Wednesday, December 5, 2018

Ini Lho Moana (2016)

Saya tahu sedang menyaksikan suatu tontonan Istimewa dikala durasi gres bergulir selama 10 menit dan air mata telah mengalir deras, bukan disebabkan kesedihan melainkan rasa haru mendapati keindahan yang mendiamkan semua kata-kata, meniadakan ekspresi verbal. Sederhananya: magis. "Moana", selaku animasi ke-56 Disney mampu melaksanakan itu melalui adegan sederhana ketika sang titular character berjalan di bibir pantai, dipilih oleh bahari untuk menjadi penyelamat kebajikan dunia. Diiringi lagu "An Innocent Warrior" milik Opetaia Foa'i, visual cantik, serta sensitivitas rasa penyutradaraan John Musker dan Ron Clements, momen tersebut menggambarkan perjalanan yang akan penonton arungi.

Ber-setting di pulau kawasan sebuah suku Polinesia bermukim, "Moana" dibuka dengan dongeng mengenai demigod bernama Maui (Dwayne Johnson) yang mengambil jantung Te Fiti, dewi berwujud pulau yang membuatkan kehidupan di seluruh dunia. Akibatnya tercipta kutukan yang menebarkan kejahatan. Moana (Auli'i Cravalho) terpikat oleh kisah tersebut, berambisi mengarungi samudera dikala sampaumur nanti. Tapi sang ayah sekaligus kepala suku (Temuera Morrison) melarangnya, menganggap bahari lepas terlalu berbahaya dan Moana harus berfokus pada kesejahteraan rakyat mengingat kelak ia akan mewarisi gelar kepala suku. 
Disney di kala modern telah bertransformasi, mengedepankan sosok puteri yang kuat, mandiri, tidak memerlukan kehadiran prince charming untuk melengkapi hidupnya. Maka tak heran sewaktu sumber daya alam pulaunya mulai menipis akhir kegelapan yang semakin menggelayuti, Moana nekat sendirian  berdua kalau menghitung Heihei si ayam yang menjadi scene stealer berkat tingkah bodohnya  mengarungi bahari guna mencari Maui semoga sang demigod bersedia membantu mengembalikan jantung Te Fiti. Bersanding dengan insan setengah dewa, Moana tidak inferior, bahkan kerap lebih unggul. Salah satu obrolan pun menyatakan keengganan Moana disebut "puteri", kolam coba menjauh dari karakteristik Disney princess masa kemudian yang dituding seksis. 

Tuturan dongeng pada naskah karya Jared Bush tampak sederhana di permukaan, tipikal perjuangan pembuktian diri abjad utama. Namun kaya akan sentuhan budaya suku Polinesia yang mewarnai jalannya penceritaan, juga subteks berisi korelasi insan dengan alam. Suku kawasan asal Moana hidup bergantung dari sumber alam dan ketika mother nature murka akhir jantungnya dicuri, mereka pun kelabakan (serupa dunia nyata). Sementara dalam perjalanannya, Moana sering menerima proteksi alam di aneka macam wujud, sebutlah lautan atau salah seorang sosok tercinta yang hadir dalam bentuk lain, membantu Moana memecahkan duduk masalah hatinya. Timbul kekurangan tentang nihilnya klarifikasi sejauh apa bahari bersedia membantu Moana. Pertanyaan ini mengganggu khususnya di klimaks, tapi tak seberapa melukai keseluruhan film.
Selain penuh makna, petualangan Moana dan Maui teramat menghibur berkat sumbangsih banyak aspek. Gelaran agresi memunculkan keseruan yang tak kalah dibanding live action blockbuster dengan pertempuran Moana dan Maui melawan Te Ka si monster lava sebagai puncak. Adegan yang melibatkan Kakamora, para bajak bahari batok kelapa pun tak kalah menghentak dibanding sequence dari "Mad Max: Fury Road" (adegan ini merupakan homage bagi film tersebut). Humornya pintar, efektif memancing tawa lewat tukar barang obrolan dua tokoh utama maupun aneka macam polah Heihei. Berbekal semua itu, tercipta keseimbangan antara kisah mendalam berperasaan dengan hiburan menyenangkan.

Visual luar biasa memikat, baik tatkala mengemas keindahan panorama alam atau masifnya dua adegan agresi di atas. Deretan musiknya tepat mewakili guratan emosi, entah balada melankolis sampai nomor upbeat menggelora. John Musker dan Ron Clements memaksimalkan dua aspek tersebut, meramunya dengan kreatifitas tinggi, menghindarkan kesan klise melalui sinergi yang unik. Tengok musikal beriringkan "Where You Are" yang bertempo cepat, penuh canda tawa karakter, plus keceriaan visual namun menyimpan ironi mengingat konteksnya sebagai perjuangan menghalangi mimpi Moana menemukan luasnya dunia. Atau bagaimana "Shniny" selaku pop berlirik menggelitik disandingkan dengan momen intens sewaktu Maui kerepotan menghadapi Tamatoa (Jemaine Clement) si kepiting raksasa. John Musker dan Ron Clements merangkum musik, visual dan dongeng penuh mitologi sebagai satu kesatuan utuh, dan berkat sensibilitas keduanya saya dibentuk memahami menyerupai apa rasanya melihat keajaiban secara nyata. "Moana" yaitu keajaiban yang memantapkan masa renaissance kedua Disney. 

Artikel Terkait

Ini Lho Moana (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email