Thursday, December 13, 2018

Ini Lho Assassination Classroom (2015)

Sesosok alien berwarna kuning dengan bentuk menyerupai gurita (kepala besar dengan banyak tentakel) telah menghancurkan 70% bab Bulan. Sasaran berikutnya yaitu Bumi, dimana pasukan militer terkuat seluruh dunia sama sekali tidak berkutik di hadapannya. Alien tersebut berniat menghancurkan Bumi, tapi sebelum itu ia meminta dijadikan guru untuk kelas 3E di Sekolah Menengah Pertama Kunugigaoka. Sebagai gantinya, para siswa diberi kesempatan untuk membunuh si alien yang kemudian dipanggil Koro Sensei dengan cara apapun. Bagi yang berhasil melakukannya, hadiah 10 milyar Yen telah menanti. Tapi jikalau sesudah kelulusan pembunuhan gagal dilakukan, Koro Sensei akan menghancurkan Bumi. Premis dengan tingkat keganjilan selangit ini memang hanya akan kita temukan dalam film-film dari Jepang. 

Assassination Classroom adalah bab pertama dari dwilogi pembiasaan manga berjudul sama karya Yusei Matsui. Sekuelnya yang berjudul Assassination Classroom: Graduation sendiri bakal dirilis tahun 2016 mendatang. Seperti judulnya, film ini akan berfokus pada perjuangan siswa-siswi kelas 3E untuk membunuh guru mereka tersebut. Tapi jangankan membunuh alien berkekuatan besar yang bisa bergerak secepat kilat itu, untuk sekedar mendapat nilai manis saja mereka kesulitan. Mereka dianggap terbelakang. Bahkan ruang kelasnya pun terpisah, di sebuah gedung bau tanah di perbukitan terpencil. Para guru tidak segan menghina mereka di depan siswa kelas lain. Bagi kepala sekolah sendiri kelas 3E yaitu "si lemah yang diperlukan" biar mereka yang berpengaruh sanggup tetap berpengaruh dan "bertahan hidup."
Berlebihan bukan? Tapi semangat menyajikan semuanya secara hiperbolis cenderung abstrak entah dari sisi cerita, visual, komedi ataupun akting serta abjad memang daya tarik perfilman Negeri Sakura itu. Poin negatifnya yaitu banyak hal yang kurang bisa diterima nalar. Akan terasa sangat mengganggu bagi penonton yang belum terbiasa. Bahkan saya yang sudah terbiasa pun masih dibentuk "garuk-garuk kepala" oleh sanksi beberapa plot point yang terlalu banyak lubang. Namun di samping aspek tersebut, film ini adalah tontonan penuh warna yang begitu menyenangkan. Kesenangan itu mengacu pada poin positif dari absurditas filmnya. Sutradara Eiichiro Hasumi pun jadi mempunyai kebebasan untuk berbuat "semaunya". Dia hendak memasukkan adegan pertarungan seru antara dua makhluk bertentakel? Bisa. Dia ingin menyajikan kekonyolan komedik dikala sang alien menyamar sebagai wanita untuk menyelinap ke kamar siswi? Bisa juga. Lagi pula pada balasannya semua itu efektif memberi hiburan menyegarkan.

Kebebasan itu bisa diaplikasikan pula dalam hal penokohan. Diluar Koro Sensei sendiri ada begitu banyak abjad unik disini. Setiap dari mereka diperkenalkan lewat cara yang sukses menggaet perhatian saya. Tingkat kegilaan "sosok baru" pun disajikan secara bertahap. Mulai dari Karuma (Masaki Suda) yang pemalas dan nakal tapi juga murid terkuat sekaligus paling cerdik dan merupakan orang pertama yang sanggup melukai Koro Sensei. Kemudian Irina (Kang Ji-young), seorang pembunuh profesional yang ditugaskan membantu perjuangan pembunuhan kelas 3E. Semakin absurd dikala Ritsu (Kanna Hashimoto) yang merupakan sebuah A.I. canggih dalam bentuk kotak menyerupai lemari ikut hadir sebagai murid pindahan. Puncaknya ada dikala satu lagi murid gres yang menyerupai Koro Sensei juga mempunyai tentakel di kepalanya berjulukan Itona (Seishiro Kato) ikut meramaikan kelas.
Tentu saja jumlah abjad sebanyak itu akan lebih efektif jikalau dihadirkan dalam serial, tapi Eiichiro Hasumi masih sanggup memperlihatkan masing-masing dari mereka momen untuk bersinar dan meninggalkan kesan. Bahkan, seringkali Nagisa (Ryosuke Yamada) selaku protagonis jadi terpinggirkan alasannya yaitu teman-temannya yang lebih "berwarna" itu. Karasuma (Kippei Shiina) selaku pelatih training pembunuhan kelas 3E menyatakan bahwa Nagisa punya talenta alami sebagai pembunuh. Dalam salah satu momen pun ia ditunjukkan bertransformasi dari sosok bakir balig cukup akal pendiam jadi layaknya pembunuh berdarah cuek dengan senyum menyeringai sambi membawa pisau. Nagisa pun bisa menganalisa kelemahan-kelemahan Koro Sensei berkat observasi mendalam. Tapi tetap saja secara keseluruhan pesonanya masih gagal menyamai karakter-karakter pendukung. 

Sentuhan dramanya memang tidak mencapai level emosional menyerupai yang seharusnya alasannya yaitu keterbatasan durasi. Saya tidak mendapat cukup banyak waktu untuk merasa ikut bersama siswa-siswi kelas 3E menjalani hari dengan Koro Sensei. Tapi masih ada kehangatan menyaksikan kebersamaan mereka, melihat kelas yang tadinya dianggap ndeso ini mulai mendapat kemajuan, melihat para calon pembunuh dan targetnya terbang melintasi penjuru dunia untuk mencar ilmu atau sekedar mengambil foto untuk buku tahunan. Assassination Classroom merupakan salah satu film dengan adegan persiapan pembunuhan paling hangat yang pernah ada. Di tengah segala absurditas, logika yang dikesampingkan, serta komedi yang kental aroma kebodohan, terciptanya kehangatan itu terang pencapaian Istimewa dari Eiichiro Hasumi. 

Assassination Classroom adalah kesenangan demi kesenangan yang disajikan dalam pace cepat. Tanpa sadar durasinya telah mendekati selesai dan saya masih belum merasa cukup dengan segala kesenangan tersebut. Eiichiro Hasumi telah berhasil menciptakan sajian ringan menyenangkan yang selama ini rasa-rasanya hanya bisa dibentuk oleh seorang Takashi Miike dalam bentuk penyutradaraan terbaiknya.

Artikel Terkait

Ini Lho Assassination Classroom (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email