Thursday, December 13, 2018

Ini Lho Goosebumps (2015)

Perkenalan saya dengan Goosebumps karya R.L. Stine ialah semasa duduk di kursi sekolah dasar. Judul pertama yang saya baca ialah "Kamar Hantu" atau "Don't Go to Sleep!" dalam versi Bahasa Inggris. Saya teringat sampulnya yang didominasi warna ungu, dengan gambar sebuah gigantic monster claw yang siap menerkam seorang bocah di kamarnya. Ketika itu saya membacanya di sore hari dalam suasana ruangan sepi dan remang-remang. Rasa takut begitu mencengkeram, tapi entah mengapa tidak ingin rasanya berhenti membaca. Setelah perkenalan berkesan itu saya pun mengoleksi cukup banyak buku Goosebumps, mulai dari serial aslinya, seri Give Yourself Goosebumps, hingga Series 2000. Mungkin Goosebumps terlalu campy bagi pembaca dewasa, tapi bagi anak-anak, ketakutan yang membuat enggan terlelap di malam hari selalu terasa.

Maka saya cukup kecewa ketika mengetahui film pembiasaan Goosebumps akan lebih kental unsur adventure-comedy daripada horror. Semakin jelek ketika kerja sama sutradara Rob Letterman dan bintang film Jack Black menjadi tulang punggung film ini. Keduanya telah "bekerja sama" menghancurkan kisah Gulliver's Travel, apa kali ini giliran karya R.L. Stine yang dicemari? Tapi tetap saja saya ingin tau akan menyerupai apa visualisasi parade monster-monster yang akan dimunculkan. Bahkan meski trailer-nya tidak mengatakan daya tarik, review awal yang positif dari kritikus mengatakan lebih banyak alasan bagi saya untuk menonton film ini. 

Paruh pertama kisah sesungguhnya amat skippable. Zach (Dyan Minnette) gres pindah ke sebuah kota kecil bersama sang ibu (Amy Ryan) sesudah maut ayahnya. Disana ia berkenalan dengan seorang gadis berjulukan Hannah (Odeya Rush) dalam situasi "first-meeting-your-neighbor-that-soon-will-become-your-girlfriend" yang telah berkali-kali kita saksikan. Tapi kekerabatan keduanya tidak mudah, alasannya ialah ayah Hannah yang misterius, R.L. Stine (Jack Black) selalu mengurung puterinya di dalam rumah, melarangnya untuk berinteraksi dengan orang lain. Lewat akting Jack Black disini, saya pun memahami bagaimana pemaknaan sang bintang film terhadap kata "sinister" (which is very far from its literal meaning). Apakah Stine terasa mengerikan dan misterius? Apakah saya ingin tau mengapa ia begitu mengekang Hannah? Apa saya peduli dengan romantika Zach dan Hannah? Jawabannya sama: tidak. 
Semua itu murni set up kosong yang dikemas secara malas oleh Rob Letterman. Nihil ketegangan, apalagi emosi sebagai pemikat. Tapi saya cukup memaklumi, alasannya ialah semua kesenangan memang ditutup rapat hingga para monster muncul. Tapi sejatinya perjuangan lebih akan mengatakan pengantar yang lebih menarik pula. Tapi bagaimana para monster dari buku Goosebumps bisa muncul ke dunia nyata? Ternyata R.L. Stine diceritakan sebagai penulis yang spesial, alasannya ialah setiap makhluk karangannya sanggup keluar dari buku. Demi menjaga semoga monster-monster tidak membuat kekacauan, ia pun menyimpan semua buku tulisannya di sebuah lemari lengkap dengan gembok untuk tiap buku. Sebenarnya saya heran mengapa tidak ia musnahkan saja semua buku itu dari awal? Atau minimal menyimpannya di kawasan yang jauh lebih tersembunyi daripada dikemas layaknya etalase dalam sebuah lemari lengkap dengan lampu. But hell with that! I just wanna see the monsters!

