Wednesday, December 5, 2018

Ini Lho Jogja-Netpac Asian Film Pekan Raya - Hush (2016)

"Speak your silence. And make them listen!". Begitu usungan tagline film hasil kerja sama Djenar Maesa Ayu dan Kan Lume ini. Djenar memang selalu memakai karya-karyanya untuk menyuarakan secara jujur dan lantang keresahann soal hak perempuan. Harapannya, penonton sanggup tertampar, sadar, kemudian membuka mata akan gosip tersebut. Karena sebagaimana narasi awal "hUSh" mengiringi setumpuk footage CCTV mengiris hati berisi tindak kekerasan, perkosaan, dan segala macam kebejatan pria terhadap perempuan, sudah waktunya kita berbuat sesuatu demi perubahan, bukan hanya membisu terkurung ketidakpedulian. 

Kali ini penolakan membisu Djenar ia wujudkan dengan memberi wadah bagi penyanyi Cinta Ramlan (adik Olla Ramlan) untuk bercerita segamblang mungkin wacana sudut pandangnya akan nasib wanita Indonesia serta gaya hidupnya yang oleh banyak pihak bakal disebut tak bermoral (seks bebas, narkoba, alkohol, tato di sekujur tubuh). Selama 90 menit, Cinta dibebaskan bertutur kata tanpa sedikitpun dibatasi, mengisahkan bagaimana ia jengah atas diskriminasi di mana wanita bakal disebut pelacur kalau bertingkah liar, sebaliknya pria justru dipandang jantan. Sementara itu filmnya menangkap keseharian Cinta kala berada di Gili, pesta alkohol di siang hari hingga mencari pasangan acak di malam hari saat hasrat seksual tak lagi tertahankan.
"hUSh" sama sekali tidak menahan diri menyuarakan opini dan itu sesuai dengan pesan yang diutarakan. Semangat kebebasan dicurahkan penuh letupan energi sebagai perlawanan keras atas kemunafikan. Masalahnya keliaran tersebut tak hanya berujung verbal nihil opresi melainkan turut memunculkan ketidakteraturan pada filmnya. Karena ketiadaan batasan bagi apa yang Cinta utarakan, seringkali terdapat repetisi kalimat. Kata demi kata terulang, bergulir hingga terlalu panjang, tak jarang menghadirkan kekacauan disengaja yang menghilangkan pemfokusan bagi poin utama. 
Djenar dan Kan Lume mengemas "hUSh" kolam dokumentasi perjalanan, apa adanya tanpa santunan efek visual yang kerap dimanfaatkan dokumenter guna membantu paparan data dan fakta plus mempercantik tampilan. Pilihan tepat, menguatkan kesan "mentah" catatan harian seorang wanita yang jadi tujuan film. Di secara umum dikuasai durasi, Cinta bicara ke arah kamera yang statis, seolah tengah berinteraksi pribadi dengan kita. Walau memungkinkan penonton memasuki sisi personal Cinta, begitu seringnya hal itu dilakukan kembali menciptakan "hUSh" terasa repetitif pula minim penekanan. Saya berharap lebih sering dibawa pribadi melihat aktivitas yang Cinta bicarakan sambil sesekali mampir ke ruang pribadinya, mendengarkan hal-hal personal semisal curahan emosional mengenai aborsi. Dengan begitu dampak emosi bakal lebih kuat.

Bagi penonton berpikiran terbuka, "hUSh" sanggup gampang dinikmati, tapi bagi mereka yang teladan pikirnya sempit, film ini berpotensi dipandang sebagai justifikasi maupun glorifikasi terhadap gaya hidup bebas. Saya memandang ini suatu kekurangan, lantaran menyerupai pernyataan di awal film, sekarang sudah waktunya berbuat sesuatu demi menyadarkan masyarakat perihal hak perempuan, dan untuk itu diperlukan proses sedikit demi sedikit termasuk membuka mata para ignorant dan hipokrit melalui banyak sekali cara termasuk media film. "hUSh" memang sukses menjadi curhatan lantang juga menarik di mana keberanian Cinta Ramlan amat perlu diapresiasi. Namun lebih dari itu semestinya Djenar Maesa Ayu dan Kan Lume bisa memancing anutan atau perenungan andai belum bisa mengubah perspektif banyak pihak.

Artikel Terkait

Ini Lho Jogja-Netpac Asian Film Pekan Raya - Hush (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email