Orang-orang dengan duduk kasus personal menentukan "lari" untuk sementara waktu, mengasingkan diri dari keriuhan dunia modern di tengah alam, kemudian menemukan satu sama lain dan gotong royong coba saling menyembuhkan luka. Premis itu sudah familiar. Begitu pula dengan konflik antar mitra tatkala menyayangi orang yang sama. Bersama penulis naskah Titien Wattimena (Salawaku, Winter in Tokyo, Negeri Van Oranje), Lola Amaria (Jingga, Minggu Pagi di Victoria Park) menggunakan unsur-unsur di atas sebagai jalan memberikan dongeng berselipkan rasa feminisme, berhiaskan acara diving mengarungi pemandangan bawah bahari Pulau Komodo. Semuanya familiar, tapi Labuan Hati nyatanya masih nikmat disaksikan.
Bia (Kelly Tandiono) yang tengah bermasalah dengan sang suami berlibur seorang diri ke Pulau Komodo dengan sumbangan Maria (Ully Triani) selaku guide. Sebelum memulai tur, Bia bertemu Indi (Nadine Chandrawinata) yang tanggapan miskomunikasi harus terpisah dari tunangannya yang memaksa mengatur segala detail perjalanan Indi. Merasa serupa dan praktis akrab, keduanya menentukan menghabiskan waktu liburan bersama. Sampai kehadiran pelatih selam berjulukan Mahesa (Ramon Y Tungka) memancing perpecahan ketika Bia, Indi, bahkan Maria sama-sama menyukai Mahesa.
Labuan Hati bergerak dari satu destinasi wisata menuju lainnya, di mana tiap pemberhentian (baik darat atau underwater terpampang indah di layar) bermuara pada obrolan tiga wanita. Melalui pembicaraan mereka, Titien Wattimena mengutarakan bermacam-macam sudut pandang seputar kebahagiaan, cinta, atau tepatnya, soal kehidupan. Kadang pula Maria atau Mahesa memberikan segelintir info mengenai alam sekitar, entah yang sifatnya sekedar fakta dan data bagi penonton atau kritik terhadap lingkungan, semisal banyaknya pulau negeri ini yang dimiliki pihak asing. It's all about conversation. Meaningful and informative one. At least that's what this movie trying to be.
Pengadeganan Lola mengedepankan nuansa low key, sederhana, minim gejolak. Ibarat konser, Labuan Hati adalah pertunjukkan akustik intim ketimbang orkestra megah atau konser pop di stadion pengundang nyanyian massal. Namun kolam berkontradiksi, ketika seorang tokoh mengucap baris kalimat bermakna, ia seolah memasuki dramatic state, bagai coba terdengar puitis, berlawanan dengan usungan konsep realistisnya. Alhasil tercipta transformasi tak mulus, bagai ada jurang pemisah antara penuturan kalimat santai dengan yang menyimpan makna. Padahal keduanya tergabung dalam sebuah rangkaian pembicaraan di satu waktu. Akibatnya, perjuangan merangkai jalinan emosi subtil nan lembut daripada dramatisasi bergejolak pun gagal, menjadi seutuhnya datar.
Bukan sepenuhnya kekeliruan Lola, lantaran akting cast pun berpengaruh. Nadine paling terasa canggung dan berlebihan kala menangani kalimat tersebut. Kelly sekuat tenaga menghidupkan Bia dengan segala kehebohan dan sifat "wanita kota" miliknya. Tapi Ully Triani lah motor pencetus utamanya. Paling jarang bicara, Maria menentukan membisu mengamati dan menahan diri kala dua rekannya sibuk dikuasai ego. Baik berkat pengucapan obrolan natural maupun siratan rasa terpendam, Ully menciptakan tokohnya paling simpatik. Labuan Hati berharap penonton memahami ketiga tokoh utama, namun terang di Maria hati filmnya bertempat. Sepanjang film, Indi dan Bia gemar bermain "Fuck, Marry, Kill". It's arguable which one I'm gonna fuck, but Maria is definitely who I'm gonna marry, while the other two are killable.
Bia, Indi dan Maria merupakan perempuan kuat, setidaknya ingin menuju ke sana. Mereka gamang akan cinta dan kebahagiaan tapi berusaha tegak bangun sendiri, menolak dikontrol termasuk oleh laki-laki. Butuh pemicu kuat biar membutakan mereka. Pemicu itu tak lain Mahesa. Ketiganya tiba-tiba jatuh hati meski gres sejenak mengenalnya, belum pernah bicara hati ke hati atau mengalami bencana luar biasa. Pasca duduk bersama, berbahagia menghabiskan senja, adegan berikut eksklusif menawarkan adanya lomba, saling cemburu di antara mereka. Masalahnya, apa yang menciptakan Mahesa begitu digandrungi selain kehebatan menyelam? Mahesa sekedar keklisean sosok laki-laki tangguh, serupa namanya yang menyiratkan "kejantanan".
Semakin sulit mempercayai proses ketertarikan pada Mahesa sewaktu Ramon Y Tungka tampil nihil pesona. Dia tidak diberkati charm natural macam Vino G Bastian atau Arifin Putra. Tidak pula bisa menyulap line sederhana jadi penuh wibawa menyerupai Reza Rahadian atau Abimana. Performanya di sini bukan suatu ekspo akting buruk, tapi terang kurang kuat untuk mengemban beban selaku penampil laki-laki utama, apalagi bermain sebagai pemikat hati tiga perempuan secara bersamaan. Belum lagi menyerupai telah disebutkan, karakterisasi Mahesa lemah, tanpa ciri.
Pilihan resolusinya terkesan menggampangkan tapi masuk akal, lantaran proses perenungan berujung memaafkan juga penerimaan masuk akal terjadi kala seseorang bersinggungan dengan hidup dan mati. Saya pun menyukai bagaimana Labuan Hati bijak menyikapi pesan feminismenya. Titien Wattimena dan Lola Amaria menekankan pentingnya perempuan bertindak mandiri, menolak segala kekangan patriarki, namun tidak serta merta lupa akan tugas seorang istri. Mengandung setumpuk kekurangan, Labuan Hati layak diapresiasi berkenaan atas tebaran kedamaian di tengah perjalanan karakternya berdamai dengan diri sendiri dan seluruh problematika.
Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID & Indonesian Film Critics
Ini Lho Labuan Hati (2017)
4/
5
Oleh
news flash