Kenapa kisah cinta ini asu? Kenapa pula disebut bukan kisah cinta? Praktis saja. Karena memang kisahnya asu, dan tiada cinta di dalamnya. Siapa yang akan menyebut kekerabatan antara Erik King (Yosep Anggi Noen) dengan kedua kekasihnya, Ning (Astri Kusuma Wardani) dan Martha (Mila Rosinta Totoatmojo). Erik King yaitu anggota geng motor RX King. Begitu sayangnya Erik dengan motor itu, bahkan rela ia membeli sebuah knalpot besar, padahal perekonomiannya sendiri jauh dari cukup. Dia tinggal menumpang di rumah kekasihnya, makan pun selalu mereka yang membayar. Tidak pernah sekalipun tampak Erik memperlihatkan rasa cinta pada keduanya. Dia menikmati kekerabatan seks, dan hanya itu interaksi yang rutin kita saksikan. Hanya nafsu dan perjuangan memanfaatkan. Tidak ada cinta, dan memang jalinan kisah yang asu.
Penokohannya terang memperlihatkan bahwa Erik memuja maskulinitas. Dia ingin tampak macho. Karena itulah kebut-kebutan di atas motor jadi rutinitas. Mungkin itu pula yang melandasi hasratnya mempunyai dua orang kekasih. Tapi maskulinitas tampak luar itu bukan perlambang kekuatan hakiki, itu yang coba Yosep Anggi Noen paparkan lewat film pendeknya yang sempat diputar di Busan International Film Festival awal bulan Oktober. Penonton pun akan gampang menyetujui pernyataan tersebut, sebab pada kenyataannya Erik bukanlah siapa-siapa. Bahkan memenuhi kebutuhannya pun tak mampu. Berlainan dengan kedua kekasihnya yang sesama pekerja seks komersial. Praktis untuk membenci Erik, gampang mengumpat asu pada sosoknya, gampang pula bersimpati pada Ning dan Martha.
Meski sesama prostitusi, "strata" Ning dan Martha amatlah berbeda. Ning bisa dibilang pekerja seks kelas bawah. Dia melayani pelanggan di hotel murahan sambil sesekali menjadi pencatat skor di kawasan bilyard. Bahkan di kawasan bilyard itu pun tidak jarang Ning menerima perlakuan tak mengenakkan. Mulai dari sekedar digoda, hingga sentuhan-sentuhan fisik. Tapi Ning yaitu huruf besar lengan berkuasa yang sesunggunya, bukan Erik. Dia tetap besar lengan berkuasa dan secara tegas mengkonfrontasi laki-laki hidung belang yang bertindak kurang ajar. Bahkan dalam sebuah kesempatan ia bisa mengambil kontrol pelanggannya. Sesuatu yang ia sebut sebagai "strategi marketing". Sedangkan Martha yaitu prostitusi kelas atas yang melayani pelanggan di hotel mewah. Dia pun memperlihatkan layanan lebih dengan bersedia menggunakan kostum (seragam sekolah, pramugari, bahkan tarzan) sesuai permintaan. Tentu perlakuan tidak menyenangkan juga sering ia terima.
"Love Story Not" is not a melodrama. Ning dan Martha sama-sama menjalani kehidupan keras, sama pula bernasib sial berpacaran dengan Erik. Kesedihan niscaya menghampiri tapi tatapan penuh keyakinan serta tawa senang menikmati situasi lebih sering kita saksikan. Yosep Anggi Noen ingin berfokus pada kekuatan sosok wanita. Meski identik dengan kelamahan (karena itu pula banyak laki-laki seenaknya menggoda), justru terdapat kekuatan melebihi laki-laki dalam diri mereka. Kesan itu pula yang saya rasakan selama menonton Kisah Cinta yang Asu. Sebuah drama perihal perjuangan unjuk kekuatan lewat pemujaan banyak sekali simbol maskulinitas bersanding dengan feminitas yang menyimpan kekuatan namun tanpa pernah berusaha dipamerkan secara berlebih.
Yosep Anggi Noen pun tidak ingin memaksa penonton bersimpati atau membenci huruf tertentu. Dia berusaha menggunakan cara yang lebih "elegan" dan alamiah. Dibiarkan penonton melaksanakan observasi keseharian Ning dan Martha. Film berjalan tanpa narasi lurus, melainkan melompat dari satu momentum menuju momentum lain dalam hidup mereka. Kita dipersilahkan menilai sendiri dan perasaan apa yang kita rasakan pada kesannya pun bukan hasil paksaan, melainkan respon alamiah terhadap situasi yang teramati. Bahkan tidak ada adegan eksplisit ketika Ning dan Martha melampiaskan kesedihan mereka. Hampir tak pernah pula ada konfrontasi pribadi kekesalan keduanya pada Erik kecuali ketika Martha berucap "koe ncen asu Rik" sewaktu kostum tarzan miliknya digunakan untuk lap motor.
Saya menyukai cara bertutur semacam itu. Mengedepankan observasi, juga bertopang besar lengan berkuasa pada realisme minim dramatisasi. Namun saya turut menyayangkan lompatan momentum yang seringkai terlalu "liar". Tanpa fokus lebih kebingungan akan hadir, dan durasi sekitar 40 menit belum cukup untuk mengakomodir segala lompatan berkesan acak tersebut. Justru sebaliknya, keliaran dalam pengadeganan nyaris tidak ada. Tentu ada beberapa momen yang bersinggungan dengan seksualitas, tapi masih terkesan "halus". Bahkan adegan Erik dan Martha berciuman pun dipotong sebelum terjadi. Bukan berarti eksplisitas seksual, minuman keras dimana-mana atau asap rokok yang terus mengepul merupakan keharusan, namun film ini membutuhkan suntikan lebih dari beberapa aspek tersebut sebagai penguat atmosfer. Tapi duduk perkara "kurang gila/liar" itu bukan problema besar. Kisah Cinta yang Asu tetap merupakan "surat cinta" anggun yang dibentuk seorang laki-laki kepada perempuan sebagai objek cerita.
Ini Lho Dongeng Cinta Yang Asu / Love Story Not (2015)
4/
5
Oleh
news flash