At this point, anything is possible in "The Fast and the Furious" franchise. Menghidupkan lagi yang telah mati, tokoh yang semula lawan menjadi kawan, gelaran agresi over-the-top. This is the "Dragon Ball" of Hollywood moviemaking. Tapi suka atau tidak, metode tersebut nyatanya ampuh menjaga laju hingga ke installment kedelapan, di mana mirip telah diungkap trailer-nya, tersusun atas pengkhianatan Dominic Toretto (Vin Diesel) terhadap keluarganya serta Deckard Shaw (Jason Statham) berpindah ke kubu protagonis. Walau belum bergerak ke luar angkasa sebagaimana guyonan (dan harapan) penggemar, The Fate of the Furious tetap mempunyai kegilaan agresi tak terbayangkan pula salah satu yang terbaik di serinya.
Istilah "pensiun dan hidup tenang" terasa semu bagi abjad franchise ini, lantaran begitu kehidupan normal dijalani, rintangan gres selalu menghadang lagi. Dom dan Letty (Michelle Rodriguez) tengah berbulan madu di Kuba sebelum cyber-terrorist bernama Cipher (Charlize Theron) memaksa Dom bekerja sama dan mengkhianati keluarganya. Frank alias Mr. Nobody (Kurt Russell) pun mengumpulkan para kru kembali kali ini dengan embel-embel Deckard. Mereka harus menghadapi lawan terberat berupa kombinasi kecanggihan teknologi Cipher dan Dom, sang Alpha Male yang dahulu menyatukan mereka sebagai keluarga.
Pasca banting setir dari film balapan ke arah heist di Fast Five, perkenalan God's Eye di Furious 7 ibarat membuka jalan The Fate of the Furious melangkah ke jalur lain yakni espionage penuh teknologi canggih. Dari modus operandi Cipher yang mengutamakan peretasan sistem dan kontrol jarak jauh hingga cara Dom mengakali si lawan di tamat (sedikit) menambah warna gres sesudah langgar otot film-film pendahulunya. Namun selaku obligasi, filmnya tetap menyelipkan balap kendaraan beroda empat di adegan pembuka yang turut berperan memberi tribute subtil bagi Brian O'Conner (Paul Walker).
Alasan banyak pihak berpikir suatu ketika franchise ini bakal membawa latar ke luar angkasa didorong perkiraan sulitnya melebihi kegilaan film sebelumnya. Tapi fakta berkata lain. Pencurian brankas (Fast Five), pendaratan Dom di atas kendaraan beroda empat (Fast & Furious 6), penerjunan kendaraan beroda empat dari pesawat hingga menyeberangi Burj Khalifa (Furious 7) mengambarkan kreativitas pembuatnya tidak pernah luntur. Menengok materi promosinya, kemunculan kapal selam yaitu sajian terbesar. Walau momen itu daya cengkeramnya tak diragukan, gelaran di New York lebih luar biasa. Jika titik puncak saat kapal selam mengintai dari bawah es bagai versi bombastis Jaws (lengkap dengan quote "we're gonna need a bigger truck), set piece aksi di New York kolam diambil dari film berisi zombie yang berlari cepat.
Sutradara F. Gary Gray (The Italian Job, Law Abiding Citizen, Straight Outta Compton) sukses mengkreasi bukan hanya car chase terbaik dalam seri ini, pula salah satu yang paling memukau di antara adegan serupa sepanjang masa. Ratusan kendaraan beroda empat tumpah ruah di jalanan padat New York, menghasilkan kekacauan massal dengan sinkronisasi rumit. Di sini, aksinya naik tingkat dari stunt berlebihan melanggar hukum gravitasi menjadi pekan raya kreativitas yang juga berlebihan dan gila.
Keunggulan lain terletak pada perkelahian tangan kosong, apalagi kala Luke Hobbs (Dwayne Johnson) dan Deckard terlibat. Keduanya mengandalkan gaya berbeda. Perawakan besar Johnson membuatnya meyakinkan sebagai monster brutal yang mampu menghempaskan tiga orang sekali pukul. Sementara Statham mengembalikan ingatan penonton pada kejayaan The Transpoter lewat koreografi agresi teknikal di mana ia bergerak lincah melancarkan pukulan mematikan atau memainkan pistol. Sayangnya camerawork Stephen F. Windon kurang cakap menangkap formasi perkelahian lantaran penempatannya terlalu bersahabat dari objek, menyulitkan penonton melihat secara jelas.
Statham dan Johnson sendiri merupakan penampil paling menarik berkat love/hate bromance relationship renyah berbentuk saling ejek dan ancam pengundang tawa. Performa Statham menyegarkan, salah satu hasil terbaiknya, mengingatkan pada peran-peran komedik di awal karir (Lock, Stock and Two Smoking Barrels, Snatch) meski alasan perubahan perilaku dari sosok keji di Furious 7 sejatinya kurang masuk akal. Adegan di atas pesawat memperlihatkan kepiawaian sang bintang film menyeimbangkan kegarangan serta kelucuan. Roman (Tyrese Gibson) mirip biasa masih badut dalam kelompok, sedangkan Charlize Theron berbekal karisma miliknya gampang saja melakoni tugas antagonis yang sekedar mengharuskannya melafalkan kalimat kolam penjahat berdarah dingin.
Kelemahan terbesar The Fate of the Furious adalah naskah karya Chris Morgan yang urung meninggalkan daya tarik sewaktu ledakan atau kebut-kebutan mangkir menghiasi layar. Dialog cheesy, ketiadaan emosi juga intrik memikat jadi penyebab. Plot dibangun menurut kebetulan dan pengaitan paksa antar poin-poin demi memudahkan pergerakan cerita. The Fate of the Furious tak ubahnya b-movie berbiaya raksasa. Namun mengkritisi semua itu dari bagaikan tiba ke restoran cepat saji kemudian mengeluh bahwa makanan di sana tidak sehat. Bersantai dan nikmatilah rentetan presentasi over-the-top yang sesuai dengan fungsi serta tujuan. Bukan saja seputar aksi, pula kisah kebersamaan keluarga mirip ditampilkan demikian dramatis oleh momen di penghujung film kala Dom terjebak di antara ledakan dahsyat. Pastinya formula tersebut mampu menjaga bahkan menambah nafas franchise-nya untuk tahun-tahun mendatang.
Ini Lho The Fate Of The Furious (2017)
4/
5
Oleh
news flash