Zach yang merasa Hannah berada dalam ancaman di akrab sosok ayah psikopat tetapkan menerobos masuk ke dalam rumah bersama Champ (Ryan Lee). Champ sendiri ialah pecundang di sekolah dan saya sendiri tidak bisa untuk tidak berharap ia diinjak oleh monster salju atau dimakan belalang raksasa. Dia sangat menyebalkan, mengganggu, dan sama sekali tidak lucu. Kecerobohan mereka berdua pun membuat salah satu buku terbuka, dan berujung pada terbukanya seluruh buku Goosebumps. Hal itu berarti semua monster ciptaan R.L. Stine keluar ke dunia kasatmata dan siap menebarkan teror. Bagian ini cukup menyenangkan. Saya dibentuk antusias menanti monster apalagi yang akan muncul di layar. Mulai dari insan salju, para gnome pembunuh, invincible man, dan tentu saja Slappy the Dummy yang merupakan huruf paling terkenal dalam serial Goosebumps
Perjalanan yang dilakukan keempat huruf utamanya sejak poin diatas memang sekedar untuk memberi jalan memunculkan banyak sekali monster satu demi satu. Saya tidak masalah, alasannya ialah Rob Letterman masih bisa mengatakan kesenangan yang berlangsung dinamis. Tidak ada basa-basi. Tiap satu setting selesai, kita dibawa ke kawasan berikutnya untuk bertemu monster lain yang berbeda. Memang sama sekali tidak mengerikan dan nampak tidak ada niat mengemasnya menyerupai itu. Tanpa atmosfer horror, pula visualisasi cartoonish dari para monster. Patut disayangkan, alasannya ialah meski berstatus hiburan ringan semua umur, sentuhan horror akan menambah kesenangan film. Lagipula bukankah esensi buku Goosebumps pun menyerupai itu? Menghadirkan petualangan bercampur horror yang tidak jarang diselipi komedi sehingga membuat bacaan menarik bagi anak-anak.

Namun segala kesenangan itu tidak berlangsung lama. Segera sesudah setting berpindah ke sekolah, dan semua monster yang mendapat jatah screen time banyak usai diperkenalkan, Goosebumps kehilangan daya pikat. Tidak ada perjuangan dari Letterman membangun intensitas. Dia hanya berusaha memacu filmnya bergerak lurus secepat mungkin secara konstan. Tidak ada hentakan, tidak ada kelokan, tidak ada pula twist yang menjadi ciri R.L. Stine. Well, sebenarnya ada satu twist, namun jadi tidak bermakna alasannya ialah kejutan itu berkaitan erat dengan subplot romansa super cheesy antara Zach dan Hannah. Mungkin di kurun modern ini hanya naskah goresan pena Darren Lemke saja yang nekat tidak tahu aib memasukkan obrolan "my hero" ketika sang protagonis perempuan tersentuh hatinya ketika si laki-laki menyelamatkan dirinya (dari baju yang terkait di sebuah patung).

Pada awalnya Goosebumps nampak menyerupai tribute bagi R.L. Stine. Setiap makhluk yang ia ciptakan bisa menjadi nyata, seolah mengatakan statement bagaimana kuatnya kisah-kisah yang ia tulis. Tapi pada risikonya kesan yang hadir justru bukan Stine-lah yang spesial, melainkan mesin ketik yang ia pakai untuk menulis. Stine layaknya orang biasa yang kesepian, mempunyai imajinasi gila kemudian kemudian beruntung mendapat alat abnormal tersebut. Ditambah dengan dilupakannya esensi Goosebumps sebagai kisah yang mengutamakan horror gres kemudian petualangan dan komedi, makin jauhlah pembiasaan film ini dari bentuk "persembahan". Hanya memperlihatkan kesenangan sejenak plus sekilas nostalgia, namun sisanya hanyalah petualangan datar.

Artikel Terkait

Ini Lho Goosebumps (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email