Friday, December 28, 2018

Ini Lho Another Trip To The Moon (2015)

Pernah saya berdebat dengan seorang seniman mengenai aplikasi pengemasan realis dan surealis. Menurutnya, realis ialah mutlak sebuah suguhan yang mencerminkan kehidupan sehari-hari hingga pada detail paling kecil. Sedangkan dalam surealisme, aspek-aspek yang ada haruslah berbentuk simbol/metafora dari kenyataan. Dia berkesimpulan jikalau ada sajian realis namun kental unsur surealis hal itu artinya inkonsistensi atau ketidak jelasan bertutur. Saya tidak setuju. Sebuah karya hybrid yang memburamkan batasan realita dan absurditas surealisme justru sebuah bentuk imajinasi tinggi. David Lynch sering menggunakan itu. Apichatpong Weerasethakul menggunakan itu. Kali ini Ismail Basbeth juga menggunakan itu untuk membuat sebuah dunia yang terang berada pada dinemsi aktual namun mempunyai banyak keajaiban dunia fantasi. Another Trip to the Moon atau yang mempunyai judul Indonesia Menuju Rembulan bagaikan dongeng rakyat dari negeri dongeng yang diterapkan dalam dunia aktual dengan atmosfer lebih kelam.

Ismail Basbeth membawa penonton dalam dunia antah berantah namun meyajikannya dengan suasana realis yang begitu kental. Melihat dua huruf utamanya, Asa (Tara Basro) dan Laras (Ratu Anandita) yang tinggal di hutan lengkap dengan pakaian ala-suku pedalaman, seorang/seekor insan anjing (Cornelio Sunny) yang terus mengikuti Asa, dan aneka macam ritual yang dilakukan ibu Asa (Endang Sukeksi) terang memperlihatkan unsur fantasi kental. Kita merasa asing dengan kawasan itu, ditambah lagi dengan hadirnya kejadian-kejadian yang absurd. Tapi cara Ismail Basbeth bertutur sering menitikberatkan pada realisme. Alurnya lambat dengan seringkali kamera hanya diletakkan pada satu posisi dan sama sekali tidak bergerak. Ini bukan sekedar cara semoga menonton merasa filmnya "deep deep gimana gitu", tapi untuk merangkul kita, mengajak kita turut mencicipi suasana dalam fim serta memperhatikan gerak gerik segala hal dalam frame. Ada makna dan tujuan terang yang pada kesudahannya berhasil dicapai.
Suasana hutan yang sunyi amat terasa, apalagi film ini juga tidak mempunyai dialog. Kita pun dapat mengamati bahkan mengenali kehidupan yang dijalani Asa dan Laras disana. Mulai dari mereka berdiri tidur, mandi, kemudian berburu binatang untuk dimakan, semuanya dapat diamati dengan jelas. Penggunaan kamera di satu titik juga makin memperkuat realisme tersebut. Seringkali aneka macam sudut yang dikombinasi dengan jump shot dimanfaatkan untuk manipulasi. Tapi dengan hanya satu kamera yang tidak bergerak, Another Trip to the Moon serasa memposisikan penonton sempurna di depan sebuah jendela, dimana kita dapat melongok keluar kemudian mengamati secara eksklusif apa saja yang bertempat dalam filmnya. Dengan presentasi semacam ini, filmnya menjadi sebuah pemaparan dunia aktual dengan banyak hal-hal yang sifatnya sureal bertempat disitu. Berada dalam hutan yang sepi dan misterius sambil sesekali melihat insiden aneh, serta merta kesan mistis yang mencengkeram pun turut hadir.
Terasa sepi dan berjalan lambat, film ini terang menguji kesabaran penonton, tapi sama sekali tidak membosankan. Bahkan jikalau durasinya yang 80 menit itu dilipat gandakan saya merasa nyaman-nyaman saja. Keberhasilan mengikat lewat permainan suasana ialah kuncinya. Seperti judulnya, film ini bagaikan membawa saya dalam sebuah perjalanan menuju kawasan yang asing. Perjalanan semacam itu pastilah tidak membosankan, apalagi jikalau kita menemukan hal-hal unik disana. Selain suasana, penggunaan properti serta kostumnya memperlihatkan kepuasan visual selain sinematografi yang memang sudah memikat. Sebenarnya segala properti maupun kostum itu amat sederhana. Para "makhluk asing" menggunakan topeng atau kain warna-warni yang terang jauh dari kesan mahal. Properti mirip mainan kelinci atau hiasan berbentuk burung pun bukan barang yang "wah". Tapi bagaimana semua itu dimanfaatkan ialah kenapa dapat terasa spesial. Boleh saja production value-nya tidak mahal, namun kreatifitas untuk menyiasati keterbatasan itu justru merupakan keunggulan.

Cerita yang diusung bahwasanya sederhana meski aspek sureal bakal membuat penonton harus berpikir lebih keras. Konflik yang hadir cukup sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Bayangkan kontradiksi antara ibu dan anak, dimana sang ibu menginginkan sesuatu bagi anaknya, tapi si anak menolak kemudian menentukan pergi sebagai bentuk perlawanan. Kurang lebih mirip itu kesan yang dihadirkan ceritanya. Diantara konflik tersebut, hadir pula perbandingan antara hutan sebagai simbol semesta yang alami dengan segala kehidupannya dengan dunia modern yang dipenuhi hal-hal "buatan" yang meski ibarat aslinya namun terang tidak mempunyai jiwa. Mati dan kosong. Mungkin beberapa pihak bakal beropini untuk menuturkan semua itu cukuplah durasi 30-45 menit alias film pendek sehingga tidak perlu membuat alurnya begitu lambat. Mungkin benar. Tapi dengan begitu penonton tidak mempunyai kesempatan untuk terserap oleh suasana serta dunia yang dibangun. 

Verdict: Sayang, sebuah adegan dengan UFO terasa bukan dari keping puzzle yang sama dan berujung memperlihatkan retak kecil pada film ini. Tapi Another Trip to the Moon merupakan kesunyian yang indah, mistis sekaligus adiktif. Film yang mengingatkan saya akan kepuasan menonton slow cinema. 

Artikel Terkait

Ini Lho Another Trip To The Moon (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email