Salah besar menganggap horor tak memerlukan naskah mumpuni. Meski bukan mengedepankan alur kompleks, obrolan cerdas, atau penokohan solid naskah horor mempunyai kegunaan menyediakan layout, khususnya apabila penulis dan sutradara tidak dipegang satu orang. Deskripsi bagaimana sebuah kengerian muncul amat membantu pengadeganan sutradara. Dan satu poin yang kerap tertinggal (baik sengaja maupun tidak) yaitu "rule" alias aturan. Poin ini penting apalagi bagi horor mistis dengan mitologi mengenai hantu, apa pemancing kehadirannya, kemampuan, hingga cara mengusir. Aturan ini merupakan logika tersendiri yang wajib dipegang dalam film horor kala ketiadaan common sense bersifat lumrah.
Jailangkung jelas berambisi mengulang fenomena Jelangkung 16 tahun lalu. Duet Rizal Mantovani dan Jose Purnomo kembali di dingklik sutradara, sedangkan naskah dipegang Baskoro Adi Wuryanto (Bulan Terbelah di Langit Amerika 2, Sawadikap, Ghost Diary) menggantikan Adi Nugroho (Kuldesak, Ruang, Strawberry Surprise). Kisahnya memakai template umum, ihwal perjalanan tiga abang beradik, Bella (Amanda Rawles), Angel (Hannah Al Rashid), dan Tasya (Gabriella Quinlyn) menuju pulau Alas Keramat, tempat di mana sang ayah, Ferdi (Lukman Sardi) berada terakhir kali sebelum koma. Dibantu Rama (Jefri Nichol) si perjaka andal ilmu kejawen, mereka menemukan diam-diam mengerikan yang bertahun-tahun disimpan Ferdi.
Walau adegan pembukanya tak lebih dari eksposisi buru-buru, awal Jailangkung cukup menjanjikan berkat penanaman misteri terkait mitos Jawa. Mitologi klenik kawasan kita memang berpotensi dieksplorasi alasannya yaitu memberi bekal misteri untuk ditelusuri. Walau teori seputar jiwa dan raga berdasarkan kepercayaan Jawa yang dipresentasikan Rama konkret didasari riset seadanya, rasa ingin tahu masih bisa disulut. Ritual apa yang Ferdi lakukan? Siapa sosok Mati Anak yang mengganggunya? Ada modal berpengaruh guna menggulirkan alur menarik. Ditambah lagi, Jailangkung enggan mengumbar penampakan sebanyak dan sedini mungkin. Sampai akhirnya, semakin jauh perjalanan, semakin jelek filmnya.
Penyebabnya naskah buatan Baskoro gemar menyalahi logika umum hingga rule khusus sebagaimana tersebut tadi. Kakak gila mana yang membawa adik kecilnya ke pulau terpencil kemudian meninggalkannya sendiri di kamar sebuah rumah kosong menyeramkan? Remaja gila mana pula yang bisa duduk santai tersenyum menonton rekaman ijab kabul orang renta mereka di sana pada tengah malam? Lalu apa tujuan Ferdi merekam aktivitasnya selain sebagai cara filmnya mengakali flashback? Banyak juga sudut peletakan kamera terlampau sinematik untuk footage amatir. Tapi dosa lebih besar yaitu dikala Baskoro mengesampingkan hukum buatannya sendiri mengenai hantu dan jailangkung, contohnya dikala dampak gangguan hantu untuk seorang tokoh berbeda dari tokoh lain (what's the deal with Angel's abstrak hallucination?). Hantu memang tak butuh hukum main, tapi untuk apa membangun mitologi kalau berujung seenaknya sendiri? Saat penulisnya menolak peduli, bagaimana penonton mau mempedulikan filmnya?
Buruknya naskah tidak membantu Rizal Mantovani dan Jose Purnomo yang sama-sama dikenal akan kemampuan menangkap gambar indah namun terbelakang bercerita. Didukung biaya 10 miliar rupiah, Jailangkung serupa produksi Screenplay Films lain, terlihat mahal, yummy dilihat, tapi nihil substansi, menyerupai ditunjukkan tata artistik setting rumah tempat ritual dengan bermacam-macam ornamen aneh. Sinematografi Jose Purnomo pun menyajikan kemegahan dramatis (shot pemakaman dari atas misalnya) yang urung mendukung tingkat kengerian. Setelah ekonomis di awal, begitu jump scare mulai menerjang, kita dihadapkan pada rutinits biasa berupa kejutan berisik asal masuk. Kombinasi lemahnya naskah dan penyutradaraan berpuncak di third act. Berniat membangun nuansa chaotic, kekacauan sesungguhnya justru tercipta. Saking kacaunya, bila anda olok-olokan pertanyaan menggunakan rumus 5W+1H ihwal klimaksnya, balasan bakal sulit didapat.
Eksekusi teror mencapai paruh final tak hanya meniadakan kengerian, bahkan memunculkan geli. Saya bersama secara umum dikuasai penonton lain tertawa menyaksikan Lukman Sardi menggendong hantu di depan cermin. Bukan seluruhnya salah sutradara, alasannya yaitu Lukman sendiri (bukan di adegan ini saja) bagai berakting di film horor-komedi lewat lisan dibuat-buat. Jarang melihat Lukman Sardi sebagai salah satu aspek terlemah film. It's unusual to see Lukman Sardi became one of a movie's weakest aspect, but there you go. Penampilan Lukman diikuti Jefri Nichol yang pasca penuh karisma di Dear Nathan, sekarang salah mengartikan "quirky, introvert guy" dengan wooden acting. Karakter Rama si andal ilmu mistis tidak berguna, malah beberapa kali jadi penyebab insiden buruk. Beruntung ada Hannah Al Rashid yang seorang diri membuat momen paling mencekam berkat lisan believable. Kita bisa merasa pun percaya atas rasa takut serta penderitaannya. She's that good, but the rest is just a big waste of money and many potentials.
Ini Lho Jailangkung (2017)
4/
5
Oleh
news flash