Thursday, December 13, 2018

Ini Lho The Fox Exploits The Tiger's Might (2015)

Seksualitas dan kekuasaan nampak menyerupai dua hal tak berkaitan, tapi bergotong-royong amat bersinggungan. Siapa lebih berkuasa, ia akan memegang kendali termasuk dalam seks. Sekilas begitulah tema dari film pendek terbaru karya Lucky Kuswandi yang pada bulan Mei kemudian telah diputar pada kegiatan "Critic's Week" dalam ajang Cannes Film Festival. Begitu banyak adegan penuh libido mulai dari masturbasi hingga aktifitas seksual lain dalam film ini. Namun yang membuat filmnya begitu memukau ialah bagaimana Lucky Kuswandi sungguh-sungguh memperhatikan detail sebagai penguat kisah. Setting waktu dan tempat, latar belakang ras serta status ekonomi karakter, hingga makna tiap pengadeganan semua bersinergi membuat satu kesatuan yang saling menguatkan. Cerita pun menjadi berpengaruh dan utuh.

Kisahnya terjadi pada kala orde gres yang mana terlihat dari penggunaan uang lima puluh ribu bergambar Soeharto. Salah satu tokoh utamanya ialah Aseng, bocah Sekolah Menengah Pertama beretnis Tionghoa. Ibu Aseng membuka warung tembakau sekaligus menjual minuman keras, dan tentu saja kesehariannya banyak diisi dengan membantu perjuangan tersebut menyerupai mengambil stok minuman keras. Perkenalan pertama penonton dengan Aseng ialah ketika ia tengah masturbasi di gudang minuman, sebelum "diganggu" oleh kehadiran Aling, sang abang yang hendak mengambil botol minuman. Tentu saja pemandangan itu begitu wajar, lantaran Aseng ialah cukup umur awal yang gres saja mulai berkenalan dengan libido hasil masa puber. Hal yang terasa "tidak wajar" ialah dikala kita tahu Aseng bersahabat dengan David. 
Aneh, lantaran David ialah seorang etnis Jawa, sekaligus putera seorang pejabat militer berpangkat tinggi. Pada kala orde gres dimana militer begitu berkuasa, bukan pemandangan aneh dikala ibunda Aseng memperlihatkan "salam tempel" kepada salah satu asisten ayah David. Tentu saja itu perlu demi menjaga keberlangsungan bisnisnya. Tapi pada masa itu juga etnis Tionghoa kurang mendapat perlakuan baik. Maka cukup aneh dikala anak pejabat militer (pemegang kekuasaan) berkawan dekat dengan bocah Tionghoa (kalangan tertindas). Bahkan di beberapa kesempatan kita melihat David mengejek logat Aseng. Kegiatan keduanya pun tidak jauh-jauh dari libido. Begitu tiba di rumah Aseng, David eksklusif terangsang melihat Aling yang tengah mencuci baju sambi berpakaian minim. Dia pun masturbasi. Lalu dikala giliran Aseng yang berkunjung ke rumah David, mereka pun masturbasi bersama sambil berkhayal menyetubuhi Eva Arnaz. 

Lucky Kuswandi hampir tidak pernah melewatkan satu momen pun dalam film ini tanpa adegan seksual, bahkan meski sekedar memperlihatkan sexual innuendo macam kehadiran sebuah pistol (atau tangan membentuk pistol). Lucky memperlihatkan cara bagaimana memaksimalkan seks sebagai alat bertutur. Seks menjadi sarana pembangun intensitas, juga humor. Secara bersamaan kita dibentuk menahan nafas namun juga tertawa menyerupai dikala Aling diminta berakting ketakutan oleh pacarnya, atau dikala Aseng dan David "berebut" Eva Arnaz. Bukan cuma itu, seks juga mempunyai peranan penting sebagai penghantar pesan dalam cerita. Setiap aktifitasnya berkaitan dengan kekuasaan. Aling patuh terhadap banyak sekali tuntutan sang pacar. Begitu pula dikala David memaksa bahwa ia yang berhak "mendapatkan" Eva, bukan Aseng. Begitu pula yang terjadi dikala asisten ayah David yang diperankan Surya Saputra mulai meraba-raba ibu Aseng. Tentu yang bisa menghentikan insiden tersebut hanyalah sang atasan: David. Siapa berkuasa dan punya kekuatan, ialah sang pemegang kontrol.
Mungkin ada penonton yang terangsang, ada yang jijik, dan segala bentuk respon lain. Tapi satu hal pasti, bahwa kentalnya seksualitas film ini bukan semata-mata gimmick, melainkan aspek esensial bagi narasi. Hingga kesannya film ditutup lewat konklusi memuaskan (masih mengenai kekuasaan dan seksualitas) yang memberi kaitan antara kisah dengan judul unik film ini. Judulnya ialah peribahasa Tionghoa yang bila dalam bahasa setempat disebut Hu Jia Hu Wei. Kisah dibalik peribahasa tersebut ialah wacana seekor rubah yang menantang harimau dengan berkata bahwa ia berani lantaran dirinya merupakan binatang paling ditakuti di desa. Merasa tidak percaya, harimau pun diajak oleh sang rubah mendatangi desa itu. Sontak seluruh warga desa takut melihat sang harimau, namun harimau terlanjur percaya bahwa ketakutan itu disebabkan oleh rubah. Rubah yang seharusnya merupakan mangsa itu telah memakai kekuatan sang harimau sendiri untuk mendapat kuasa. 

The Fox Exploits the Tiger's Might adalah teladan bagaimana satu aspek bisa dimanfaatkan untuk menjangkau banyak sekali macam tema. Sebuah teladan pula disaat pengamatan mendalam kepada detail menyeluruh bisa menguatkan pondasi cerita. Durasi tidak hingga 30 menit pun menjadi begitu intens serta kaya. Lucky Kuswandi telah memperlihatkan kekuatannya, dan film ini pun layaknya penguasa itu sendiri dengan saya sebagai penonton rela-rela saja untuk tunduk akan kuasanya.

Artikel Terkait

Ini Lho The Fox Exploits The Tiger's Might (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email