Dilihat dari sampul luarnya, gampang menghakimi "Dear Nathan" sebagai kisah cinta cukup umur dangkal yang sekedar mengandalkan paras rupawan para pemain drama dan baris kalimat sok puitis. Tapi siapa sangka, penyesuaian adaptasi novel berjudul sama karya Erisca Febriani ini merupakan salah satu romansa putih abu-abu paling manis dalam beberapa tahun terakhir. Tidak perlu setting luar negeri megah, wardrobe serba mahal, atau kemewahan-kemewahan lain yang belakangan kerap digunakan film cinta dalam negeri guna membuai penonton biar melupakan setumpuk kelemahannya. "Dear Nathan" sanggup membuai alasannya dua sejoli tokoh utamanya likeable serta believable.
Salma (Amanda Rawles) dan Nathan (Jefri Nichol) pertama bertemu ketika mereka terlambat mengikuti upacara bendera di sekolah. Nathan membantu Salma masuk lewat jalan rahasia, kemudian menghilang. Rupanya Nathan dikenal bandel, hampir tiap hari laga walau satu-satunya yang ia jadikan sasaran pukulan ialah para bully atau preman. Rupanya pertemuan pertama itu eksklusif menciptakan Nathan jatuh hati, dan dibantu oleh Rahma (Diandra Agatha), ia mulai mendekati Salma, yang meski menyimpan perasaan sama, ragu untuk eksklusif mendapatkan cinta Nathan. Tanpa diketahui banyak orang, Nathan sendiri menyimpan duduk kasus terkait masa kemudian tragis keluarganya.
Mengambil setting SMA, "Dear Nathan" menghadirkan pernak-pernik dunia tersebut. Bagus Bramanti dan Gea Rexy paham benar ibarat apa asmara yang pernah dialami secara umum dikuasai orang ketika SMA, kemudian menuangkannya ke naskah dalam dosis tepat. Curi-curi pandang ketika pelajaran olahraga, duduk berdua di sudut belakang sekolah, hingga jadi sentra perhatian sewaktu kali pertama berangkat berboncengan berdua. Memori saya dilemparkan ke masa itu dan dibentuk tersenyum mengingatnya. Sekolah Menengan Atas ialah kawasan cinta monyet penuh romantisme gombal mulai bersemi. "Dear Nathan" sanggup merangkum poin itu sembari menyelipkan keping lain ibarat sobat egois yang gemar mengatur, tata tertib menyebalkan, hingga selintas ukiran siswa akademisi (nan sok suci) dengan mereka yang dianggap nakal.
Nathan mewakili korban prejudice yang dipandang jelek bahkan sampah alasannya menolak mengikuti jalur lurus yang dianggap sesuai kaidah moralitas. Namun di balik tingkah kasar, ada kebaikan yang enggan diperhatikan orang-orang di sekitarnya. Nathan bukan insan penghasil quote "ajaib" macam Dimas Anggara di film-film produksi Screenplay. Daripada berkata-kata mesra, ia eksklusif bertindak untuk hal kecil sekalipun macam membelikan Salma cilok di jam istirahat. Jefri Nichol punya pesona yang bakal memancing jeritan penonton perempuan (dan beberapa pria) tanpa perlu kaku bertutur akhir berusaha tampak keren. Nichol tak coba mendramatisir penuturan kalimatnya. Terdengar manis berkat pelafalan natural, asyik, gampang menggaet simpati penonton bagi Nathan. Bagi para laki-laki emosional, Nathan akan terasa relatable.
Cinta pada Salma ditambah perjuangan mengambil kembali kasih sayang ibu (Ayu Dyah Pasha) mendorong perubahan Nathan. Konsisten dengan perlawanannya terhadap prejudice, film ini tak berniat mengubah Nathan menjadi sosok lain yang oleh konsensus publik dianggap lebih baik ibarat Aldo (Rayn Wijaya) si ketua OSIS berprestasi misal. Serupa yang diungkapkan Salma, Nathan mesti menjadi versi lebih baik dari dirinya sendiri. Tetap easy going namun lebih teratur, pula bersedia memulai babak gres hidup khususnya bersama sang ayah (Surya Saputra). Patut disayangkan, mencapai titik ini penceritaan kurang mulus. Proses perubahan Nathan terkesan mendadak, tidak bertahap. Lubang pun sempat hadir terkait timeline membingungkan suatu adegan. Saya tidak sanggup menuliskan adegan apa, tapi melibatkan momen penting salah satu tokoh.
Daripada orkestra menggelegar, sutradara Indra Gunawan ("Hijrah Cinta") menentukan lagu-lagu pop ringan guna menemani perjalanan cinta Nathan dan Salma. Pilihan tepat, alasannya momen-momen mereka berdua terasa manis tanpa harus didramatisasi berlebihan (penyakit banyak romansa Indonesia). Balutan komedi segar hasil interaksi malu-malu kucing dua cukup umur sukses pula hidupkan suasana. Amanda Rawles berjasa di sini, dengan baik menangani kecanggungan dan salah tingkahnya Salma yang efektif memancing senyum. Ditutup oleh kebahagiaan manis di bawah guyuran hujan, lengkaplah "Dear Nathan", romantika cukup umur dengan pemfokusan pada penokohan, suatu hal yang sekarang semakin jarang ditemui tatkala puisi-puisi hampa nihil rasa jadi andalan.
Ini Lho Dear Nathan (2017)
4/
5
Oleh
news flash