Thursday, December 6, 2018

Ini Lho Miss Peregrine's Home For Peculiar Children (2016)

Menyebut Tim Burton telah sepenuhnya kehilangan sentuhannya saya rasa agak berlebihan. Tengok saja dua film terakhirnya. "Frankenweenie" adalah stop-motion bernuansa gothic memikat, sedangkan "Big Eyes" jadi biopic dengan cukup hati dalam presentasinya. Tapi harus diakui, Burton tak lagi visioner tatkala bagai membuat parodi untuk visual trade mark-nya dalam "Alice in Wonderland" dan "Dark Shadows". Burton kolam terkekang oleh paksaan industri yang menganggap visinya kurang universal (bukan konsumsi semua umur). Alhasil ia lupa cara menuangkan visi tersebut, selain hanya berupa style over substance tanpa daya untuk menyokong penceritaan. 

"Miss Peregrine's Home for Peculiar Children" yang diangkat dari novel berjudul sama karangan Ransom Riggs berkisah mengenai belum dewasa dengan kemampuan absurd yang tinggal di bawah asuhan Miss Peregrine (Eva Green). Terdengar menyerupai bahan tepat bagi sang sutradara bukan? Saya pun menanti-nanti bakal menyerupai apa Burton menghidupkan dunia berisikan belum dewasa "aneh" tersebut. Kesabaran saya diuji tatkala filmnya menghabiskan durasi cukup usang di "dunia normal", memperkenalkan penonton pada Jake (Asa Butterfield), cukup umur 16 tahun dengan kehidupan biasa cenderung membosankan yang karakterisasinya nihil perbedaan dibanding banyak protagonis dari kisah young adult bertemakan from zero to hero.

Jake menjalin kedekatan dengan sang kakek, Abe (Terence Stamp) yang ketika Jake kecil kerap menceritakan kisah pertemuannya dengan monster dan belum dewasa bimbing Miss Peregrine. Suatu malam, Jake menemukan kakeknya terbaring sekarat di hutan belakang rumah dengan kondisi tanpa mata. Sebelum meninggal, Abe mengucapkan beberapa pesan yang hasilnya menggiring Jake mendatangi sebuah pulau di akrab Wales yang ditengarai merupakan letak rumah Miss Peregrine. Sampai titik ini daya tarik film belum nampak, terlebih setting dunia normal membatasi eksplorasi Burton. Namun antisipasi akan kemunculan para peculiar children masih menjaga antusiasme saya.
Sewaktu hasilnya kita hingga di rumah Miss Peregrine, penyegaran pun seketika terasa, sebagaimana Jake dibentuk terperangah oleh Emma (Ella Purnell) yang begitu ringan hingga bisa melayang, Olive (Lauren McCrostie) dengan kemampuan pyrokinetic, Enoch (Finlay MacMillan) yang sanggup menghidupkan orang atau benda mati, serta masih banyak lagi kemampuan aneh, termasuk Miss Peregrine sendiri yang bisa bertransofrmasi menjadi seekor burung. Ketiadaan nuansa gothic maupun surealisme visual selaku dekorasi nyatanya bukan permasalahan ketika sense of wonder tetap hadir melalui keunikan anak-anak. They're unique, likeable, and fun to watch even though their interaction lack of bonding.

Lemahnya ikatan diakibatkan lemahnya pula naskah garapan Jane Goldman. Saat tidak ada kekuatan atau visual unik dipamerkan, film kehilangan magnet. Naskahnya turut kelabakan menangani aspek time looping selaku satu lagi kelebihan Miss Peregrine. Demi menghindari terjangan bom pesawat Jerman, tiap harinya Miss Peregrine memutar ulang waktu, sehingga ia dan belum dewasa selalu hidup di hari yang sama tanpa pernah bertambah tua. Ada banyak hukum mengenai siapa, kapan, bagaimana atau di mana loop itu terjadi. Goldman berusaha keras memaparkannya, namun susunannya tidak rapi merangkai hal-hal yang (terlalu) banyak terjadi. 

Sejatinya "Miss Peregrine's Home for Peculiar Children" menyimpan esensi wacana discovery, baik berupa kawasan baru, hal baru, pula self-discovery. Sayang, naskahnya gagal menangkap semua itu dan berujung sebagai petualangan generik belaka. Kekurangan ini sifatnya fatal, alasannya yaitu kegagalan menangkap kemudian mempresentasikan esensi sebuah dongeng yaitu bentuk kegagalan naskah. 
Kita belum menerima totalitas idealisme Burton, tapi paling tidak absurditas sempat muncul semisal dalam memanfaatkan stop-motion untuk memunculkan benda-benda yang dihidupkan oleh Enoch. Puncaknya yaitu pertempuran antara pasukan tengkorak melawan monster hollow  makhluk kekal pemburu peculiars yang memakan mata mereka supaya kembali berwujud manusia  di taman bermain yang sedikit mengingatkan pada salah satu adegan "Jason and the Argonauts" (1963). Burton kentara bersenang-senang membuat pertempuran tersebut, dan saya pun tersenyum bahkan tertawa puas menikmatinya. 

Soal performa cast, Eva Green  masih dengan mata tajamnya  paling menarik perhatian, mengedepankan weird mannerism kesukaan Burton dalam dosis pas, eksentrik tapi tidak annoying (I'm looking at you, Depp). Tiap tatapan maupun baris kalimat pendek selalu berpengaruh menarik fokus. Sayang, ia lebih banyak mangkir di third act. Samuel L. Jackson sebagai Mr. Barron sang villain tampil over the top, dan di situ daya pikatnya. Sukses menghidupkan scene bahkan mengundang tawa. Sebaliknya, justru Asa Butterfield sang main protagonist gagal memancing kepedulian saya ketika secara umum dikuasai kemunculan diisi kekosongan emosi tanpa pesona. Apalagi tak sekalipun Jake melaksanakan tindakan heroik atau useful demi memancing simpati (satu ini kesalahan naskah).

"Miss Peregrine's Home for Peculiar Children" mengandung banyak unsur kelam mulai kematian, keterasingan, hingga kekerasan. Cukup mengejutkan sekaligus menghibur tatkala filmnya bersedia mendorong batas kekerasan untuk PG-13, tapi itu saja belum cukup sewaktu tata dongeng enggan melaksanakan keputusan serupa. Bayangkan apabila film ini digarap oleh Tim Burton era sebelum 90-an yang bebas menyalurkan kegilaan visi tanpa peduli walau hasilnya kurang memihak pasar. That version of  "Miss Peregrine's Home for Peculiar Children" could be one of the best movie of the year

Artikel Terkait

Ini Lho Miss Peregrine's Home For Peculiar Children (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email