Serahkan pada Xavier Dolan untuk menghasilkan karya unik yang bersedia membaurkan visual vibrant dan musik pop dalam tuturan arthouse yang walau tidak wajib tapi identik dengan kesunyian atau kemasan sederhana. Tengok Mommy yang bersama aspek rasio 1:1 miliknya ikut memasukkan lagu-lagu familiar macam Wonderwall, Born to Die, Counting Stars hingga White Flag. It's Only the End of the World selaku pembiasaan pertunjukan teater berjudul sama karya Jean-Luc Lagarce pun serupa, bahkan tak jarang di antara monolog-monolog panjang kental teriakan karakter, filmnya menyerupai extended music video. Sedap dipandang, dinamis, meski soal substansi patut dipertanyakan.
Louis (Gaspard Ulliel), laki-laki gay 34 tahun dengan profesi sebagai penulis naskah teater memutuskan pulang ke rumah, menemui keluarganya sesudah 12 tahun. Bukan semata-mata rindu, Louis punya intensi lain, mengabarkan umurnya yang tak lagi panjang akhir penyakit (detailnya tidak dijabarkan). Sang ibu (Nathalie Baye) antusias menyambut kepulangan puteranya, pun Suzanne (Lea Seydoux), si adik yang mengenal Louis hanya dari dongeng atau artikel koran. Terjadi pula pertemuan perdana Louis dengan Catherine (Marion Cotillard), istri kakaknya, Antoine (Vincent Cassel) yang selalu mengantagonisasi semua orang lewat komentar pedas.
Pasca adegan pembuka berhiaskan quick cuts, gambar kontras didominasi warna biru juga iringan Home is Where It Hurts-nya Camille yang bertempo upbeat, keliaran Dolan enggan meluntur, eksklusif menyambungnya dengan berondongan kalimat cepat nan acak yang terasa melelahkan ketimbang rancak. Penonton seketika dihadang oleh sambutan keempat keluarga tokoh utama yang terasa abnormal lantaran mereka begitu cerewet, kolam tak bisa stop bicara, berteriak, mengomeli satu sama lain. Mungkin anda bakal menanggapinya menyerupai Louis yang lebih banyak membisu dan bicara seperlunya serupa dua hingga tiga patah kalimat dalam kartu pos yang ia kirim tiap ada anggota keluarga berulang tahun.
Dolan mempertahankan penggambaran Lagarce atas keluarga disfungsional melalui pertukaran kata luar biasa canggung di mana para tokoh sering mengkoreksi grammar sendiri, seolah resah bagaimana bersikap di depan Louis, sang "stranger in the family". Catherine selalu ragu dan meminta maaf, juga Suzanne yang rahasia mengagumi Louis, sementara bagi Antoine apapun konteks pembicaraan niscaya salah di matanya. Timpal-menimpalinya terdengar aneh, menjadikan pertanyaan, "Mengapa tiap kalimat direspon negatif oleh lawan bicara? Kenapa tiap situasi berujung bentak-membentak?" Wajar, lantaran paruh kedua dari sumber adaptasinya abstrak, terdiri atas monolog demi monolog tanpa lawan bicara jelas.
Dari situ kekacauan keluarga bisa dijelaskan, ketidaknyamanan Louis yang mungkin memicu kepergiannya dulu tersiratkan. Louis memang terlihat berbeda. Ketika keluarganya seolah terbiasa akan kondisi tersebut, sanggup seketika berubah dari saling hardik jadi mengobrol santai sembari tersenyum. Rasanya semua ialah bab keseharian. It's Only the End of the World pun bergerak dari nostalgia menuju masa kemudian (asal muasal hidup) karakternya sebelum final hidup (akhir hidup) menjemput menjadi drama kegagalan seseorang menemukan kawasan dalam keluarga.
Kembali ke pernyataan di paragraf awal, Xavier Dolan sekali lagi memastikan sampul filmnya akrab bagi penonton awam meski kontennya tidak demikian. Di sela-sela riuh rendah saling serang tanpa ujung, unik mendapati I Miss You-nya Blink 182 sayup-sayup diputar dan Dragostea Din Tei milik O-Zone mengiringi gerak aerobik asal Martine dan Suzanne. Adakah signifikansi? Selain nostalgia yang mana dilakukan protagonis, terang tidak. Serupa pula sempilan flashback-nya. Pemakaian slow-motion dan sinematografi garapan Andre Turpin memastikannya terlihat artistik tapi dari sisi kontekstual, fungsinya sekedar memberi informasi tambahan, bukan penguat penokohan. Kita tahu niscaya siapa mantan pacar Louis hingga aktivitas keluarganya tiap Minggu pagi, namun tidak wacana detail hubungan atau motivasi niscaya kepergian Louis yang sejatinya sanggup memancing emosi penonton.
Mengesampingkan sederet penyesuaian ke layar lebar, Dolan setia pada naskah Lagarce. Bahkan pengadeganan film ini tak ubahnya pertunjukkan teater di mana festival utamanya ialah akting bersenjatakan kata-kata, serta abjad yang bergerak keluar-masuk frame (panggung). Kesetiaan itu berujung pisau bermata dua tatkala arah tidak menentu. Sebagai paparan realis filmnya terlampau aneh, terlebih titik puncak yang bagai final dunia (musik mencekam, warna jingga menyala seolah matahari mendekati Bumi) disusul simbolisme burung di ending. Tetapi sebagai presentasi absurd, pembiasaan Dolan amat menyederhanakan surealisme naskah Jean-Luc Lagarce kemudian mengedepankan melodrama.
Salah satu keputusan terbaik Dolan terkait memindahkan media panggung ke film yaitu pemanfaatan close-up, dengan begitu akting memukau terlebih ekspresi ensemble cast-nya sanggup tertangkap sempurna. Gaspard Ulliel memperagakan gejolak dalam hati yang berusaha ditekan, ditutupi dengan senyum simpul dan kediaman. Lea Seydoux meragu, bagai burung dalam kandang terbuka yang berhasrat terbang tapi malu-malu. Marion Cotillard terbata-bata, berulang kali minta maaf, memancarkan kegamangan dari tatapan mata. Nathalie Baye penuh energi tanpa kehilangan kasih sayang hangat seorang ibu yang ia tumpahkan kala dibutuhkan. Vincent Cassel sekilas merupakan sosok terkuat, meluap-luap, gemar "memangsa" lawan bicara dan menyudutkan mereka, namun kerapuhan sosok laki-laki yang disalahartikan dan tidak tahu cara membenarkannya amat kentara.
Ini Lho It's Only The End Of The World (2016)
4/
5
Oleh
news flash