Wednesday, December 5, 2018

Ini Lho Jogja-Netpac Asian Film Pekan Raya - Istirahatlah Kata-Kata (2016)

Saya menyaksikan "Istirahatlah Kata-kata" karya Yosep Anggi Noen dengan ekspektasi tinggi. Kemudian film dimulai, kesunyian mencekat bergulir, gambar-gambar berbicara, suara-suara bersenandung, terdengar silih berganti termasuk dibacakannya sederet puisi berisi keresahan seorang Wiji Thukul. Emosi tidak pernah dipacu kencang namun bagai pelukan kasih sayang, dijamah pelan hingga tanpa sadar ada gejolak yang merambat perlahan dan kesannya menguasai perasaan. Ketika usai, kredit bergulir ditemani sisa isak tangis Sipon (Marissa Anita), saya duduk diam. Mengistirahatkan kata-kata, membiarkan rasa bermain, kemudian menyadari gres saja menyaksikan film Indonesia terbaik tahun ini yang jauh meninggalkan pencapaian para "pesaing".

Bertindak juga selaku penulis naskah, Anggi menyoroti masa ketika Wiji Thukul (Gunawan Maryanto) bersembunyi dari kejaran pemerintah di Pontianak pada 1996. Keterasingan itu digunakan Anggi untuk mengajak penonton memasuki sisi personal Wiji Thukul, bagaimana ia bersembunyi di balik kegelapan sembari tetap berusaha menulis meski dikuasai ketakutan akhir teror pegawanegeri dan kerinduan akan sang istri, Sipon beserta kedua anaknya. Rasa takut tersebut seringkali menyulitkan proses berkarya, membawanya pada pertempuran melawan opresi walau kali ini pergolakan hati menjadi salah satu musuh terbesar Wiji. Kita takkan mendapati Wiji Thukul sang pencetus perlawanan, melainkan insan biasa yang takut, ragu, rapuh, menghabiskan waktu di malam hari minum tuak bersama teman-temannya. Dia tidak sempurna.
Daripada lantang penuh kobaran semangat perjuangan, semua puisi dibacakan lirih cenderung sendu. Justru lantaran itulah tiap kalimat terasa personal dan jujur. Bahkan tatkala membicarakan penindasan maupun pergolakan politik, puisinya tetap terdengar intim. Sekali lagi, fokus film memang kepada Wiji Thukul sebagai manusia. Sesekali kondisi politik mencuat tapi sekedar lewat pembicaraan singkat atau siaran radio. Pemaparan situasi politik dan negara berfungsi memperkuat latar saja, bukan fokus utama, yang mana pilihan tepat alasannya ialah banyak film biografi kita kehilangan hati, kolam visualisasi buku sejarah kemudian melupakan observasi aksara akhir ambisi berlebihan merangkum seluruh sisi kehidupan sang tokoh.

Kata-kata memang cenderung diistirahatkan. Bukan seutuhnya dihilangkan melainkan digunakan tepat guna, muncul sewaktu diperlukan. Alhasil timbul dampak signifikan, entah membangun dinamuka kisah atau karakter. Teknisnya dikemas menggunakan pendekatan serupa. Penataan kamera Bayu Prihantoro Filemon lebih banyak statis menangkap insiden minim pergerakan. Begitu pula jarangnya musik karya Yennu Ariendra menyeruak masuk. Namun kediaman gambarnya nampak puitis juga menyimpan setumpuk kisah. Adegan close-up di tengah kegelapan kamar kala Wiji berulang kali menutup kemudian membuka mata memunculkan probabilitas kisah tanpa batas dalam benaknya. Sedangkan musiknya berakal membaurkan imbas bunyi selaku lantunan musik (berubahnya gema bunyi shuttlecock menjadi ketukan ritmis jadi teladan terbaik).
Yosep Anggi Noen jeli menyelipkan simbol (semut di air gula, lukisan perjamuan terakhir) untuk menyiratkan insiden yang kelak hadir. Selain simbolisme, kematangan penyutradaraan Anggi terbukti melalui terciptanya kesunyian suasana tanpa harus berujung datar. Ada ketegangan merambat kala di kawasan pangkas rambut, seorang tentara (Arswendi Nasution) menanyakan identitas Wiji dan rekannya, Martin (Eduwart Boang Manalu). Bahkan pada situasi santai, pegawanegeri bersikap pongah, intimidatif, menekan. Anggi tak lupa menghantarkan romantisme ketika Wiji Thukul dan Sipon kembali bertemu (pertama kali sepanjang film), di mana kehangatan terasa lewat kesederhanaan macam senyum simpul, proteksi oleh-oleh, bahkan pengucapan nama Wiji Thukul oleh sang istri sesudah sebelumnya ia selalu dipanggil menggunakan nama samarannya, Paul. 

Suguhan akting kelas wahid diberikan oleh Gunawan Maryanto dan Marissa Anita. Gunawan bukan sekedar berusaha memiripkan tampilan fisiknya dengan Wiji, tapi meresapi untuk kemudian bisa mengungkapkan sisi terdalam sang tokoh menggunakan verbal mikro, sehingga dalam membisu pun terdapat variasi emosi yang teramat kaya. Marissa Anita yang gres banyak berperan di paruh kedua pun sama baiknya memamerkan kesubtilan olah rasa yang bisa tercurah hanya oleh mimik muka. Keduanya berpengaruh berinteraksi, bertukar emosi hingga mencapai final durasi ketika Anggi menutup film dengan metafora penuh makna. Di situ Sipon mencurahkan segala kekalutan hatinya, dan sejurus kemudian tanpa kita sadari Wiji Thukul menghilang tanpa pernah nampak lagi. Saya terpana. Hati teriris-iris, air mata mengalir deras mendapati ending terkuat yang dimiliki sinema negeri ini. "Tidurlah kata-kata. Kita bangun nanti". 

Artikel Terkait

Ini Lho Jogja-Netpac Asian Film Pekan Raya - Istirahatlah Kata-Kata (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email