Thursday, December 6, 2018

Ini Lho Kawasan Terlarang (2016)

Saya tahu, niscaya kalian semua akan berujar "Ngapain mas mau nonton film ginian?" atau "Dari trailer-nya udah kelihatan bakal jelek". Yes, I know that. Tapi mau bagaimana lagi, sudah jadi kiprah saya semoga anda tidak khilaf membuang puluhan ribu rupiah dan 80 menit waktu berharga yang sanggup berujung pada ledakan amarah tak terkendali bahkan kegilaan sesaat. Tapi sekali lagi, dengan mengusung slogan "kami tonton semoga kalian tidak menonton", saya  dan sedikit reviewer masokis dari Indonesian Film Critics  bakal selalu meluangkan waktu dan tenaga untuk menonton sajian semacam "Daerah Terlarang" ini. Sajian yang merendahkan nilai-nilai filmmaking.

Bertempat di lokasi syuting film horror, "Daerah Terlarang" bertutur wacana teror pocong di daerah tersebut. Sang pocong berjulukan Mimin (Mitha Hardiyanti)  jika anda pernah menonton sinetron "Jadi Pocong" yang tayang pada tamat 90-an niscaya tahu asal nama Mimin. Pocong Mimin rupanya ialah hantu inkonsisten. Awalnya ia meneror proses pengambilan gambar, muncul di hadapan para pemain menyerupai duo Hansip, Fico si budek (Fico Fachriza) dan Bedu si tonggos (Bedu), bahkan sempat tertangkap kamera. Namun entah bagaimana Mimin juga menampakkan diri di depan pemeran lain yang belum datang di lokasi. 
Naskahnya ditulis oleh TB Ule Sulaeman ("Bangkit dari Kubur", "Ada Apa dengan Pocong?" yang sejauh ini telah berpengalaman menulis delapan naskah horror termasuk film ini. Tapi nyatanya berbekal pengalaman tersebut, sang penulis masih menghasilkan karya ndeso pula nonsensical. (SPOILER) Modus operandi Mimin ialah muncul, kemudian meminta tolong pada korbannya untuk dicarikan cincin miliknya. Lalu di tamat film, Mimin merasuki salah seorang pemain, menunjukkan jalan menuju letak cincin tersebut jatuh. Kaprikornus untuk apa ia meminta tolong kalau daerah hilangnya cincin saja sudah diketahui??? (END OF SPOILER) Bisa jadi saya salah tangkap. Bisa jadi yang merasuki bukan Mimin. Bisa jadi, tapi saya tak peduli. 

TB Ule Sulaeman menyerupai terlalu malas membuatkan dongeng bagi film berdurasi 80 menit (terasa menyerupai 180 menit). Bayangkan, film tersusun oleh repetisi sebagai berikut: pocong Mimin menakuti huruf manusia, mereka ketakutan, berteriak kemudian akal-akalan pingsan, dengan variasi terletak pada tingkah huruf sebelum pingsan. Bisa lari, bisa menambah volume teriakan, bisa eksklusif pingsan. Begitu seterusnya. Kalau dihitung mungkin hingga 15 kali adegan pingsan baik dengan konteks "pura-pura" maupun sungguhan  walau di tiap situasi para pemeran tetap tak sanggup menghadirkan pingsan yang meyakinkan. 
George Hutabarat bertindak selaku sutradara, dan ia ini pula yang berjasa atas kehadiran satu lagi horror amis rilisan 2016 berjudul "Video Maut" (read the review here). George memang hebat. Hanya dia sutradara yang bisa dua kali dalam setahun menggerakkan hati saya memberi nilai setengah. Kali ini, sang sutradara mesti menangani horror berbalut komedi, yang mana keduanya gagal berakhir decent. Tanpa memperhatikan timing, kesudahannya justru terbalik. Penampakan pocong menghasilkan tawa khususnya jawaban desain pocong yang kualitasnya menyerupai bubur basi, mengingatkan pada "Genderuwo" (2007) milik KKD. Sedangkan gelontoran komedi terdengar mengerikan, menciptakan saya ingin menutup mata, indera pendengaran hingga hidung. Kedua aspek baik penampakan maupun humor dingin hadir bergantian tiap menit tanpa memberi waktu bagi saya untuk menghela nafas.

Menyaksikan akting jajaran pemainnya kolam tengah menonton sinetron di layar lebar. Natalie Sarah masih mengandalkan bunyi pengiris gendang telinga, sedangkan Mohammad Safari paling tepat membawa gaya sinetron ke film ketika diharuskan bicara sendiri mengungkapkan kekesalan hati. Umpatan-umpatan Safari pun berpengaruh memancarkan aura keagungan sinetron. Departemen akting makin kacau nan mengesalkan jawaban pembawaan annoying Ryan Febrian terhadap tokoh laki-laki feminin. Paling disayangkan ialah Fico. Komika satu ini nampak berusaha keras mencairkan suasana melalui lawakan-lawakan improvisasi yang bersama-sama cukup efektif sesekali memancing senyum (the only good thing here). Tapi sebaik apapun Fico, "Daerah Terlarang" memang sudah tak tertolong lagi.


Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID

Artikel Terkait

Ini Lho Kawasan Terlarang (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email