Thursday, December 6, 2018

Ini Lho Saya Ingin Ibu Pulang (2016)

Dalam hasil penyutradaraan ketiganya tahun ini Monty Tiwa kembali menyajikan sebuah melodrama. Namun serupa "Sabtu Bersama Bapak", Monty menolak hanya mengeksploitasi kisah murung tanpa memperhatikan karakter, atau paling tidak begitu tujuan awalnya. "Aku Ingin Ibu Pulang" mempunyai protagonis seorang bocah SD berjulukan Jempol Budiman (Jefan Nathanio) yang pada adegan pembuka diceritakan tengah menjadi bintang tamu program Kick Andy pasca pencariannya terhadap sang ibu, Sartri (Nirina Zubir) menarik atensi masyarakat. Lalu alurnya bergerak mundur, menelusuri kehidupan keluarga Jempol sebelum kepergian Sartri.

Karena berstatus tearjerker, tentu kita akan mendapati nasib sial atau bencana menimpa karakternya. Di sini, bencana terjadi tatkala ayah Jempol, seorang kuli berjulukan Bagus, (Teuku Rifnu Wikana) mengalami kecelakaan ketika bekerja. Kondisi ini menyulitkan Sartri, ketika mengurus sang suami  merawat luka, memandikan menyuapi  membuatnya kerepotan membagi waktu dengan pekerjaan. Kekurangan ekonomi pun makin menyulitkan keluarga ini. Sedangkan Jempol yang menghabiskan tiap pagi berlari kencang untuk berangkat sekolah kesulitan mendapatkan fakta kalau harus menghabiskan liburan sekolah untuk merawat sang ayah  di satu adegan, Jempol menolak membersihkan kotoran ayahnya sehabis buang air besar di kamar.
Bocah miskin yang sukses jadi juara kelas. Kalau mau huruf Jempol bisa dibentuk suci, anak kecil dengan sikap dewasa, atau bentuk karakterisasi lain yang berfungsi menarik simpati penonton. Tapi sebagaimana telah disinggung di paragraf awal, lewat naskah hasil tulisannya bersama Titien Wattimena dan Alim Sudio, Monty Tiwa menaruh perhatian terhadap karakter. Jempol berperilaku sesuai umur. Sewaktu sang ayah hanya terbaring lemah, ia tak serta merta jadi anak yang rela berkorban. Jempol kerap merengek, menagih kesepakatan ayahnya berjalan-jalan keliling Jakarta. Namun bocah ini tidak berujung menyebalkan, lantaran di sela-sela rengekan, Jempol kerap berbuat kepolosan-kepolosan kecil nan bermakna demi membantu kesulitan orang tuanya. 

Aspek terbaik milik "Aku Ingin Ibu Pulang" ialah lebih banyak didominasi huruf tak sanggup sepenuhnya disalahkan. Keengganan Bagus berobat memang mempersulit keadaan, tapi contoh pikir demikian (tanpa intensi merendahkan) bisa dipahami hadir dari masyarakat berstatus ekonomi rendah macam dirinya. "Jika tidak ingin kehabisan uang, jangan mengeluarkan uang", sesederhana itu. Sedangkan sikap Sartr didorong perasaan terdesak dan tidak tega melihat kondisi suaminya. Verdy Solaiman sebagai pemilik toko obat kawasan Sartri bekerja pun bukan antagonis, lantaran ia bukan malaikat berhati emas yang bersedia begitu saja memaafkan sederet kesalahan fatal Sartri.
Sampai pertengahan durasi, "Aku Ingin Ibu Pulang" tampil mengesankan berkat perhatian pada logika mengenai sikap tokohnya, apalagi Monty juga enggan mendramatisir secara berlebihan termasuk penggunaan secukupnya untuk musik karya Ganden Bramanto. Sayang, seiring perubahan sikap Jempol, penyakit dramatisasi plus logika turut menjangkiti. Paling menggelikan ialah konklisi lomba lari yang menyalahi penalaran demi memantik emosi penonton. Memasuki paruh kedua, tujuan film jadi layak dipertanyakan, lantaran progresi menuju cheesy tearjerker mendangkalkan eksplorasi mengenai cara individu menyikapi kondisi mencekik yang semenjak awal dibangun. Tapi filmnya pun bukan sepenuhnya penguras air mata. Walau menyakitkan berulang kali melihat luka bernanah di kaki Bagus, Monty tak berusaha menyedot emosi penonton, menghalangi aliran air mata.

Akting jajaran cast-nya mumpuni. Teuku Rifnu Wikana menciptakan sakit serta lemahnya kondisi Bagus tampak meyakinkan, meski inkonsistensi logat sesekali terdengar. Walau saya bisa membayangkan kemampuan Acha Septriasa mencuri hati sebagai Sartri, Nirina Zubir nyatanya solid bermain letupan emosi termasuk menghantarkan kekalutan hati lewat ekspresi. Lalu ada bintang film cilik Jefan Nathanio dengan kemampuannya melontarkan baris-baris kalimat dengan natural. Bersenjatakan nama-nama tersebut, "Aku Ingin Ibu Pulang" semestinya sanggup berakhir besar lengan berkuasa andai lebih yakin memilih tujuannya. Keraguan yang terpancar dari pemilihan konklusi  ending-nya bittersweet, tapi mid-credit scene menjadikannya total berakhir bahagia.

Artikel Terkait

Ini Lho Saya Ingin Ibu Pulang (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email