For me, baby is the cutest thing in the whole world ever. Fakta itu cukup mendorong saya menonton The Boss Baby, ingin dijejali eksploitasi mengenai betapa menggemaskan sesosok bayi. Itu saja. Lagipula DreamWorks memang bukan kawasan mencari penemuan visual (Laika) atau konsep liar dan kisah emosional (Pixar). Sehingga terasa mengejutkan tatkala pembiasaan buku dongeng bergambar karya Marla Frazee ini begitu kaya akan imaji, hati, seraya membawa kembali ingatan masa kanak-kanak ketika segala kegiatan bermain dibayangkan bagai petualangan seru di dunia penuh fantasi, menjadikannya film terbaik produksi DreamWorks sejak How to Train Your Dragon 2.
Tim Templeton (Miles Christopher Bakshi) ialah bocah 7 tahun yang hidup bahagia, menikmati kasih sayang dari kedua orang tuanya. Hingga suatu hari tiba Boss Baby (Alec Baldwin), adik bayi Tim yang berlagak layaknya bos, menggunakan setelan jas dan membawa koper. Tumbuh kebencian di hati Tim pada sang adik lantaran ia merasa tidak lagi diperhatikan oleh orang tuanya. Merasa ada keanehan, Tim pun kesannya mendapati bahwa Boss Baby bukan saja bisa bicara pula bersikap layaknya orang sampaumur (tepatnya pebisnis), tapi juga tinggal di rumah keluarga Templeton dalam rangka mengemban misi khusus.
Do you love baby's cuteness? Jika ya, bersiaplah untuk luluh, alasannya The Boss Baby enggan menahan diri ketika eksklusif menampakkan pantat bayi disusul tingkah polah menggemaskannya sedari menit-menit awal. Selanjutnya, film ini mengandalkan dagelan ketika para bayi bertingkah bagaikan orang sampaumur sambil berusaha menyembunyikan fakta itu dari orang lain (ganti mainan di Toy Story dengan bayi). Bukan konsep baru, tapi bahkan pola komedi paling formulaik macam slapstick yang cukup mendominasi pun akan memancing tawa bagi penonton penyuka bayi. Karena bagi mereka seluruh perbuatan bayi terasa lucu dan takkan membosankan. The Boss Baby sukses memaksimalkan itu.
Namun The Boss Baby tidak bersikap malas sekedar memanfaatkan "kelemahan hati" penonton terhadap bayi, sebab sutradara Tom McGrath (Madagascar, Megamind) punya amunisi lebih berupa kemampuan bertutur lewat visual. Penonton kerap diajak mengikuti imajinasi Tim ketika mengayuh sepeda menjadi petualangan luar angkasa, atau mandi di bathtub seperti terombang-ambing tengah samudera. Adegan-adegan tersebut dibungkus oleh sequence demi sequence animasi dengan penggambaran luar biasa kreatif. Saya dibentuk tersenyum mengingat lagi acara serupa sewaktu kecil yang sama menyerupai tata visual filmnya, menyimpan imajinasi nihil batas.
Kekuatan visual dibarengi pula oleh dongeng tak kalah imajinatif. Benar bila konsep "pabrik bayi" telah dimunculkan terlebih dahulu dalam Storks tahun lalu, tetapi naskah garapan Michael McCullers sanggup menjaganya tetap segar kala bisa mengaitkannya dengan kehangatan proses tumbuh kembang ketika seorang anak berguru berbagi, memberi kasih sayang alih-alih sekedar menerima. Tim dan Boss Baby awalnya saling membenci, hingga seiring waktu berlalu keduanya makin banyak mengalami suka murung bersama. Sebagaimana hubungan saudara di dunia nyata, kepedulian dan ikatan perlahan tumbuh. Ditemani lagu Blackbird milik The Beatles, ikatan serupa muncul di hati saya terhadap tokoh-tokohnya, memancing pengaruh emosional menyaksikan tuturan drama keluarganya.
McCullers juga unjuk gigi memamerkan akal membangun humor berbasis acuan dari bermacam pop culture khususnya film lewat banyak sekali cara, entah pengadeganan (Raiders of the Lost Ark), permainan kata dalam obrolan (Mary Poppins, Glengarry Glen Ross), penokohan (The Lord of the Rings), dan sebagainya. Poin ini menambah intensitas tawa bagi penonton yang memahami setumpuk acuan tersebut. Sayang, naskahnya kurang solid menggali konsep, berujung meninggalkan sederet pertanyaan "bagaimana" terkait "rules" seputar kehidupan bayi hingga rencana villain yang banyak mempunyai lubang. Namun sulit untuk tidak memaafkan itu kalau selama sekitar 98 menit disuguhi sikap menggemaskan para bayi.
Ini Lho The Boss Baby (2017)
4/
5
Oleh
news flash