Thursday, December 6, 2018

Ini Lho Ini Dongeng Tiga Dara (2016): Feminisme Dalam Kasih Tiga Saudara

Apa alasan Nia Dinata tidak memajang status remake melainkan "inspired by"? Rasanya bukan demi menghindari perbandingan mengingat hasil restorasi "Tiga Dara" gres tayang belum hingga sebulan sebelum perilisan "Ini Kisah Tiga Dara". Adegan pembuka mengatakan tiga bersaudari protagonisnya  Gendis (Shanty Paredes), Ella (Tara Basro), Bebe (Tatyana Akman)  berada dalam taksi, terjebak di tengah kemacetan Jakarta. Berpenampilan layaknya wanita-wanita metropolitan dari kalangan atas, mereka heboh mengeluhkan situasi termasuk keengganan Ella berjalan kaki lantaran menggunakan high heels, sebelum memasuki musical sequence pertama, menyoroti perjalanan ketiganya menembus taman kota hingga datang di rumah menemui Oma (Titiek Puspa). Dari sini intensi Nia mulai terbaca.

Oma sedang bingung lantaran memasuki usia 32 tahun, Gendis si puteri sulung masih belum menemukan jodoh dan lebih gemar menghabiskan waktu memasak sebagai chef di hotel milik sang ayah, Krisna (Ray Sahetapy) yang bertempat di Maumere. Ella merasa iri akan perjuangan Oma menikahkan kakaknya itu, lantaran tidak mirip Gendis, Ella tidak terganggu oleh konsep "menikah". Ella sendiri sedang didekati oleh Bima (Reuben Elishama), seorang fotografer. Sedangkan Bebe si bungsu menjalin relasi dengan seorang tamu hotel asal Inggris, Erick (Richard Kyle). Pada tataran konsep cerita, "Ini Kisah Tiga Dara" nyaris serupa dibanding film original classic-nya, namun di balik itu terdapat perbedaan signifikan yang menghadirkan komparasi kultural menarik.
Nia Dinata mungkin salah satu sineas tanah air yang paling peka sekaligus berani menghantarkan warta mengenai perempuan dan itu kembali ia tunjukkan. Naskah goresan pena Nia bersama Lucky Kuswandi ingin menyuarakan sisi sanggup bangun diatas kaki sendiri para perempuan modern, dan sungguh lantang mereka bersuara. Kenapa perempuan seolah diwajibkan menikah? Kenapa flirting atau sensualitas/laku seksual perempuan dianggap tak bermoral? Gendis, Ella dan Bebe selalu bertindak semau mereka ,menolak mengindahkan batasan berbentuk apapun, menyerupai mewakili ungkapan "girls just wanna have fun". Bahkan sosok Oma tak ketinggalan bersenang-senang, bernyanyi, berlenggak-lenggok menikmati hidup. Naskahnya pun sama, enggan bersikap permisif meminimalisir modernisasi atas nama budaya ketimuran.

Seorang sobat mengkritisi perilaku menyerah "Ini Kisah Tiga Dara" pada modernisasi. Saya bisa membayangkan banyak penonton lain beranggapan serupa, apalagi jikalau mereka telah menyaksikan "Tiga Dara". Tapi saya rasa ini problem sudut pandang dalam menyikapi produk masa lampau menggunakan "kacamata" kekinian. Karena bisa jadi 50 tahun lalu, pemberontakan Nunung-Nana-Nenny, adegan ganti baju maupun swimsuit turut menyulut kontroversi. Beberapa poin alur hingga aksara mengambil ilham "Tiga Dara", namun usungan pesannya diubahsuaikan dengan periode kini plus menerima suntikan feminisme kental. Itulah mengapa "Ini Kisah Tiga Dara" di-branding sebagai re-imagining daripada remake.
Gendis menghabiskan waktu memasak, tapi bukan di dapur rumah mirip Nunung, melainkan sebagai chef kepala, sebuah bentuk empowerment dan kemampuan perempuan mengejar passion. Si bungsu masih usil, ceria dan nekat, hanya saja Bebe lebih "liar" ketimbang Nenny. Dasarnya mereka serupa, hanya nampak berbeda akhir perbedaan zaman. Apakah lantaran sikapnya Bebe layak disebut "buruk"? Tunggu dulu, lantaran justru hanya ia yang bersedia mengajar Bahasa Inggris tanpa bayaran bagi bawah umur sekolah di Maumere. Sayang, aksara Ella terasa underwritten, tanpa eksposisi mendalam selain curhatan mengenai anak tengah yang selalu menyerah pada abang maupun adiknya. 

Sebagai perenungan kultur maupun lontaran pesan gender, "Ini Kisah Tiga Dara" nyaris tanpa cela, namun tidak begitu dengan musikalnya. Menanggalkan aura melayu, gugusan lagunya kental aroma jazz hingga swing. Terdengar elegan, skilful, keren, tapi kurang memorable, bagai berusaha terlampau keras terdengar cool namun berujung kurang akrab bagi telinga. Tidak cukup catchy, terbukti saat filmnya berakhir nyaris tak ada yang menancap di memori. Selain theme song "Kisah Tiga Dara"  lagunya terlanjur ikonik  mungkin hanya "Martriarch" yang berkesan. Permasalahan serupa hadir pada koreografi tari garapan Adela Fauzi. Mengawang tak niscaya di antara awkward yet adorable ala "Tiga Dara" dan totalitas gerak mumpuni, tariannya terasa tanggung. 
Untung terdapat akting-akting memukau dari cast, sehingga keringnya adegan musikal cukup tertolong. Titiek Puspa sang legenda ialah scene stealer kala tiap kemunculannya konsisten mengundang senyum, terlebih lewat celetukan-celetukan menggelitik mirip "janidul". Tanpa mengesampingkan Tara Basro dan Tatyana Akman, Shanty ialah bintang paling bersinar. Sewaktu adegan musikal, gerakannya penuh keyakinan  baik tegas atau lembut  memancarkan aura bintang yang menguasai penonton dari atas panggung pertunjukkan. Sebagai pola sempurna, tengok adegan "Matriarch". Powerful, sensual and elegant at the same time

Kekurangan di porsi musikal terperinci fatal mengingat film ini semestinya bisa memainkan dinamika emosi lewat aspek tersebut. Kegagalan merajut musikal memikat berdampak pada datarnya paparan emosi. Once again, it sounds and looks cool  Yudi Datau's cinematography is gorgeous  but it lacks of emotional depth. Tapi sebagaimana film-film Nia Dinata sebelumnya, "Ini Kisah Tiga Dara" besar lengan berkuasa dalam berpesan. This modern take of the original classic ended up as one of the coolest movie of the year.

Artikel Terkait

Ini Lho Ini Dongeng Tiga Dara (2016): Feminisme Dalam Kasih Tiga Saudara
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email