Tuesday, December 4, 2018

Ini Lho Night Bus (2017)

Kalau tidak salah kabar pembuatan film ini sudah didengungkan oleh Darius Sinathrya sang produser semenjak 2014 dan sempat mengadakan crowdfunding. Dibuat menurut cerpen Selamat buatan Teuku Rifnu Wikana yang sebagai hasil penuangan pengalamannya di tahun 1999 kala terjebak di bus selama 12 jam ketika melewati tempat konflik berjulukan Sampar, Night Bus memang terasa ambisius. Bagaimana tidak? Mayoritas alurnya bertempat di satu lokasi (bus malam) serta berisi belasan tokoh yang oleh Rahabi Mandra dan Teuku Rifnu Wikana selaku penulis naskah coba diseimbangkan porsinya. Hasilnya ialah sajian berkonsep segar yang meski punya kekurangan di sana-sini, mampu menonjol di antara thriller lokal sejauh ini.

Sebuah bus malam yang disopiri Amang (Yayu AW Unru) siap mengarungi perjalanan selama 12 jam menuju Sampar. Berdasarkan dongeng si kondektur (Teuku Rifnu Wikana), di sana sedang meletus konflik antara militan penuntut kemerdekaan dan pemerintah. Alhasil sepanjang perjalanan mereka harus melewati pengecekan di beberapa pos militer. Penumpang bus terdiri dari bermacam-macam orang dengan tujuan sendiri-sendiri, ada wartawan, perempuan renta yang hendak berziarah ke makam puteranya bersama sang cucu, sepasang kekasih cukup umur pencari kerja, dan lain-lain. Tanpa diduga pertikaian makin sengit, bahkan turut menyeret para penumpang lebih dalam, mengancam nyawa mereka. Rahasia yang dipendam masing-masing pun mulai terungkap. 
Sempat timbul dugaan Night Bus sejatinya belum siap rilis. Selain molornya proses produksi, beberapa dilema teknis yang menciptakan premiere-nya sempat tertunda berjam-jam hingga batalnya penayangan di banyak kota dengan alasan serupa jadi pemicu perkiraan tersebut. Tapi itu kisah di balik layar yang sulit dibuktikan kebenarannya. Dari hasilnya, Night Bus kentara mengusung ambisi besar pula digarap serius. Production value-nya tidak main-main, menciptakan gambarnya yummy dipandang khususnya sewaktu Anggi Frisca sang sinematografer tahu cara merangkai visual enjoyable walau didominasi ruang sempit minim cahaya. Ketepatan menempatkan kamera dan bermain warna jadi kunci. 

Kesan mahal menguat tatkala imbas CGI kerap menghiasi. Tentu saya tak mengharapkan kualitas nomor satu, tapi di tengah keterbatasan, penggunaan CGI-nya nampak berlebihan di aneka macam kesempatan semisal kobaran api dan puing reruntuhan atau helikopter selaku cara klise menunjukkan militer tengah bergerak. Padahal tanpa CGI clumsy itu penonton sudah memahami situasinya. Aspek sound mixing turut menyimpan masalah. Acap kali menggunakan bahasa dan logat daerah, ketiadaan subtitle mengharuskan tata bunyi solid biar gampang dicerna. Kebutuhan itu gagal dipenuhi, berujung banyak obrolan samar-samar. Paling fatal dikala kalimat dari Mahdi (Alex Abbad) yang mengandung poin alur kunci diucapkan dengan berbisik, mengharuskan penonton berkonsentrasi ekstra mengolah kata demi kata.
Di luar kelemahan teknis, Night Bus masih thriller menegangkan yang mampu memaksa penonton mencengkeram dingklik kemudian menahan nafas. Emil Heradi bersedia meluangkan waktu membangun intensitas ketimbang pribadi meledakkannya, terlebih dulu mempermainkan antisipasi penonton, memancing atmosfer harap-harap cemas. Sewaktu teror kesannya menampakkan diri, alih-alih terbatasi setting sempit, Emil mampu menyeret penonton ikut duduk di dalam bus, menyebarkan ketakutan serupa penumpangnya. Sementara musik karya Yovial Tri Purnomo Sigi terdengar dramatis, tepat menemani gejolak mencekam filmnya. 

Sayang, perjuangan Emil membangun ketegangan tak jarang bertele-tele, diseret terlalu usang sebelum masuk ke sajian utama. Dipaksa menanti ketika tahu akan terjadi sesuatu khususnya terkait paparan horor atau thriller memang asyik, tapi bila penantian itu terlampau panjang dan sering, rasanya mengesalkan. Saya berkali-kali dibentuk gemas jawaban Emil gemar berlama-lama berkutat di momen kurang penting ibarat aksara berjalan atau bicara perlahan dengan tempo lambat pula. Tambah melelahkan jawaban repetitifnya bentuk teror yang dihadapi. Sekitar empat kali bus bertemu sebuah rombongan, dihentikan, kemudian penumpang dipaksa turun. Hal ini berlangsung hingga konklusi membungkus cerita. Tidak heran durasi mencapai 135 menit. 
Durasi tersebut turut dipengaruhi kerapnya naskah memasukkan momen non-esensial. Tujuannya baik, supaya penonton memahami setiap tokoh yang mana berhasil dicapai. Setidaknya saya tahu siapa dan apa motivasi masing-masing dari mereka. Tapi sesudah berkali-kali melihat tingkah Kondektur (diperankan begitu baik oleh Teuku Rifnu Wikana sehingga walau tampak seenaknya, ia tetap berperasaan dan likeable), perlukah adegan menari mengikuti musik sambil mabuk untuk menegaskan bahwa beliau sosok nyeleneh? Penegasan berulang ini berkontradiksi dengan kesubtilan naskah dalam memprsentasikan kompleksitas konflik. 

Rahabi Mandra bersama Teuku Rifnu cukup piawai menjalin kaitan antar fakta tanpa mesti gamblang bertutur, sepenuhnya menyerahkan proses penyusunan keping-keping puzzle pada penonton. Jalinan kisahnya memang rumit, namun suatu kerumitan yang selaras dengan kekacauan dunianya. Sebuah dunia di mana kekuasaan disalahgunakan, ambisi pribadi dipentingkan, di mana para pemegang kekuatan saling berseteru, meninggalkan masyarakat biasa yang lemah terombang-ambing di tengah sebagai korban tak berdaya. Sungguh kejam si kuat, sungguh malang si lemah. Di luar setumpuk kekurangannya, Night Bus kuat menghasilkan ketegangan juga lantang menyuarakan pesan.

Artikel Terkait

Ini Lho Night Bus (2017)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email