"Danur" diangkat dari novel "Gerbang Dialog Danur" karya Risa Saraswati, musisi sekaligus penulis buku yang populer lewat kemampuan supranaturalnya. Karya-karya Risa sendiri kental unsur mistis, berisi pengalaman interaksinya dengan para makhluk halus, termasuk Peter, hantu bocah Belanda yang namanya paling dikenal publik (album mini Risa bertajuk "Story of Peter"). Dibintangi Prilly Latuconsina yang makin menunjukan talenta beraktingnya serta Shareefa Daanish yang rasanya layak diberi gelar "Ratu horror modern Indonesia", "Danur" memang tampak menjanjikan. Belum lagi keberadaan Awi Suryadi ("Badoet", "Bidadari Terakhir", "Street Society" di dingklik penyutradaraan.
Alkisah, di ulang tahun kedelapan, Risa kecil (Asha Kenyeri Bermudez) berharap menemukan mitra untuk menghilangkan kesendiriannya jawaban selalu ditinggal sang ibu bekerja (ayahnya kerja di luar negeri). Harapan Risa terkabul, hanya saja teman yang ia sanggup bukanlah manusia, melainkan tiga hantu bocah Belanda berjulukan Peter (Gamaharitz), William (Wesley Andrew), dan Jansen (Kevin Bzezovski Taroreh). Sembilan tahun berselang, Risa (Prilly Latuconsina kembali ke rumah masa kecilnya itu guna menjaga neneknya (Ingrid Widjanarko) bersama sang adik, Riri (Sandrinna Michelle Skornicki). Keanehan muncul semenjak kedatangan pembantu gres berjulukan Asih (Shareefa Daanish).
Film ini mempunyai departemen visual menawan berkat pemanfaatan banyak sekali properti bernuansa klasik dengan penempatan apik dalam tata artistiknya. Permainan cahaya pun ikut diperhatikan khususnya kala titik puncak di alam roh yang (seperti "Insidious") menonjolkan dominasi warna merah plus sedikit hijau di beberapa sudut. "Danur" amat memperhatikan tampilan, membuatnya tak monoton dari segi visual, meski kadang usahanya terasa terlampau keras, semisal penataan kamera dalam sinematografi Adrian Sugiono yang seolah anti pada gaya "mainstream", sehingga begitu sering memiringkan kameranya beberapa derajat. Stylish, terkadang dramatis, tapi lebih sering tanpa arti.
Awi Suryadi terang menyimpan setumpuk referensi "The Conjuring", "Insidious", "Jacob's Ladder" yang harus diakui mengakibatkan beberapa jumpscare-nya tidak terkesan malas dan apa adanya. Tapi sejalan dengan sinematografi, ketimbang menyesuaikan kebutuhan, banyak momen kolam sekedar ajang pamer gaya. Terasa repetitif kala filmnya bagai tersusun atas segmen demi segmen jumpscare. Karakternya berdiri tidur, "BOOM" hantu muncul. Karakternya menciptakan kopi, "BOOM" hantu muncul. Karakternya berjalan, "BOOM" hantu muncul. Demikian seterusnya tanpa jalinan dongeng menarik guna mengikat antusiasme penonton. Tiba-tiba saja di akhir, naskah buatan Lele Laila dan Ferry Lesmana menjawab soal jati diri Asih. Pertanyaannya, kapan film ini mengajak mempertanyakan siapa Asih? Buat apa saya peduli pada jawaban dari misteri yang tak pernah ditelusuri sebelumnya?
Andai Awi memperhatikan timing, kesan berlebihan bakal terhindarkan. Ketiadaan timing membuat sederet penampakan menjadi overkill, kehilangan daya bunuh, bahkan menggelikan. Ya, alih-alih berteriak ketakutan, berulang kali studio daerah saya menonton yang full house diramaikan gelak tawa penonton. Tatkala horror justru memancing respon yang berlawanan dengan takut, tentu ada problem besar. Penonton tertawa menyaksikan Risa salah mengartikan kegelisahan nenek yang tak bisa bicara. Penonton tertawa kala senyuman lebar Asih nampak di balik jendela. Penonton tertawa melihat nenek yang selalu dijaga oleh keluarga rambutnya tergerai awut-awutan selaku perjuangan tak perlu menambah kejanggalan mengerikan. Saya sendiri tertawa melihat make-up belang alias kurang rata di wajah Ingrid Widjanarko (perhatikan bab hidung dan verbal sewaktu close-up).
Shareefa Daanish mempunyai aura seram meski sekedar berdiri diam, memamerkan tatapan mata yang seolah sanggup membunuh. Awi menyadari itu, kemudian mengeksploitasinya. Sepertiga paruh selesai "Danur" lebih banyak didominasi diisi adegan Shareefa menatap huruf lain bermodalkan majemuk raut wajah. Film ini bagaikan eksperimen seputar "berapa banyak ekspresi mengerikan yang bisa Shareefa Daanish perlihatkan?" Sang aktris maksimal melakoni tugas itu, tetapi penggunaan berlebih lagi-lagi melunturkan efeknya. Semakin diulangi, semakin keras tawa penonton (termasuk saya) meledak. Sebaliknya, Prilly justru kurang diberi kesempatan unjuk gigi dikala tokoh Risa tidak diberi porsi penggalian berarti. Sepanjang durasi Risa hanya kebingungan, ketakutan, nihil karakterisasi pasti.
"Danur" bukan tergolong horror lokal jelek yang cenderung memancing amarah daripada takut. Digarap sungguh-sungguh, kekecewaan memuncak jawaban potensi besar bahan serta nama-nama yang terlibat di dalamnya. Awi Suryadi tetap salah satu sineas horror tanah air yang berpotensi menyuguhkan inovasi-inovasi. Sebagai contoh, selain sajian klasik macam "Pengabdi Setan", horror mana yang menampilkan teror sewaktu tokoh utamanya tengah solat? ("Pesantren Impian" yakni thriller). Selanjutnya tinggal bagaimana Awi bisa secara sempurna guna memakai kreativitasnya. Saya percaya dan masih akan selalu menantikan karya-karya berikutnya.
Ini Lho Danur (2017)
4/
5
Oleh
news flash