Membuat komedi itu susah. Apalagi bila spesifik, khusus menyasar problem atau setting tertentu. Seperti namanya, Flight 555 (seharusnya) merupakan komedi penerbangan dengan humor yang terfokus pada benda, peristiwa, dan orang-orang di pesawat. Adegan pembukanya melaksanakan itu, menggelitik lewat parodi terhadap ragam ciri penumpang: wakil rakyat sombong, orang yang gres pertama terbang dan bertingkah norak, pramugari yang bergerak hiperbolis kala menawarkan arah bangku. Melihat Meriza Febriani yang bagus dalam balutan seragam pramugari bertingkah demikian jadi anomali menyenangkan.
Memang perlu perjuangan ekstra bagi duo penulis naskah, Isman HS dan Raymond Handaya (juga sutradara) mengkreasi opening-nya. Dituntut berpikir keras tampaknya membuat pikiran mereka terforsir kemudian kering ide. Humor yang menyusul, khususnya sesudah pembajakan dimulai, tak lebih dari kebodohan seragam nan reptitif. Pembajakannya absurd. Putu (Tarra Budiman) yang pulang ke Bali demi menemui sang ayah yang sakit keras menemukan pistol di toilet pesawat, sempurna sebelum seorang Sunda dengan koteka (Anyun Cadel) dan seorang Papua (Abdur Arsyad) membajak pesawat menggunakan panah. Tidak usang kemudian muncul satu lagi pembajak yang mengenakan bom.
Merasa perlu bertindak, Putu menggunakan pistol yang ia temukan untuk berpura-pura ikut membajak pesawat guna mengkonfrontasi ketiga pelaku. Absurd dan penuh perjuangan melucu, namun skenarionya bukan menitikberatkan pada situasi, melainkan karakter. Ketimbang membuat absurditas menurut rutinitas penerbangan menyerupai dilakukan Airplane! yang tampaknya memberi imbas besar (romansa dengan pramugari, konflik terkait mantan kekasih, keracunan makanan, pembersih beling pesawat, kemiripan pilot dengan sosok ternama), Flight 555 mengutamakan biar beberapa tokohnya bertindak sebodoh mungkin.
Anyun Cadel misalnya, diminta melontarkan pernyataan ngawur terus menerus sampai ke titik membosankan, bahkan menyebalkan. Sebaliknya, begitu banyak huruf malah sama sekali tidak berstatus tokoh komedik. Rusmedie Agus yaitu antagonis super serius, Tarra Budiman selaku protagonis hanya konyol di awal sewaktu status jomblonya jadi materi olok-olok, pula Mikha Tambayong yang tersia-siakan talentanya. Raymond urung memahami potensi Mikha melakoni komedi deadpan serupa yang ditunjukkan dikala merespon kecerobohan supir yang membuat lipstiknya awut-awutan di awal kemunculan.
Terlalu banyaknya huruf plus situasi serius menyiratkan hilang arahnya film ini. Pembajakan diposisikan kolam kenyataan selaku situasi hidup-mati alih-alih sekedar parodi pengundang tawa di tengah premis absurd. Tapi di dikala bersamaan, Flight 555 juga menggelontorkan lawakan di luar nalar. Inkonsistensi tone pun hadir. Absurditas komikal yang tak mempedulikan logika bertabrakan, gagal membaur dengan komponen suspens dan dramatik. Anda pun dapat memindahkan setting Flight 555 ke mana saja. Bus, perahu, kapal selam. tinggal pilih. Pertanda filmnya gagal memanfaatkan kekhasan setting.
Ini Lho Flight 555 (2018)
4/
5
Oleh
news flash