wakanda melestarikan budaya tanpa menutup pintu akan perkembangan teknologi, mirip diwakili oleh Shuri (Letitia Wright), adik T’Challa yang memfasilitasi Ryan Coogler menyuntikkan rasa James Bond ke dalam Black Panther.

Sayangnya Coogler belum terlalu hebat merangkai adegan aksi. Tampak terang kala titik puncak medioker berbalut CGI ala kadarnya berlangsung. Tapi itu pun dikarenakan gugusan agresi yang mendahuluinya jauh lebih superior: Kejar-kejaran di jalanan Korea yang melibatkan senjata futuristik sampai pertarungan memperebutkan tahta di samping jeram yang kental keindahan budaya termasuk musik nuansa Afrika buatan Ludwig Göransson. Semua hal dalam Black Panther, entah musik, kostum, atau penghormatan ala Wakanda bakal menciptakan black culture lebih terdengar bahkan terlihat keren di mata publik. Apa saya sudah menyebut kalau film ini turut meninggikan para wanitanya yang demikian tangguh? Sungguh sebuah representasi penting.

Artikel Terkait

Ini Lho Black Panther (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email