Friday, December 28, 2018

Ini Lho Jurassic World (2015)

Mulai dari desain "humanoid dinosaur" yang menggelikan hingga teaser trailer dengan CGI jelek ibarat adegan Chris Pratt di atas motor sambil dikelilingi para raptor, memperlihatkan jalan menuju terealisasinya film keempat Jurassic Park memang tidak mudah. Tentu saja banyak pihak pesimis dengan perjuangan menghidupkan kembali franchise taman dinosaurus ini, apalagi sesudah dua sekuel yang mengecewakan. Alhasil selama sekitar 10 tahun film ini berada di development hell. Makara alangkah menyenangkannya dikala aku mendapati film garapan Colin Trevorrow ini bukan hanya sukses menghormati film aslinya tapi juga mewakili definisi blockbuster sebagai hiburan besar. Taman baru, aksara baru, dinosaurus baru. Semua itu memperlihatkan bahwa tujuan utama Jurassic World adalah soft-reboot meski bertempat 22 tahun sesudah film pertama. Meski lebih banyak dinosaurus berukuran raksasa, film ini coba kembali ke dasar: mengembalikan teror ke satu setting taman/pulau. Tidak tergoda ambisi untuk pribadi hadir dalam lingkup lebih besar, namun memperkenalkan kembali dari awal ialah keputusan tepat.

Filmnya memperlihatkan bagaimana taman wisata Jurassic World telah kembali menjadi tujuan terkenal banyak orang untuk melihat sosok dinosaurus secara langsung. Namun para pemilik termasuk sang CEO, Simon Masrani (Irrfan Khan) dan operation manager, Claire Dearing (Bryce Dallas Howard) merasa bahwa daerah itu butuh sajian baru. Dalam sebuah obrolan yang juga menjadi deskripsi bagi hasrat para penonton filmnya sendiri, Jurassic World butuh dinosaurus yang tidak hanya gres tapi juga lebih besar, lebih ganas, lebih mengerikan. Memang benar, meskipun T-Rex akan selalu menjadi fan favorite, penonton tentu ingin dinosaurus gres yang sesuai dengan deskripsi tersebut. Maka diciptakanlah seekor dino-hibrida berjulukan Indominus Rex. Tidak hanya lebih besar dan buas, Indominus ialah predator dengan intelegensi tinggi. Dia sanggup membuat perangkap, menipu manusia, bahkan mencabut detektor implan yang dipasang dalam tubuhnya. Mesin pembunuh yang satu ini terperinci berpotensi memperlihatkan teror yang berbeda, tidak sekedar pengejaran kesana kemari. Setidaknya itu yang terjadi sebelum third act.
Sepertiga final film ini memang jatuh menjadi generic movie monster dengan aksara insan yang berusaha bertahan hidup dari kejaran dinosaurus pembunuh. Tentu saja begitu menggelegar lewat raungan Indominus beserta kehancuran yang ia ciptakan, tapi tidak ada yang Istimewa dari hal tersebut. Justru dua pertiga awal yang bertugas membangun plot-nya ialah bab terbaik dari film ini. Memang berjalan dengan tempo lambat, tapi kejelian Colin Trevorrow mengemas semua "perkenalan" tersebut ialah kunci keberhasilan film ini mengikat saya. Perjalanan kembali dikemas layaknya sebuah liburan nostalgia. Penonton gres akan terpikat dengan segala pertunjukkan dinosaurus termasuk sang predator bawah air Mosasaurus. Sedangkan bagi penonton lama, kebahagiaan yang asalnya dari nostalgi masa kemudian dikala Spielberg pertama kali menghidupkan mimpi masa kecil kita ialah pemikatnya. Terasa begitu emosional pula dikala musik tema ikonik garapan John Williams mulai berkumandang. Kita pun diajak berkenalan dengan Owen Grady (Chris Pratt) sang instruktur raptor badass yang punya hubungan "menarik" dengan Claire. 

