Tuesday, December 4, 2018

Ini Lho Ghost In The Shell (2017)

Diangkat dari manga berjudul sama karya Masamune Shirow, "Ghost in the Shell" berusaha mengundang minat publik lewat dua aspek visual: citra dunia penuh hologram canggih di tiap sudut kota dan Scarlett Johansson. Sejak trailer perdananya dirilis, mata semua orang pribadi tertuju pada "nude" bodysuit yang beliau kenakan, meski banyak pula pihak melontarkan kritikan soal whitewashing di balik pemilihan aktris non-Asia untuk memerankan Major Motoko Kusanagi sang protagonis. Pada karenanya memang ScarJo dan tata visualnya yang menyelamatkan saya dari kebosanan menyaksikan sajian "dingin" nan kosong ini. "Ghost in the Shell" feels like a pretty but empty shell.

Major (Scarlett Johansson) terbangun dan mendapati tubuhnya telah digantikan materi sintetis buatan Dr. Ouelet (Juliette Binoche) dari Hanka Robotics. Walau demikian otaknya masih bertahan, mengakibatkan Major sosok pertama yang mempunyai badan sekuat robot namun pikiran layaknya manusia. Setahun berselang, Major memimpin pasukan anti-terorisme berjulukan Section 9 yang diketuai Daisuke Aramaki (Takeshi Kitano). Kala menjalankan misi memburu kriminal yang berusaha melaksanakan sabotase pada sistem Hanka Robotics, perlahan Major mulai mengetahui misteri di balik ingatan masa lalunya yang hilang. 
Gedung-gedung tinggi berhiaskan gemerlap neon, ramainya orang kemudian lalang memenuhi jalanan kota, langit yang bagai selalu mendung. Berbagai suasana tersebut tentu terasa familiar, alasannya sederet film bernuansa cyberpunk lain telah memberi penggambaran sama. Bedanya, "Ghost in the Shell" memberi sentuhan embel-embel berupa hologram raksasa pengganti papan iklan. Walau urung dimanfaatkan untuk menyelipkan kritik sosial soal masyarakat modern bergelimang teknologi (juga sudah kerap dilakukan film lain), mata tetap akan terhibur oleh pemandangan ganjil itu. Keganjilan memikat serupa hadir pula melalui kemasan tata artistik indoor yang menunjukkan kecanggihan teknologi hingga desain huruf unik, sebutlah sepasukan robot geisha. Jess Hall selaku sinematografer piawai mengatur penempatan objek juga warna hingga lebih banyak didominasi adegan kolam lukisan indah sekaligus absurd dari masa depan.

Sebagaimana telah disinggung, meskipun film ini indah di luar, namun kosong di dalam. Lingkungannya tak punya efek berarti. Selain lezat dilihat, dunianya mengalami krisis identitas. Hal ini kentara di caranya menangani transisi setting dari Jepang. "Ghost in the Shell" tidak gamblang menyatakan detail lokasi, yang mana bukan masalah. Tapi ketimbang total membaurkan setting, filmnya menyerupai modifikasi Jepang setengah matang. Section 9 dipimpin orang Jepang yang selalu bicara Bahasa Jepang. Masa kemudian Major erat kaitannya dengan orang Jepang. Ditambah lagi kemunculan robot Geisha. Ambiguitas lokasi yang baik bakal menciptakan penonton sadar kemiripannya dengan daerah tertentu secara tersirat. "Ghost in the Shell" justru sebaliknya. Tampak terang berada di Jepang, tetapi memaksakan diri menolaknya selaku bentuk kemalasan para penulis naskah mengakali pemilihan cast aktor-aktor Barat (I'm not talking about whitewashing by the way).
Pendekatan naskah garapan Jamie Moss, William Wheeler dan Ehren Kruger terhadap artificial intelligence juga pertanyaan tokoh utama seputar eksistensi pun terlampau dangkal. Makna kemanusiaan serta pencarian Major atas hakikatnya sebagai makhluk hidup berlalu begitu saja, gagal merangkai penceritaan bermakna. Nihil permainan emosi, terasa datar. Semakin "dingin" tatkala sutradara Rupert Sanders meredam gejolak, menciptakan para tokohnya berbicara lirih cenderung datar bagaikan robot di tengah suasana adegan yang lebih banyak didominasi sunyi pula ditemani cahaya temaram. Minim luapan kebahagiaan, kesedihan, amarah, atau bentuk lisan perasaan apapun. Ironis saat "Ghost in the Shell" yang mengajak penonton menyaksikan perjalanan Major mencari sisi kemanusiaan malah berakhir sama dengan robot-robot di dalamnya. Dingin, tanpa hati. Saat filmnya sendiri enggan memanusiakan sang tokoh bagaimana penonton bisa mencicipi itu?

Serupa di "Snow White and the Huntsman" Rupert Sanders kurang bisa merangkai agresi menarik. Tidak peduli berapa sering ia memanfaatkan slow motion, percuma kala intensitas gagal dipacu. Sanders sekedar memalsukan sekuen agresi yang melibatkan Scarlett Johansson sebagai Black Widow kemudian menambahkan gerak lambat selaku langkah klise guna memunculkan cool aspect. Satu-satunya yang Sanders paham yaitu cara memaksimalkan pesona sang aktris. ScarJo memakai bodysuit warna kulit, tank top, bahkan backless di satu momen. Sanders tahu sudut kamera mana yang mampu mengeksploitasi fisik aktrisnya semoga terlihat terang di mata penonton, mulai hero shot kala ia menghajar musuh di genangan air hingga menjatuhkan diri dari puncak gedung. ScarJo sendiri menerangkan ia mumpuni melakoni adegan aksi, meyakinkan sebagai seorang action heroine

Artikel Terkait

Ini Lho Ghost In The Shell (2017)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email