Wednesday, December 5, 2018

Ini Lho Jogja-Netpac Asian Film Pekan Raya - Knife In The Clear Water (2016)

Berdasarkan survei tahun 2010, penganut Islam di China sebesar 1,7%, hanya lebih tinggi dari Taoism (0,8%). Tidak mengherankan apabila media film masih jarang menjadikannya sentral cerita, sehingga debut penyutradaraan Wang Xuebo ini terasa menyegarkan, menyoroti sudut Negeri Tirai Bambu yang jarang diangkat ke permukaan. Bertempat di daerah pegunungan di Provinsi Ningxia, "Knife in the Clear Water" berkisah mengenai Ma Zishan (Yang Shengcang), seorang laki-laki bau tanah yang istrinya gres meninggal dunia. Tentu ia berduka, namun ada alasan lain di balik kegamangan hati Ma Zishan, yakni persiapan peringatan 40 hari meninggalnya sang istri.

Bukan problem ekonomi yang mengganggu Ma Zishan, melainkan kehendak anaknya (Yang Shengcang, pemain drama berbeda) menyembelih kerbau kesayangannya sebagai suguhan untuk para tamu. Setelahnya penonton diajak mengamati sang tokoh utama menenggelamkan diri dalam kesendirian, merenungi situasi. Naskah hasil tulisan Shi Shuqing, Wang Xuebo, Ma Jinlian, dan Ma Yue selaku penyesuaian novel karya Shi Shuqing tak hanya menampilkan kesendirian huruf secara literal, tapi juga di tataran batin, sewaktu interaksinya dengan orang-orang di sekitar selalu berisi pertanyaan perihal program peringatan. Tidak heran hati Ma Zishan makin tak menentu.
"Knife in the Clear Water" bukan ingin menggugat tradisi keagamaan, tapi memancing pertanyaan melalui ironi. Putra Ma Zishan begitu sibuk menyiapkan peringatan 40 hari, mencurahkan segala daya upaya bahkan meluangkan uang cukup banyak meski bukan tergolong keluarga berada. Kondisi kampung pun digambarkan tengah dilanda kekeringan. Timbul tanda tanya soal mereka yang hidup dan yang telah mati. Tepatkah segala pengorbanan bagi almarhumah dilakukan kala kehidupan sendiri sedang sulit? Pertanyaan lembut tapi tajam yang pantas direnungkan. 

Sayang, gagasan ihwal hidup-mati tersebut  yang semestinya jadi poin utama  dituangkan terlampau minim, mendangkalkan eksplorasi. Filmnya justru lebih sering mengetengahkan kesendirian Ma Zishan, berusaha menyatukan penonton dengan rasa itu lewat penyampaian kesehariannya ibarat mandi, berjalan seorang diri, atau sesekali merawat kerbau. Namun kedekatan sang protagonis dengan peliharaan kesayangannya itu hadir ala kadarnya, tidak cukup menciptakan penonton percaya apalagi turut mencicipi ikatan keduanya. Kita hanya dibentuk yakin Ma Zishan tengah dirundung kemuraman.
Wang Xuebo bertutur memakai gaya khas arthouse. Alur bergerak dalam tempo sangat pelan, penuh keheningan minim dialog, kamera statis, serta emosi "tertahan" nihil dramatisasi. Selain melelahkan, gaya ini ialah klise bagi sinema sidestream. Wang bagai terjebak klise, bahwa paparan "film seni" harus lambat dan berisi kontemplasi mengenai kesepian. That kind of treatment is getting repetitive and predictable. Untung konklusinya besar lengan berkuasa berkat semburat emosi yang terpancar besar lengan berkuasa dari mata berkaca-kaca Yang Shengcang ketika karakternya membaca Al Qur'an di tengah kegelapan, semalam sebelum penyembelihan. Suatu momen sederhana yang intim sekaligus lebih efektif mempresentasikan isi hati sang tokoh ketimbang kehampaan sepanjang film.

Setting bukan sekedar panorama menghibur mata, melainkan serupa huruf yang ikut menyokong keseluruhan penceritaan. Sinematografi garapan Wang Weihua merangkum dua jenis setting. Indoor memaksimalkan pencahayaan ala pertunjukkan panggung lewat spotlight, menempatkan fokus di tengah layar, membiarkan sekelilingnya gelap supaya penonton memahami kesan terisolir Ma Zishan. Sedangkan outdoor banyak memunculkan kabut dan lahan kering guna memvisualisasikan buruknya kondisi tempat tinggal mereka yang masih hidup. 

Artikel Terkait

Ini Lho Jogja-Netpac Asian Film Pekan Raya - Knife In The Clear Water (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email