"Sumber kehidupan" utama pada paruh awal Jurassic World adalah kombinasi tepat antara humor karakter, horor atmosferik dan sesekali letupan agresi bombastis. Kesan ibarat ini juga yang dulu jadi kunci kesuksesan Jurassic Park untuk kemudian dilupakan oleh sekuel-sekuelnya yang hanya ingin tampil lebih besar dan berisik. Kombinasi horor dan komedi yang efektif terperinci sulit diciptakan dan merupakan hal langka. Tapi Colin Trevorrow berhasil memunculkan itu. Rating PG-13 memang membatasi kebrutalan agresi para predator, dimana hanya ada satu adegan ajal dengan darah (itupun tidak eksplisit) dan satu ajal tragis yang melibatkan Pteranodon dan Mosasaurus. Tapi horor-nya memang lebih atmosferik daripada brutal. Indominus sudah diperlihatkan sosoknya, tapi momen dikala ia berburu dan masuk ke "stealth-mode" terasa mencekam. Trevorrow sanggup membangun antisipasi penonton, membuat ketegangan dalam otak kita atas apa yang akan terjadi kalau Indominus Rex berhasil mencapai sentra pulau. Suasana ibarat itu merupakan bentuk penghormatan Jurassic Wordl terhadap film pertamanya. Termasuk memperlihatkan para raptor sebuah scene intens di tengah hutan layaknya penyerangan mereka di dalam dapur yang klaustrofobik dulu.
Karakter-karakternya memfasilitasi penonton untuk sanggup bersimpati pada mereka. Love/hate realtionship antara Owen dan Claire yang dibangun sedari awal sanggup mencuri perhatian. Owen ialah action pahlawan badass sedangkan Claire seorang perempuan tangguh (bisa berlari di tengah hutan dengan high heels) yang berusaha memperbaiki segala kesalahannya. Tentu Chris Pratt penuh kharisma, dengan keseriusan laki-laki macho yang cool ditambah penghantaran obrolan komedik pada timing sempurna. Begitu pula Bryce Dallas Howard yang menampilkan dua sisi: pimpinan dengan harga diri tinggi diawal dan lovable female lead yang tercipta berkat penghantaran quirky comedi dari sang aktris. Claire sanggup saja berakhir sebagai tokoh perempuan annoying jika tidak dibawakan dengan tepat, dan bahwasanya justru dialah hero utama film ini. Gray (Ty Simpkins) dan Zach (Nick Robinson) turut berhasil menghilangkan kekhawatiran aku akan kehadiran aksara anak kecil yang sanggup merusak tone. Mereka bukan bawah umur menyebalkan yang hanya sanggup mengeluarkan teriakan berisik, tapi abang beradik dengan hubungan hangat yang saling melindungi.

Bujet $150 juta pun cukup efektif dimaksimalkan guna mengemas imbas CGI yang baik. Meski dalam beberapa adegan khususnya yang menampilkan dinosaurus dalam jumlah besar berlarian efeknya nampak kasar, tapi dinosaurus raksasa yang jadi fokus utama plus para raptor terlihat meyakinkan. Sayangnya bujet besar ini pula yang mengakibatkan filmnya "lupa diri", merasa sanggup menyuguhkan adegan eksplosif besar sehingga membuat third act-nya tidak lagi atmosferik. Tapi tidak sanggup dipungkiri hal tersebut memang menghibur. Terlebih klimaksnya yang menampilkan pertarungan antara dinosaurus termasuk kembalinya T-Rex yang sanggup membuat penonton bersorak. Memang terasa super cheesy, apalagi dengan keterlibatan Blue sang pimpinan raptor yang sanggup dikendalikan, namun sungguh sebuah guilty pleasure yang sudah seharusnya dihadirkan oleh blockbuster semacam ini. 

Verdict: Kombinasi berpengaruh antara horor demi menghormati bahan asli, komedi plus action sebagai daya jual, dan likeable character sebagai pengikat penonton ialah kenapa Jurassic World merupakan pola bagaimana seharusnya blockbuster franchise itu digarap.

Artikel Terkait

Ini Lho Jurassic World (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email