Wednesday, December 5, 2018

Ini Lho Doctor Strange (2016)

Bisakah Marvel gagal? Setelah Marvel Cinematic Universe (MCU) bergulir selama delapan tahun pertanyaan tersebut kerap menghiasi benak publik. Beberapa film memang di bawah ekspektasi ("Avengers: Age of Ultron", "Iron Man 3")  tapi tak ada satupun layak disebut buruk  even their weakest which is "Thor: The Dark World" isn't entirely a bad movie. Bahkan kini mereka melanjutkan pencapaian "Guardians of the Galaxy" hingga "Ant-Man", lewat perjudian berjudul "Doctor Strange" yang membawa penonton mengeksplorasi sisi gaib MCU dalam sebuah gelaran petualangan psychedelic yang akan membuat anda terperangah sembari berujar "What the hell am I watching?!".

Benedict Cumberbatch berperan sebagai Stephen Strange, spesialis bedah jenius penuh kepercayaan diri cenderung arogan. Berkat kejeniusan tersebut, tak jarang Strange membuat "keajaiban", menyelamatkan nyawa pasien yang hampir tidak mungkin sanggup diselamatkan. Namun ketika kecelakaan kemudian lintas membuat kedua tangannya terluka parah, giliran Strange mencari keajaiban di Kamar-Taj (Nepal), daerah Ancient One (Tilda Swinton) yang konon sanggup menyembuhkan penyakit apapun tinggal. Alih-alih mendapatkan pengobatan, Ancient One justru mengenalkan Strange pada dunia sihir yang tak pernah ia bayangkan, sekaligus mempersiapkannya menghadapi pertarungan melawan Kaecilius (Mads Mikkelsen), mantan murid Ancient One yang membelot ke jalan kegelapan.
Rasa skeptis mengenai penunjukkan Scott Derrickson yang lebih dikenal lewat suguhan macam "The Exorcism of Emily Rose" dan "Sinister" seketika sirna kala mendapati sentuhan horror sang sutradara tetap muncul sedari opening sequence berisi adegan pemenggalan. Walau implisit, pemandangan itu jadi mencengangkan mengingat track record Marvel selama ini. Derrickson mendorong batas rating PG-13 sejauh mungkin, menyajikan sejumlah (meski tidak banyak) kekerasan berdarah pula kematian. Gaya Derrickson juga turut berjasa menghantarkan poin positif terbesar film ini, yaitu keganjilan visual yang bakal membuat adegan subatomic pada "Ant-Man" tampak normal.

Momen tatkala Ancient One memperkenalkan Strange  dan penonton  pada sisi lain semesta tak diragukan lagi merupakan one of the weirdest sequence I've ever seen in blockbuster cinema. Terhampar pemandangan psychedelic seolah kita gres saja mengkonsumsi mushroom atau LSD. Balutan CGI-nya impresif, tapi visi Derrickson-lah yang jadi kunci kesuksesan. Insting horror sang sutradara bisa membuat creepy surreal imageries bagaikan mimpi jelek absurd. Di luar sequence tersebut, kreatifitas Derrickson beserta segenap tim artistik pun tetap bersinar dalam membangun adegan agresi yang meski minim ledakan nyatanya amat menghibur. Perubahan struktur kota, abjad berpindah daerah hingga memutarbalikkan waktu memunculkan rasa outta-this-world yang turut jadi bukti jikalau para pengkarya bakal selalu menemukan hal gres apabila bersedia memaksimalkan kepekaan artistik mereka.
Naskah garapan Scott Derrickson dan C. Robert Cargill sayangnya menyimpan permasalahan. Pergerakan alurnya datar, seolah dituturkan selaku obligasi belaka, sekedar berpindah dari satu titik menuju titik berikutnya tanpa memperhatikan dinamika pergolakan konflik. Rasanya datar, mini daya cengkeram apalagi guratan emosional. Konsep rumitnya pun dipaparkan ala kadarnya, terasa lemah akhir ketidakjelasan "aturan" mengenai hal-hal menyerupai astral (tubuh astral menembus tembok namun bisa menyentuh barang lain), transportasi (orang-orang nampak tak terkejut melihat karakternya mendadak muncul), dan lain sebagainya. 

Benedict Cumberbatch memimpin jajaran ensemble cast-nya, memikat hati bersenjatakan kemampuannya memainkan komedi fisik maupun verbal. Meyakinkan pula menangani transformasi Strange dari jenius angkuh menjadi lebih bijak. Kesuksesan ini turut dibantu oleh solidnya karakterisasi, memudahkan penonton memahami tiap motivasi yang melandasi tindakan atau perubahan sikapnya. Jika selama ini MCU mempunyai dua kutub pada diri Steve Rogers dan Tony Stark, saya bisa membayangkan Stephen Strange selaku sosok penengah yang sama kuatnya. Chiwetel Ejiofor, Tilda Swinton, Rachel McAdams serta Mads Mikkelsen tampil semaksimal mungkin walau penulisan abjad mereka agak lemah. 

Beberapa kekurangan di atas tentu mengganggu, tapi di ketika bersamaan bisa dimaafkan alasannya yakni film ini sendiri enggan menganggap dirinya terlampau serius. This is Marvel at their best game: having fun! Klimaks yang nihil pertempuran berskala besar pun sanggup diterima lantaran alasan tersebut, bahkan mencuatkan kekaguman akan kemampuan  plus keberanian  Marvel menyulap situasi sederhana (serupa tarian Star Lord di "Guardians of the Galaxy") menjadi puncak menghibur nan kreatif. Komedinya bekerja dengan baik, sesekali menyegarkan suasana tanpa perlu mendistraksi. Sungguh memukau bagaimana Derrickson berhasil menyeimbangkan tone berlawanan berupa horror dan drama kelam soal maut dengan komedi. Jadi, bisakah Marvel gagal? Bisa, tapi terang bukan sekarang, lantaran "Doctor Strange" justru salah satu installment terbaik MCU sejauh ini. 

Artikel Terkait

Ini Lho Doctor Strange (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email